Bab 82

59 13 2
                                    

“Kau terlambat,” kata Malakora kepada adiknya yang baru bergabung.

“Kau pikir berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kemari dari kerajaanmu, hah?” Wajah Irina tampak sinis. Ia menendang kaki kakaknya supaya menyingkir kemudian berlutut. Ia meraup tubuh Arnor dan mengangkat kepalanya ke pelukan. “Aku merindukanmu,” ujarnya lembut.

Ia lantas memperlihatkan bekas luka di bawah rahangnya. “Lihat apa yang kau lakukan saat terakhir kali kita bercinta.” Irina mengelus pipi Arnor dengan jemarinya. “Apa kakakku terlalu keras terhadapmu?”

Malakora mendengkus. Ia mengacungkan tangannya ke atas, memberi tanda supaya pasukannya berhenti bertarung. Ia lantas menghampiri Sofia yang ambruk karena luka serta kelelahan. Ia menjambak rambutnya lalu menyeretnya. Ia megempaskan tubuh Sofia dengan kasar ke tanah.

“Dengar! Kalian sudah kalah!” serunya kepada prajurit Sofia yang tersisa.

Para prajurit yang masih bertahan melihat ke sekeliling. Teman mereka tergeletak tak bernyawa di medan perang. Jumlah mereka yang masih hidup sangat sedikit dan hampir semuanya terluka. Dibanding pasukan Malakora, mereka kalah telak. Kekalahan sudah di depan di depan mata mereka. Mustahil untuk membalik keadaan.

“Aku beri kalian kesempatan untuk lari menyelamatkan diri!” Malakora berkata dengan lantang. “Pergilah sebelum aku berubah pikiran.”

Seorang prajurit yang tangannya terluka menurunkan pedang. Ia melirik Sofia dengan ragu, kemudian berbalik dan berlari menjauhi medan perang. Pasukan Malakora yang melihatnya pun bergeming. Tak ada yang menarik panah, mengejar, ataupun mencegah prajurit itu lari.
Teman prajurit itu yang melihatnya berhasil hingga sampai di balik puncak bukit di seberang rana, menyusul. Kemudian, prajurit yang lainnya ikut lari hingga hanya tersisa Barrant, Aguste, Fjola, Zargar, Raja Magmar, Arnor, dan Sofia di sana.

Malakora tertawa melihat para prajurit itu lari tunggang langgang. Setelah tawanya mereda, ia beralih kepada Fjola. “Bagaimana denganmu? Kau tak ingin lari?”

Sang gadis mengeratkan genggaman pedangnya. “Kau saja yang lari.”

“Bah!” Malakora kembali tertawa. Ia memerintahkan salah satu pemburunya untuk menyeret Fjola ke hadapannya. Namun, Zargar menghalangi pemburu itu. Pemburu lain mengepung mereka. Barrant yang kebetulan berada jauh dari gadis itu pun mencoba membantu melindungi dengan berlari ke arahnya. Akan tetapi, ia dikepung.

Tanpa waktu lama, pasukan Malakora berhasil melumpuhkan mereka yang menghalangi niat tuannya. Barrant dikalahkan oleh serangan para pemburu yang mengepungnya. Ia terkapar tak berdaya di tanah. Sedangkan Zargar, dengan badannya yang besar dan tenaganya yang kuat akhirnya ambruk setelah Malakora turun langsung menusuknya dengan cakar besi yang tumbuh sebagai kuku. Belum cukup puas, peri jahat itu mengarahkan senjatanya ke leher Zargar kemudian mengirisnya.

Fjola menjerit. Ia merangsek maju, menyerang Malakora. Namun, dengan satu gerakan sederhana, Malakora berhasil melucuti pedang Fjola. Peri jahat itu menendang sang gadis hingga terjatuh. Tubuhnya terseret dengan posisi meringkuk.

Seolah belum cukup, ia meyeret Fjola ke hadapan Arnor yang terbaring di pelukan Irina. Gadis itu meronta dengan sia-sia.

“Aku punya dua pilihan untukmu, Evindur. Perlihatkan simbolmu atau gadis ini kubunuh.” Malakora meletakkan cakarnya ke leher Fjola.

Gadis itu menggeleng. “Ingat yang kukatakan kemarin, Arnor. Aku sudah siap.”

“Diam!” Malakora menggeram.

Arnor menoleh ke arah Irina di atasnya. Air matanya merebak, membuat gadis peri itu ikut merasa sedih hingga sejenak ia lengah. Tangannya yang lentik menggapai pipi Irina, lalu turun ke leher. Kemudian, dengan gerak cepat, ia bangkit, memutar posisinya hingga berada di belakang Irina. Sulur melilit kedua lengan si gadis, lalu sulur lain perlahan mencekik lehernya.

“Lepaskan dia, Malakora,” katanya tenang. Matanya yang kelam menatap sang musuh dengan tajam di balik bahu mangsanya.

Malakora mendengkus. “Kau pikir, kau bisa mengancamku dengan menyakiti adikku? Oh, Evindur, jangan terlalu naif. Aku tidak sesayang itu terhadap adikku.”

Irina tertawa. Namun, setelahnya ia tercekat. Napasnya tersengal karena cekikan sulur yang diciptakan Arnor.
Melihat pemimpim mereka terancam, pasukan Malakora maju. Mereka berniat menyerang Arnor.

Sulur lain keluar dari dalam tanah. Ujungnya yang runcing menembus jantung-jantung pemburu, orc, dan serigala yang maju. Sebuah cengiran muncul di wajah peri tampan itu. Matanya sekilas menjadi lebih cembung.

“Hentikan!” Fjola berseru, yang membuat sulur-sulur itu kembali ke tanah.

Para pasukan Malakora yang melihat ratusan teman mereka terbunuh hanya dalam hitungan detik menjadi takut. Mereka gentar. Sebagian memilih mundur, jauh-jauh dari peri yang menciptakan kekuatan itu.

“Arnor, kumohon ....” Fjola menjadi takut.

Arnor sendiri berusaha keras untuk menekan kegilaannya. Ia mengatur napasnya. Setelah tenang, ia berkata sekali lagi, “Lepaskan dia, Malakora.” Suaranya terdengar selembut sutra. Namun, ada ancaman di dalamnya yang tak bisa diabaikan sang musuh.

“Kaulah yang harus melepaskannya, Evindur, lepaskan kekuatan itu. Berikan untukku.” Matanya menatap Arnor dengan rakus. “Kalau kau perlu darah lain, ambilah Irina. Aku tak peduli. Berikan kekuatan itu padaku! Aku lebih pantas memilikinya. Tidakkah kau setuju?”

“Malakora!” Irina memandang sang kakak dengan kecewa. Ia merasa dikhianati.

“Ambilah kalau kau memang bisa,” sahut Arnor.

Malakora tertawa. Matanya bergerak liar. “Kalau begitu, tunjukkan simbolmu!”

Tenaga Arnor berkurang banyak untuk menekan kekuatan yang sedang merayunya. “Berikan Fjola padaku, akan kuklaim dia. Sebagai ganti, kau akan melihat simbolku.”

Malakora tak dapat dibohongi. Ia menggeleng. “Tidak. Klaimlah Irina.”

“Kau ingin membuatku menjadi budak?” tanya sang adik tak percaya.

“Bukankah sudah lama kau mencintai Evindur?”

Irina menggertakkan gigi. “Tapi, aku ingin dia yang menjadi budakku.”

“Tak masalah siapa yang menjadi budak. Klaim dia, Evindur! Cepat!”

Arnor menggeleng. “Kalau bukan Fjola aku tak mau.”

Malakora berteriak frustrasi. Ia sangat menginginkan kekuatan Arnor yang luar biasa itu. Namun, ia juga tak mau dibohongi. Ia yakin setelah gadis itu ke sisi sang peri, tentu mereka pasti akan melarikan diri. Tidak. Ia tak bodoh.

“Klaim Irina atau kau mau tahu apa yang sanggup kulakukan terhadap gadismu,” ancamnya. Ia mendorong Fjola ke dua prajurit yang berdiri di dekatnya. Kedua prajurit itu kemudian mencengkeram lengan Fjola, menahannya supaya tidak kabur.

Dengan cakarnya, Malakora merobek baju zirah gadis itu hingga menyisakan kemeja. Ia lalu membakar cakarnya dengan kekuatan api yang berhasil ia curi dari seorang peri. Setelah itu, ia menempelkan besi panas tersebut ke lengan Fjola.

Gadis itu menjerit. Kulitnya terbakar.

“Hentikan!” Arnor memusatkan kekuatannya untuk menyerang Malakora. Sulur-sulur muncul dari dalam tanah yang dipijak Malakora, kemudian menyerangnya. Namun, api berkobar di sekeliling peri jahat itu, membakar sulur itu hingga tak bisa menyentuhnya.

Arnor tak mau menyerah. Sulur itu terus tumbuh dan api Malakora perlahan mulai redup. Beberapa serigala maju, menyerang peri itu. Tetapi, ia tetap fokus kepada sang musuh di depan. Ia tak peduli tubuhnya terkoyak.

“Cukup!” Fjola tak tahan melihat Arnor menderita. “Hentikan!”

Para serigala mundur, begitupun dengan sulur Arnor yang kembali masuk tanah. Napas peri itu terengah. Darah melurumi tubuhnya. Kesadarannya mulai hilang. Namun, ia belum menyerah kepada kekuatan gelap dalam dirinya.

“Akan kulakukan,” katanya akhirnya. “Akan kutunjukkan simbolku. Akan kuklaim Irina.”

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang