Bab 34

76 15 0
                                    

Di tempat yang jauh dari Negeri Haust, Arnor merasa lega ketika melihat cahaya merebak dari lentera-lentera dalam tenda. Cahaya itu berpendar samar, tampak seperti kunang-kunang yang tak bergerak. Ia memacu Sifthy untuk mendekat ke sumber cahaya itu, layaknya ngengat yang terhipnotis.

Tenda-tenda itu berdiri secara berdekatan, di sebuah lereng dekat dengan pegunungan.
Tapal Sifthy menanjak secara hati-hati. Sudah dua malam salju tak turun. Tetapi tetap saja kadang jalanan begitu licin. Udara amat lembap di sana. Namun, hal itu tak menggoyahkan pijakan sang kuda.

Setelah sampai ke tenda terluar perkemahan, Arnor turun dan meninggalkan kudanya di sana. Ia melangkah memasuki area perkemahan para peri. Tubuhnya yang ramping namun berotot bergerak luwes ketika melipir ke tengah-tengah area perkemahan. Beberapa peri yang tengah berjaga mengangguk hikmat kepadanya.

Arnor terus berjalan hingga sampailah ke tenda paling besar yang dijaga dua peri di sisi pintunya. Penjaga itu mengangguk hormat saat Arnor mendekat.

"Apakah Eleanor sudah tidur?" tanyanya.

Tanpa menjawab, peri yang ditanya tadi masuk ke dalam tenda sekilas. Setelah kembali ia menginformasikan bahwa Eleanor sudah tidur, namun Agis, suaminya masih terjaga. Ia juga berjata bahwa Arnor boleh menemuinya ke dalam.

Peri penjaga tadi membuka pintu tenda setengah. Tanpa ragu, Arnor pun melangkah masuk. Tenda yang dimasukinya sama seperti tenda milik Arnor, meski dari luar tampak hanya seluas 20 meter persegi, namun setelah masuk, tenda itu seperti rumah seluas ratusan meter persegi. Di bagian depan terdapat dua kursi dari kayu. Sebuah meja dengan beberapa barang dan bunga berdiri di sudut. Di atas meja tercentel lukisan Eleanor yang mengenakan mahkota peri. Di sudut satunya terdapat lukisan Agis yang juga mengenakan mahkota. Di antara dinding lukisan itu terdapat pintu yang terbuat dari kain. Di balik pintu itu terdapat lorong, tidak panjang, tapi cukup untuk memberi jarak. Dan, setelah lorong adalah kamar Eleanor dan Agis.

Arnor menunggu di depan dua kursi itu. Ia sedang mengamati bunga di meja ketika Agis datang sembari mengancingkan kemeja yang buru-buru dipakainya ketika mendengar Arnor datang ke sana.

"Kau mengagetkanku," kata Agis dengan mata melotot. "Bagaimana kau bisa selamat? Eleanor pasti senang sekali saat melihatmu esok."

"Aku ingin sekali, Agis, percayalah, tetapi aku sedang tidak memiliki waktu," sahut Arnor.

"Tidak," Agis menggeleng. Ia merengut. Namun kemudian sebuah pemikiran merasuk dalam benaknya. Ia dapat menduga apa yang akan dikatakan peri itu. Dan, ia menjadi takut. "Kalau begitu, sebaiknya aku bangunkan Eleanor sekarang."

Arnor mengibaskan tangan. "Tidak usah. Kau dan dia sama saja buatku."

Kali ini, Agis yang menggeleng. "Tetapi, kami memiliki dua kepala yang berbeda."

"Tetap saja, Agis, aku merasa kalian itu satu. Lagi pula, Eleanor akan tahu nanti lewat anugerahnya yang luar biasa itu."

Eleanor, saudari kembar Arnor memiliki anugerah untuk merasuki pikiran orang lain. Ia dapat menunjukkan apa yang ia kehendaki untuk dilihat orang lain. Kadang, ia menggunakannya untuk menunjukkan sebuah ingatan kepada orang lain, atau membaca pikiran orang lain. Namun, bagi musuh, ia dapat mempermainkan pikiran mereka sehingga sangat memungkinkan mereka akan menyerang sesamanya alih-alih menyerang Eleanor.

Agis mendesah. "Kau tahu apa jawabanku, Arnor. Kau juga pasti bisa menduga jawaban Eleanor. Namun, kau berkeras hanya ingin mendengar jawabanku. Itu tidak adil."

"Aku tahu. Aku hanya mencoba." Arnor berhenti sejenak. Tanpa basa-basi lagi ia mengutarakan maksud kedatangannya. "Mereka akan kalah. Malakora akan menguasai dunia tengah. Malakora bakal menghancurkan semuanya. Mereka membutuhkan kita."

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang