Bab 60

74 13 2
                                    

Fjola tak tahu apa yang mesti ia perbuat dengan keempat pemburu yang terkubur. Ia tak tega untuk menebas kepala mereka, tetapi juga tak mau mebebaskan mereka. Pasalnya, mereka mencoba menculik Ronda. Meski Ronda raksasa, tetap saja ia seorang gadis remaja yang mungkin umurnya tak lebih tua darinya. Ia tak bisa memaafkan tindakan para pemburu itu.

Ketika Arnor mengusulkan untuk meninggalkan mereka saja, Fjola ragu. Bukankah itu artinya ia menyiksa mereka? Mereka tak mungkin dapat keluar dari tanah kecuali ada orang yang membantu.

“Aku yakin kawanan mereka yang lain pasti akan membantu mereka.” Arnor mengelus lengan gadis itu, mendekatkan bibirnya ke telinga ketika berbicara. Sejak peri itu dikuasai kekuatan yang membuatnya tak sadar, Fjola tak melepaskannya. Ia takut peri itu lari darinya, menjauh lagi.

“Sampai kapan?” tanyanya menoleh.

Wajah Arnor begitu dekat sampai-sampai Fjola dapat merasakan embusan napasnya.

“Mungkin dua hari.” Matanya yang hijau berserobok dengan pandangan Fjola. Ia tak tahan untuk tidak mengelus pipi gadis itu, menggodanya. “Itu waktu yang cukup untuk menghukum mereka.”

Gadis itu melirik bibir sang peri yang menawan, kemudian berbisik, “Waktu yang cukup pula untuk kita membujuk Ronda dan pergi dari sini.”

“Ya.” Arnor tersenyum. “Kita membicarakan mereka seolah-seolah mereka objek bulan madu kita.”

Fjola tertawa. Bulan madu? Wajahnya memerah. Ia menunduk lalu bekata, “Ayo kita menyusul Fannar dan Ronda.” Ia lantas berbalik. Sebelum melangkah, Arnor menarik tangan Fjola yang digenggamnya. Matanya memandang gadis itu lama.

“Kumohon, ampuni kami,” kata seorang pemburu setelah berhasil meludahkan tanah yang membungkamnya sejak tadi.

Arnor menoleh sejenak. “Kau bisa bahasa manusia, ya?”

Dengan antusias, pemburu itu mengangguk.

Peri itu tersenyum dan senyumnya mampu melelehkan wanita manapun yang kebetulan melihat. Ia lantas berkata, “Maaf ya, aku tak mau.” Ia lantas menarik Fjola, melangkah meninggalkan mereka. Pemburu itu meraung. Ia memanggil-manggil mereka namun tak dihiraukan.

Arnor menuntun Fjola ke arah yang berlawanan dengan tenda. Fjola menjadi bingung. Ia lantas bertanya, “Mau ke mana kita?”

“Mumpung di sini aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.” Setelah berbicara seperti itu, sang peri mengangkat Fjola ke bahunya. Ia memanggulnya lalu melompat ke dahan.

“Bisakah kau lebih romantis?” pinta Fjola memutar bola matanya.

“Maaf, tidak.” Arnor melangkah ke dahan lain, lalu mulai melompat. “Dahan di hutan ini terlalu tinggi. Kalau aku membopongmu, aku takut terpeleset dan tak sengaja menjatuhkanmu. Kau tidak mau tulangmu bergeser karenanya, kan?”

Fjola memberengut.

Arnor membawanya melompati dahan demi dahan hingga tak lama kemudian, mereka tiba di dahan terakhir. Arnor menurunkannya perlahan. Mereka masih berada di atas suatu pohoh yang tinggi. Bahkan saking tinggingnya, ketika Fjola menengok ke bawah, ia gemetar. Tangannya mencengkeram erat bahu sang peri. “Apa kau gila? Ini sih tinggi sekali.”

Arnor tersenyum. Ia memegang lengan Fjola dengan lembut, melepas cengkeraman gadis itu dari bahunya.

“Jika kau meninggalkanku di sini, aku benar-benar bisa mati, Arnor.” Tubuh Fjola tegang.

“Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.” Perlahan, Arnor memutar tubuh Fjola.

Mata gadis itu takjub saat melihat laut yang membentang di hadapan. Rupanya, ia tengah berada di pohon yang tumbuh pada ujung tebing yang menjorok ke laut. Air pada laut itu berwarna biru. Permukaannya berkilauan bagai berlian. Beberapa awan tampak menghitam, tetapi tak mengurangi keindahan. Riak-riak ombak memanjakan mata Fjola. Ia dapat melihat garis antara langit dan permukaan air.

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang