Bab 41

76 15 2
                                    

Tubuh Fjola terjun ke kedalaman yang pekat. Jantungnya mengentak-entak, seolah ingin meloncat keluar. Ia tak berani membuka mata. Ia hanya menunggu tumbukan yang pasti akan terjadi. Ia membayangkan akan seperti apa tubuhnya di dasar nanti, seberapa banyak darah yang akan keluar, dan berapa lama kematian menghampirinya. Udara berdesing di telinganya, menderukan kesakitan yang bakal diderita tak lama lagi. Mendadak, ia ketakutan. Ia meronta, berusaha melawan gerak grafitasi yang terlanjur mencengkeramnya. Kepalanya berdenyut, seolah ada yang menekannya.

Sebuah benda menghantam tubuhnya dari bawah, menyentaknya ke atas kemudian melengkung hingga punggungnya menabrak dinding tebing. Paru-parunya seolah meledak karena tertekan oleh benda itu. Refleks, tangannya mencengkeram benda yang menabraknya itu dan heran karena tidak keras seperti batu. Matanya terbuka. Ia masih berada di ketinggian, kemudian pelan-pelan turun.

Suara logam yang beradu dengan tanah dan bebatuan terdengar di atas kepalanya. Ia mendongak dan melihat sebuah batang mengilat mengalur turun, membelah tanah pada dinding tebing dan membuat tanah itu berjatuhan, sedikit mengenai matanya. Ia mengerjap.

"Kalian kenapa, sih?" Sebuah suara yang tak asing bertanya.

Otak Fjola sesaat tak bisa bekerja. Ia menatap kembali ke dasar tebing yang semakin lama semakin dekat saja. Ia bingung. Apakah memang begini kematian itu berlangsung? Tetapi tidak mungkin. Seharusnya ia menghantam batu itu keras sampai tubuhnya hancur, bukannya turun dengan pelan.

"Kenapa tiba-tiba semua orang ingin mati, sih?" Suara itu lagi.

Pandangan Fjola yang mengabur kian jernih. Ia mengamati benda yang menghantamnya tadi. Benda itu cukup besar, tidak keras, maupun tidak empuk, hangat, dan .... Setelah mendongak untuk memeriksa benda apakah itu, ia melongo. Rupanya, itu bukan benda, melainkan tubuh. Tubuh beraroma musim semi yang mencengkeram pinggangnya dengan satu tangan, sementara tangan yang satu menusukkan pedang ke dinding tebing, mencegah grafitasi menarik mereka berdua dengan ganas.

Setelah kaki mereka menyentuh batu di dasar tebing, tubuh itu mengangkat Fjola dan melemparkannya ke tanah bukaan tak jauh dari tempat seharusnya ia jatuh. Sepasang suami istri yang berniat bunuh diri tadi juga ada di sana, meringkuk dan saling memeluk ketakutan.

Fjola memandang sepasang suami istri tadi dengan bingung, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya kepada sesosok tubuh yang berdiri di depannya, menjulang dan berkacak pinggang mengamati mereka. Tubuh itu rupanya milik Arnor.

"Jangan bunuh kami," ratap sang suami tadi.

"Hei, bukan aku yang ingin membunuh kalian." Arnor tampak tercengang.

"Ta-tapi, kau peri." Gemetaran, si suami tadi menambah erat pelukannya kepada sang istri.

Arnor mendesah. Ia melempar tangannya dengan frustrasi ke udara, membuat pedangnya yang tajam mengilat sejenak. "Aku tidak mengerti. Aku baru kembali ke negeri ini dan langsung disambut dengan bunuh diri masal."

Sepasang suami istri tadi saling memandang. Mereka menelan ludah dengan susah payah, kemudian sang suami melanjutkan, "Kami tak mau menjadi budak para peri."

Arnor mengamati lelaki itu. Ia berlutut di depannya dan membuat lelaki tadi beringsut mundur. Hujan masih turun, membuat lumpur di tanah mengotori baju mereka. "Dengar, aku tahu ini sulit, tetapi bertahanlah. Aku mendengar detak jantung aneh dalam istrimu." Mata peri itu menatap perut si istri sekilas, lalu melanjutkan, "Harapan akan selalu ada. Perjuangan bahkan belum dimulai. Jadi, kumohon, berjuanglah demi semua orang yang kau sayangi. Matilah demi mereka yang ingin kaulindungi. Bunuh diri tak akan membawa apa pun. Jika kau tidak mampu menghadapi persoalan di dunia ini, bagaimana kau dapat mengatasi persoalan di kehidupan selanjutnya? Kau akan terus berlari. Marilah kita berjuang bersama."

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang