Bab 53

64 13 3
                                    

“Oh, ayolah!” Arnor yang masih terikat di pohon merajuk. Meski di ambang kematian, ia tampak sesantai biasanya. Mungkin, ikatannya sudah terlepas, batin Fjola yang menyaksikan eksekusi itu. Jadi tak ada rasa takut di mata peri itu.

Si raksasa bermata buta yang diketahui bernama Poebe menggeram. Dengan kedua tangannya yang besar, ia mengangkat pohon itu seolah tongkat. Ia mengguncangnya, seakan ingin mengempaskan tubuh Arnor yang melekat di pohon itu. “Kau membunuh Dom kami.”

“Dom kalian?” Sang peri mendengkus. “Kau bahkan membencinya. Jujur saja padaku. Iya, kan, Yang Mulia?” Alis peri itu terangkat. Ia tampak sombong.

“Kurang ajar!” geram sang raja. Tangannya yang berbonggol dan mengenakan cincin mengepal erat. “Masukkan dia ke lahar!” titahnya.

Poebe menggeret pohon itu, mengangkatnya melewati pagar, membuat arnor yang terikat dengan pohon itu jungkir balik. Rambutnya yang panjang turun. Ia mendongak dan melihat magma jauh di bawahnya. “Tunggu, tunggu, tunggu!” Ia mulai panik. “Seharusnya ada sidang pembelaan!”

Sang raja mengernyit. “Sidang, apa?”

“Sidang pembelaan!” Arnor menoleh kepada Fjola dan Fannar yang berdiri kaku. “Betul, kan?” tanyanya meminta persetujuan.

Raja para raksasa itu menoleh kepada Fjola dan Fannar, begitupun dengan Wood dan Bob yang tak sabar melihat ayahnya mengeksekusi sang peri. Sebenarnya, kedua anak itu tak peduli pada kesalahan peri itu. Yang membuat mereka tertarik adalah adanya seseorang dimasukkan ke lubang lahar. Selama ini mereka jarang sekali melihat ayahnya menghukum seseorang masuk ke sana. Hukuman terberat yang diperintahkan ayahnya adalah mengusirnya, seperti yang baru saja dilakukannya terhadap Ronda, kakak perempuan mereka.

“Apa kalian mengenal peri ini?” tanya sang raja kepada kedua manusia itu.
Karena takut terjadi sesuatu terhadap sang peri, Fjola berniat mengangguk. Akan tetapi, dari ekor mata, ia melihat Arnor menggeleng. Ia meliriknya sekilas, lantas menjawab, “Tidak.”

Fannar yang mendengar jawaban kakaknya pun menyetujuinya dengan menggeleng. “Kami tidak mengenalnya.”

“Tapi, apa yang dikatakannya tadi benar,” sahut Fjola segera. “Jika Anda menuduh seseorang melakukan suatu kejahatan, Anda harus mengadakan sidang terlebih dahulu.”

“Bah!” Sang raja mendecakkan lidah. “Membuang-buang waktu saja!”

“Apa itu sidang?” tanya Bob polos.

“Sejenis ritual, mungkin,” sang raja menjawab dengan acuh tak acuh.

Fjola menjelaskan, “Bukan, Yang Mulia. Sidang adalah pengambilan keputusan kepada seseorang yang dituduh berbuat kejahatan dengan menghadirkan bukti maupun saksi yang dapat mendukung maupun menolak tindakan tersebut.”

Raja itu mengibaskan tangannya. “Sudah kuduga.” Ia beralih kepada Arnor yang tersenyum manis. “Kau peri sialan bermulut racun!”

“Terima kasih atas pujianmu, Yang Mulia.”

“Lepaskan dia!” perintahnya kepada Poebe.

“Tapi—“ Poebe seolah tak terima.

“Kau tidak dengar? Kita akan mengadakan sidang.” Sang raja berkata dengan geram. Ia menekan kata sidang seolah mengganggu mulutnya ketika diucapkan. Ia lantas beralih kepada Fjola dan Fannar, lalu bertanya, “Dan kalian? Untuk apa kalian kemari? Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak mau berurusan dengan kurcaci lagi? Kalian meminta harga yang terlalu mahal untuk satu wadah dari kuningan yang tak ada manfaatnya.”

“Mereka bukan kurcaci, Yang Mulia,” Arnor menjelaskan. Ia mengulurkan kakinya yang panjang ke pagar, menautkan punggung kakinya di sana untuk menahan sang pohon, kalau-kalau Poebe tak sengaja melemparnya ke lahar di bawah.

“Bagaimana kau tahu?” Wood curiga.

“Aku sudah keliling dunia tengah, asal kau ingat.” Arnor masih mencoba melepaskan ikatan talinya. “Bisa kau tarik aku, Poebe? Kepalaku sudah mulai pening melihat segalanya secara tebalik. ”

Raksasa bermata buta itu pun menggeram. Ia menarik pohon yang terikat pada Arnor melewati pagar. Tepat ketika akarnya mencapai lantai, Arnor sudah terlepas. Ia menyingkir dengan cepat, sebelum Poebe melempar pohon itu ke lubang lahar.

Tanpa sadar, Fjola mendesah lega. Fannar yang dicengkeram lengannya pun mengingatkan dengan pelototan penuh arti.

“Nah, untuk apa manusia-manusia ini ingin menemuiku?” Sang raja kembali dibuat heran. “Bukankah seharusnya kalian terkurung di tembok atau apalah itu namanya?”

Fjola berdeham. “Sebenarnya, Yang Mulia, kami ke sini untuk meminta bantuan Anda.”

“Bah!” Sang raja mendadak tertawa. Tangannya yang besar sekaligus lebar menuding Fjola seolah telah melemparkan candaan. Poebe, Wood, dan Bob ikut tertawa. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai-sampai perut mereka sakit dan air mata terbit di sudut mata. "Tidak bisa dipercaya. Kalian meminta bantuanku? Bah!"

Fjola dan Fannar menjadi kikuk. Mereka bingung dengan respons sang raja yang di luar dugaan. Menurut Fjola tak ada yang lucu dari kalimat yang diucapkannya tadi.

Setelah beberapa saat, tawa itu mereda. Sang raja masih terkekeh. Seusai menarik napas panjang, ia melambaikan tangan, mengisyaratkan mereka semua untuk masuk ke ruangan yang merupakan balairung.

Poebe tak mau mengikuti sang raja. Ia memilih kembali ke luar untuk menjaga perbatasan. Raja pun mengizinkan.

“Kalau sudah waktunya melempar peri itu ke lahar, harap kabari aku, Yang Mulia. Aku tak sabar ingin menghukumnya,” pamitnya sebelum pergi.

Wood dan Bob juga memilih tak ikut ke balairung. Mereka lebih tertarik kepada baju kamuflase Poebe yang unik. Mereka merecoki raksasa itu supaya memberitahu cara membuatnya. Meski enggan, Poebe tampak tak dapat menolak. Bagaimanapun mereka adalah anak raja. Jika menolak mereka di depan sang raja, tentu kariernya sebagai penjaga perbatasan akan tamat.

Balairung raja itu amat sederhana dan sepi. Tak ada prajurit. Hanya ada satu singgasana. Di belakang singgasana ada tangga raksasa yang menuju ke atas. Di samping tangga, menempel pada tembok terdapat lukisan yaang tergantung dalam pigura bertepian emas. Lukisan itu merupakan lukisan sang raja sendiri. Namun, sepertinya siapa pun yang melukisnya tidaklah pandai. Sebab, lukisan itu tidak mirip sama sekali dengan aslinya. Lukisan itu bahkan tampak lebih manusiawi dan sang raja terlihat normal di sana. Padahal seharusnya ia tak akan muat meski di lukis dalam posisi landscape.

Sang raja duduk di tahta. Kakinya membuka lebar ketika ia duduk. Kursinya tampak cukup digunakan untuk dua orang. Ia lantas menyilakan tamunya mengambil duduk di kursi yang tersedia di sana. Kursi yang tersedia pun tinggi dan besar. Fjola harus memanjatnya jika ingin duduk.

Arnor yang berhasil lolos dari kematian pun menawarkan bantuannya saat sang gadis kesulitan, tetapi Fjola menolak. Ia berkata bisa melakukannya sendiri.

Saat Fjola beberapa kali gagal mencapai dudukan, Arnor dengan gemas mengangkat pinggangnya. “Cobalah berlatih melompat sesekali agar tubuhmu tidak terlalu pendek,” sarannya.

“Kau mengejekku?” Fjola mendengkus kesal.

Arnor hanya mengangkat satu sudut mulutnya. Hal itu membuat sang gadis tambah merengut.

“Jadi,” suara sang raja para raksasa bergema, “kalian serius ingin ingin meminta bantuan dariku?”

"Tentu, Yang Mulia."

"Kalau begitu, bantu aku mengadakan sidang itu."

Fjola menengok Arnor sekilas. Ia lantas mengangguk. "Dengan senang hati, Yang Mulia."

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang