Bab 84

65 15 2
                                    

Setelah mengintip Arnor dari pintu gorong-gorong sekilas, Fjola memutuskan untuk tidak berdiam diri dan bersembunyi. Ia pun berniat memasuki istana dari sana. Ia berlari di bawah cahaya yang menyorot lewat pintu gorong-gorong, berbelok tak tentu arah. Sesekali ia naik untuk mengintip di mana ia berada. Hingga pada suatu belokan, kakinya menendang sesuatu sampai membuat tubuhnya berguling. Ketika bangkit, ia mendengar suara yang mengaduh.

Dari cahaya yang masuk ke tempatnya, ia melihat seorang manusia yang tingginya hanya mencapai pinggangnya mengacungkan tombak. Kemudian, seorang lagi bergabung dengan manusia mini itu. Lalu tahu-tahu ada setengah lusin di sana, mengacungkan tombak ke arah Fjola.
Gadis itu mengangkat tangannya ke atas. “Apa kalian kurcaci?”

Seseorang menjawab, “Ya. Siapa kau?”

Fjola berjalan ke bawah cahaya, menyibak rambutnya yang pendek, memperlihatkan telinganya. “Manusia.”

Para kurcaci itu pun menurunkan tombak. Mereka kembali menekuri pekerjaan mereka.

Fjola yang penasaran bertanya, “Apa yang sedang kalian rencanakan?”

“Meledakkan benteng,” jawab salah satu di antara mereka. Ia lantas menyalakan api dan membakar tali yang terhubung pada magnesium murni dan logam yang sudah mereka rakit sedemikian rupa. Setelah ujung tali menyala ia memerintahkan Fjola untuk keluar dari sana segera karena gorong-gorong akan meledak.

Belum sempat berlari, Irina menyerangnya dengan melempar belati tepat ke jantungnya. Untung di saat terakhir, Fjola berhasil menghindar. Ia menoleh ke arah peri itu sekejap sebelum lari. Para kurcaci berlari bersamanya.

“Tidak ada waktu. Kita harus keluar dari tempat ini dan menjauh.” Salah satu kurcaci mengingatkan.

“Berpencar. Dia hanya mengejarku,” ujar Fjola ketika sampai pada belokan yang bercabang.

Empat kurcari berbelok berlawanan arah dengan Fjola, sedangkan dua lainnya masih mengikuti gadis itu.
Sementara itu, api tadi sudah memakan setengah tali yang menuju bom.

Fjola terus berlari. Di setiap lima langkah yang dilalui ia melihat benda yang mirip dengan benda yang berada di ujung tali tadi tersembunyi di balik bayang-bayang. Ia menjadi curiga. “Kau membakar tali yang terhubung dengan benda di sana tadi, tetapi kau tidak membakar tali yang terhubung dengan benda-benda lain di sini. Mengapa?”

Dengan napas tersengal, kurcaci itu menjawab, “Yang satu tadi hanya sebagai pemicu. Sekali benda itu meledak, yang lain akan ikut meledak karena letaknya berada dalam area ledakan.”

“Maksudmu?” jantung Fjola mencelus.

“Waktu kita tak banyak.”

Kemudian, gadis itu melihat tangga yang menuju atas gorong-gorong. Dengan cepat, ia naik ke sana dan menyentak pintu gorong-gorong itu sampai terbuka. Ia menarik para kurcaci dan melemparnya naik. Sedangkan ia sendiri mencoba keluar sebelum Irina mencapai dirinya.
Setengah badannya sudah melewati pintu gorong-gorong katika Irina berhasil menarik kakinya hingga membuatnya kembali jatuh. Tubuhnya berdebam. Pedang yang dibawanya terlepas. Tampak di hadapannya, menjulang, peri cantik yang dipenuhi luka lebam dan rambut awut-awutan. Matanya berkilat-kilat dalam cahaya gorong-gorong yang suram.

“Mati kau!” Irina menghujamkan belati ke tubuh Fjola yang setengah bangkit. Akan tetapi, gadis itu dapat menangkisnya dengan pedang yang berhasil diraihnya. Ia mendorong sang peri dengan kaki, lalu beringsut menjauh. Sesekali ia melirik ke balik punggung Irina, takut kalau-kalau waktu yang dimilikinya habis.

“Bisakah kita menyelesaikan urusan kita di atas?” tanyanya coba-coba.

Irina mendengkus. “Kenapa? Kau tak bisa melihatku? Cahaya di sini kurang terang bagi mata fanamu?” Ia lantas menindih Fjola, menyerangnya dengan belati. Akan tetapi, lagi-lagi gadis itu masih bisa menahan serangan.

Kekuatan Irina lebih besar ketimbang Fjola. Ia berhasil membuat gadis itu melepas pedang dengan mendorong tangannya ke sisi luar. Sebagai ganti, ia juga kehilangan belatinya. Tak menyerah, ia memukul Fjola bertubi-tubi. Ia lalu mencekik gadis itu.

Dengan suatu gerakkan pada kaki, Fjola berhasil membuat Irina terjungkal. Cekikannya terlepas. Saat bangkit, pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya pening karena hantaman peri itu. Saat itulah Irina berhasil meraih pedang Fjola.

Tertawa karena merasa menang, ia mengayunkan pedang ke arah gadis itu. Namun, belum sempat mengenai, ledakan terjadi. Tanah yang mereka pijak bergoyang. Tubuh peri itu limbung.

Fjola segera meraih tangga, lalu mendakinya. Ledakan kedua terjadi. Ia terpeleset. Dengkulnya menubruk anak tangga, tetapi peganggannya tak lepas. Mengabaikan rasa sakit dan pening, ia menjejakkan kaki untuk naik. Namun, sebuah pedang yang menyasar punggungnya melesat ketika terjadi ledakan ketiga. Meski meleset, bilah pedang itu berhasil mengenai pinggang. Gadis itu mengerang kesakitan. Darahnya keluar dari sana.

Walau begitu, ia terus memanjat. Irina berhasil menangkap pergelangan kakinya sebelum ledakan ke-empat terjadi. Kali ini, guncangan semakin besar akibat ledakan itu. Udara panas mulai menerpa mereka.

Dengan kaki satunya, Fjola menendang kepala Irina hingga cekalan peri itu terlepas. Ia lalu merangkak ke luar. Napasnya tersengal dan rasa sakit menyiksanya. Akan tetapi, ia harus segera menyingkir dari sana karena tak jauh dari tempatnya, benteng mulai runtuh. Ia tak mau tubuhnya tertimpa reruntuhan.

Tertatih-tatih, ia melangkah menjauh. Ia sempat melihat pasukan Malakora berlarian menjauhi benteng. Mereka terlalu sibuk menyelamatkan diri sendiri. Langkah Fjola terhenti saat lututnya tak kuat menahan berat tubuh. Ia ambruk. Darahnya mengucur, membasahi sisi kemeja yang dikenakannya. Ia menoleh ke lubang yang ditinggalkannya dan melihat setengah badan Irina menyembul dari tanah. Kemudian ledakan terjadi. Peri itu terlempar ke luar dari lubang sebelum jatuh lalu terkubur reruntuhan benteng tepat di dekat kaki Fjola.

Dengan tubuh gemetar, gadis itu merangkak menjauh. Ia menoleh ke belakang sekilas dan melihat pasukan dari Negeri Vor dan Negeri Vetur merangsek ke benteng yang hancur. Ia juga melihat jubah Arnor berkelebat memasuki Istana. Ia segera menyusulnya. Ia yakin kalau peri itu akan menggunakan kekuatannya untuk melawan Malakora. Ia akan mencegah Arnor berubah menjadi seperti peri jahat itu.

Fjola merangkak ke belakang menara. Ia mengingat-ingat jalan tercepat menuju singgasana, yang mungkin tempat Malakora kini berada. Dengan menekan luka di pinggang, Fjola berderap ke istana. Ia masuk tanpa ketara, menyelinap di antara pasukan yang saling berperang. Ia menelusuri koridor, lalu bersembunyi di balik dinding. Wajahnya meringis kesakitan. Darah merembes ke bajunya, melumuri tangannya. Napasnya tersengal.

Setelah menghirup napas dalam-dalam, ia mengintip keadaan. Di depan aula, ia melihat Barrant bertarung dengan panglima Malakora. Di sampingnya ada Aguste dan beberapa prajurit Negeri Vetur yang berhasil merangsek ke istana.

Gempuran bola api mengenai pasukan Malakora di luar. Para raksasa masih bertarung dengan troll.
Kurcaci yang tadi bersama Fjola menghampiri dari tempat tersembunyi. Ia memanggil gadis itu dengan siulan. Ketika sang gadis menoleh, kurcaci itu melambaikan tangan, memberi isyarat supaya mengikutinya. Fjola melirik sebentar ke arah Barrant dan Aguste sebelum mengikuti sang kurcaci masuk ke sebuah pintu.

“Aku tahu di mana peri itu berada,” cetus kurcaci itu. “Menyelinap adalah keahlian kami.”

Fjola merasa beruntung. Dengan langkah terseok-seok ia mengikuti sang kurcaci. Mereka menembus beberapa ruangan lewat lorong-lorong yang baru diketahuinya.

Selepas melewati lorong terkhir, sang kurcaci menunjuk pintu. “Di sana, di balik pintu itu ia berada.”

Gadis itu mengangguk. Ia berniat membuka pintu, tetapi sang kurcaci menahannya. “Apa kau yakin akan menghadapinya sendiri? Kau akan mati jika menghadapinya sendiri.”

“Menghadapinya?” Fjola seolah tersadar maksud kurcaci itu. Maksud yang ia tangkap dari perkataan sang kurcaci tadi tentang ‘peri itu’, ia pikir adalah Arnor. Namun rupanya, sang kurcaci menunjukkan keberadaan Malakora.

Fjola sadar akan kesalahannya. Ia berniat balik, tetapi seseorang dari balik pintu itu menemukannya lebih dahulu.

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang