Bab 85

80 13 2
                                    

Barrant begitu ingin menemukan Margaret. Ia membutuhkan jawaban atas pertanyaannya. Keinginannya bahkan mampu mengalahkan apa pun, termasuk musuh yang menghadang. Seusai membunuhi para pasukan Malakora, ia merangsek masuk ke istana. Dari ekor mata ia melihat gaun wanita tua itu menuju ke sebuah ruangan. Ia mengejarnya. Namun, pengawalnya yang merupakan salah satu panglima Malakora pun menyulitkannya.

Mereka berduel dengan sengit sebelum sang pengawal berhasil menyayat dada si pangeran, membuat luka yang sedang dalam pemulihan kembali terbuka.

Makhluk berbonggol dengan gigi tak rata yang menyerangnya tertawa puas. “Bagaimana rasanya cakar Malakora? Kau tak akan bisa sembuh sempurna.”

Barrant tak mau terpancing. Ia menyerang musuhnya lagi dan lagi walau lawannya mampu menghindar. Menggunakan ilmu yang diajarkan Aguste kepadanya, ia berhasil memojokkan lawannya. Namun sayang, meski terpojok, musuhnya masih mampu melawan. Barrant teringat gerakan yang digunakan Arnor saat melawan serigala di depan kamar penginapan dulu. Ia mencoba meniru serangannya. Namun sebelum itu, ia menunggu si musuh kehilangan kontrol dulu.

Pangeran itu memancing emosi lawan dengan berpura-pura lengah. Saat lawannya merasa senang dan mengira akan menang, ia memuntir serangan dan berhasil mendaratkan pedang ke leher makhluk itu lalu mengirisnya. Darah memuncratinya. Ia puas.

Sebelum tubuh lawannya ambruk, ia berlari mengejar Margaret. Ia mendobrak sebuah pintu. Namun, saat masuk ia terkejut mendapati Fjola terbaring lemah di lantai ruangan itu. Margaret berdiri menjulang di depannya, mengacungkan pedang ke leher sang gadis. Cairan merah membasahi lantai di bawah tubuh Fjola. Mata gadis itu menatapnya. Mulutnya terbuka dan dadanya naik turun. Satu jasad kurcaci tergolek di dekat pintu tembusan yang terbuka. Dan satu jasad orc terpenggal di pojok ruangan.

Dari sana, Barrant menyimpulkan bahwa mungkin orc tersebut berhasil membunuh si kurcaci sebelum dipenggal oleh Fjola. Akan tetapi, mengapa gadis itu teruka? Tidak mungkin Margaret mampu melukainya. Jadi, ia menebak bahwa luka Fjola yang didapat entah dari mana menghalanginya membunuh Margaret.

Tanpa menunggu lama, Barrant maju.
Sebelum pedangnya menyasar wanita tua itu, tembok di samping ruangan jebol. Malakora terepental ke sana. Tubuhnya terjatuh, dan tertimpa runtuhan tembok.

Arnor yang berada di seberang ruangan terkejut melihat keadaan Fjola. Ia melompati tembok yang setengah jebol dan menyerang Margaret. Namun, Malakora yang berhasil bangkit menghalanginya. Dengan kekuatan barunya, ia membentuk pelindung berupa lingkaran api yang mengelilingi Margaret, Fjola, serta dirinya.

Peri jahat itu lantas tertawa. Namun, ketika rusuknya terasa sakit akibat tawanya, ia berhenti. Ia bernapas dengan berat, kemudian berkata, “Bukankah sudah kubilang, Manusia hanya bisa menjadi kelemahan seorang peri."

Barrant berderap maju, tetapi Arnor mencegahnya. “Tunggu, barrant! Jangan gegabah.”

“Fjola tak memiliki waktu. Dia terluka.” Sang pangeran memberitahu.

Mata Arnor menelusuri tubuh Fjola di balik derak api. Ia melihat genangan darah mulai terbentuk di bawah tubuhnya, mengalir ke arah lingkaran.

“Maafkan aku, Arnor,” kata gadis itu lirih.

Margaret tertawa. Ia kembali mencemooh Barrant sebagai pangeran yang lemah. “Aku kasihan kepadamu. Kau tak akan bisa membunuhku. Kau akan kalah, sama seperti ibumu.”

Darah Barrant mendidih.

“Kau ingin tahu apa yang terjadi? Kuberi tahu kau siapa ibumu yang sebenarnya.”

Malakora terkekeh. Namun, Margaret mengabaikannya. Ia melanjutkan, “Ibumu adalah seorang peri. Seorang pemimpin kelompok peri malah.”

Jantung Barrant mencelus. Ia melirik Arnor sekilas, yang mengabaikannya. Ia ingat apa yang dikatakan peri itu kepadanya dulu, tetapi ia tak percaya. Saat ini pun, ia masih sulit percaya. “Tidak mungkin.”

“Oh, ayolah!” Margaret menggerakkan lengannya yang memegang pedang. “Coba pakai logikamu. Mana mungkin seorang manusia biasa mampu menciptakan perisai gaib?”

Barrant bungkam. Ia sudah curiga dari dulu tetapi selalu menekan kecurigaannya itu. “Pasti bukan peri.”

Margaret kembali terkekeh. “Pasti bukan peri,” tirunya dengan nada mengejek. “Kalau bukan, lalu apa? Raksasa? Kurcaci?”

“Tidak. Telinganya—“

“Berbeda?” potong Margaret. “Itu karena dia memotongnya.”

“Tidak mungkin,” gumam Barrant mengingkari. “Kau pasti berbohong padaku.”

“Itulah kenyataannya, Barrant.” Margaret memutar bola matanya. “Asal kau tahu, semua ini karena cintanya kepada ayahmu yang bodoh itu.”

“Tidak!” Barrant masih mencoba mengingkari informasi itu. “Kalau memang dia seorang peri, kenapa dia dibunuh oleh peri?” tanyanya. Kemudian, ia sadar akan sesuatu. Jemarinya menuding Malakora. “Kau! Kaulah yang membunuh ibuku. Kau menyerang negeriku dulu.”

Malakora mendengkus. “Bukan aku yang membunuh ibumu. Apa kau tak ingat, saat ibumu terbunuh, perisai itu sudah terbentuk. Aku tak bisa masuk ke negerimu.”

Benar, batin pangeran itu. “Lalu, siapa?”

“Ayahmu.” Margaret yang menjawab.

“Apa?” kening Barrant mengernyit.

“Kau juga, dan semua manusia yang ada dalam tembok. Kalianlah yang membunuhnya.”

Barrant menggeleng pelan. “Itu tidak benar. Kau mencoba mempermainkanku.”

“Tentu saja, tidak,” Margaret menggertak. “Setiap peri memiliki dua sisi kekuatan. Benar, bukan, Tuan Evindur?”

Arnor menggertakkan gigi. Matanya tertuju pada Fjola yang meringkuk kesakitan di kaki wanita tua itu.

“Begitu pula dengan ibumu,” lanjut Margaret. “Waktu itu, setelah menggunakan batas maksimal kekuatannya, Elnora mengunci diri di kamar untuk menekan kekuatan jahat yang memanggil-manggilnya. Akan tetapi, kau mendesak bertemu dengannya.”

“Tidak!” Barrant mundur. Jantungnya mencelus. Ia teringat bagaimana ia merengek kepada pelayannya untuk meminta bertemu sang ibu. Akan tetapi waktu itu, ia tak jadi menemuinya. Ia memutuskan untuk kembali. Dan .... dan .... “Kau!” Barrant menuduh. “Kau yang membuat pelayanku masuk ke kamar ibuku.”

Margaret tertawa. Setelah tawanya reda, ia mengakui. “Benar, Yang Mulia,” ujarnya dengan nada dibuat-buat. “Pelayan itu adalah ibu Aguste, pengawalmu. Saat kekuatan jahat itu menguasainya, ibumu tak dapat membedakan mana musuh mana kawan. Ia menghancurkan segalanya. Ia melihat seorang wanita masuk dalam radius serangannya, kemudian apa yang terjadi? Coba tebak!”

Barrant menelan ludah dengan susah payah.

Wanita tua itu melanjutkan, “Kesadaran ibumu bertarung dengan kekuatan jahat dalam dirinya hingga akhirnya ia memilih membunuh dirinya sendiri ketimbang menyakiti si pelayan. Bodoh, bukan?”

Tangan Barrant mengepal. “Kau benar-benar jahat!”

“Tidak! Bukan aku yang jahat, para manusia itu yang jahat. Mereka tak menerima seorang peri apa adanya. Mereka begitu memuja sosok Elnora yang menyelamatkan mereka dari serangan, dan mencaci peri yang membunuh ratu itu. Mereka bodoh! Kau bodoh! Ayahmu juga bodoh!” Margaret lantas tergelak.

Malakora juga ikut tergelak. Setelah tawa mereka reda, ia memandang langsung ke arah Arnor. “Itulah yang akan kau alami jika menolak kekuatan itu, Evindur. Pilihanmu hanya ada dua, menerimanya dan menjadi monster sepertiku atau memberikannya kepadaku?”

Arnor mendesah. Ia lantas memutuskan, “Kau ingat apa kesepakatan kita, Barrant?”

***

Udah aku up 3 bab loh. Besok kalau nggak ada halangan aku up sampai tamat. Sementara, ini dulu ye, buat malam mingguan bagi yang jomlo. Hehehe....

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang