Bab 1

1K 54 4
                                    

Roda berderak sangat lambat di antara jalan yang berkerikil dan berselimut salju. Sang kusir yang merupakan pemuda belia mengeratkan jubahnya. Busur dan panah ia sandang tanpa dilepaskan barang sedetik pun. Matanya terbuka dengan awas. Telinga ia tajamkan. Jika ada gerakan maupun suara sedikit saja dari semak di pinggir jalan yang dilalui, ia tak akan ragu untuk membidik.

Suasana sangat hening malam itu. Padahal jalan yang dilaluinya merupakan jalan utama para pedagang melintas dari kerajaan satu ke kerajaan lain. Penginapan-penginapan yang biasanya ada di setiap beberapa kilometer di pinggir jalan tersebut pun semuanya tutup.
Pemuda tadi mengeratkan kembali jubahnya. Butir-butir salju yang turun membuat tubuhnya menggigil. Uap keluar dari napasnya yang berembus. Kuda-kuda meringkir, seolah protes ketika melihat jalanan yang menanjak ke bukit. Mereka sudah lelah dipaksa berlari dua hari tanpa istiharat dan makan.

Sang pemuda mencambuk bokong kuda-kuda itu untuk memaksa mereka mendaki. Jika tak terkekang, mungkin kuda-kuda itu memilih meninggalkan pemuda itu beserta pedatinya di sana alih-alih memaksa keempat kakinya terus melangkah.
Para kuda itu meringkik lagi, mengangkat ke dua kakinya ke udara sejenak untuk protes.

“Ayolah, sebentar lagi. Setidaknya merengeklah ketika sudah sampai di depan penginapan,” bujuk si pemuda menarik kekang. Para kuda itu mendengus. Pemuda itu menyipitkan mata ke depan, lalu tersenyum cerah.
“Lihat, di depan ada penginapan. Aku berjanji akan menyediakan jerami yang enak di sana dan memijat kaki kalian kalau berhasil sampai di sana sebelum aku mati kedinginan.”

Para kuda itu meringkik lagi. Seolah termotivasi, mereka berderap ke depan. Setelah melewati jalan mendaki yang sulit, para kuda itu hanya mampu menarik pedati sampai di samping penginapan. Kaki-kaki mereka tertekuk. Kuda-kuda itu bersimpuh dengan lelah.

Sang pemuda turun dari kereta. Ia membuka pintu pedati dan mengumumkan, “Para kuda sudah tak kuat. Kita semua butuh istirahat.”

Seorang gadis yang usianya lebih tua dua tahun dari pemuda itu pun turun dari kereta. Kakinya yang kecil menapak tanah dengan lelah. Lingkaran hitam menghiasi bawah matanya. Ia menepuk bahu sang pemuda dan melewatinya sembari berkata, “Kuharap mereka punya makanan.”

Seorang lelaki yang memakai pakaian yang jelas tak cocok pada masa itu pun turun, menyusul gadis tadi. “Dan obat,” sambungnya menatap peginapan dengan pandangan tak yakin. Rambutnya yang pendek dan semua berdiri seolah menentang grafitasi tampak menyebar ke segala arah dengan tak teratur. Warna yang sama menghiasi kantung matanya. Ia meregangkan sendinya yang kaku, kemudian karena kedinginan, ia pun memeluk tubuhnya erat-erat dan menggigil. “Dan air panas.”

“Ishak!” panggil gadis lain yang melongokkan kepalanya dari pintu pedati. “Aku tak bisa membawanya sendiri,” katanya kepada lelaki berambut jabrik tadi. Rambutnya yang pendek dan kelam serasi dengan malam itu. Sama seperti yang lain, ia juga lelah dan kelaparan. Matanya tampak cekung, bibirnya kering. Meski begitu, ia tampak lebih bugar dibanding yang lain. Mungkin karena pengalamannya dulu yang harus berjuang hidup di luar tembok perbatasan.

“Sebentar, Fjola,” kata Ishak menatap pintu penginapan yang terbuka setengah dengan heran. “Aku harus memastikan penginapan ini aman.”

“Fannar,” panggil Fjola dengan tatapan memohon kepada pemuda yang menjadi kusir tadi.

Tanpa menjawab, pemuda itu berpaling, meninggalkan Fjola dengan tak acuh.

Gadis itu mendesah. Ia menatap sang pangeran yang tak sadarkan diri dengan helaan napas panjang. Setelah berhasil keluar dari peperangan dua hari yang lalu di Negeri Veggur, mereka membawa Pangeran Barrant yang terluka ke Negeri Haust. Pasalnya, hanya negeri itu yang merupakan negeri terdekat. Lagi pula, di negeri tersebutlah Fjola lahir. Ia yakin Sofia, ratu negeri itu, dapat membantunya menyelamatkan sang pangeran.

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang