Bab 87

70 12 0
                                    

Barrant tak boleh mundur sekarang. Ia teringat kesepakatan yang telah dibuatnya dengan Arnor dulu, waktu di kamp. Saat itu, Arnor memintanya bertemu di tepi tenda yang sepi.

“Mengapa kau membenciku?” Itulah pertanyaan pertama yang diajukan oleh peri itu kepadanya. Kemudian, Arnor memberitahunya bahwa ibunya adalah seorang peri. Ia pikir, Arnor bercanda, tetapi rupanya, ibunya benar-benar seorang peri. Saat itu ia begitu membenci Arnor. Jadi, saat sang peri memohon kepadanya, tanpa ragu ia menyanggupinya.

“Nanti, akan ada saat di mana aku mungkin akan berubah,” bisik peri itu ke telinganya. “Perhatikan saja warna mataku. Jika kau melihat indikasi perubahan warna pada mataku sehingga hampir—ingat, kubilang hampir—menyerupai bola mata Malakora, tebas aku dengan pedangmu. Tepat di leher sampai kepalaku putus. Kau mengerti?”

Waktu itu, Barrant sedikit terkejut. Ia memundurkan kepalanya, menatap mata sang peri dengan kening mengernyit. “Mengapa aku harus melakukan itu?”

“Karena hanya kau yang bisa.”

“Apa karena hanya aku yang tak terpengaruh oleh sihir pemikatmu?”

Arnor memutar bola matanya. “Aku tak memiliki sihir pemikat.” Ia lantas menjelaskan, “Dengar, setiap peri yang diberi anugerah memiliki dua sisi yang berbeda. Ada yang dapat mengendalikan anugerahnya sehingga memiliki kekuatan yang mampu menolong orang lain. Tetapi, ada pula yang dikendalikan anugerah itu sehingga merusak orang lain. Contohnya Malakora. Sedangkan aku masih abu-abu.”

“Apa maksudmu?”

“Aku masih belum bisa mengendalikan anugerahku, tetapi anugerahku pun belum mengendalikanku. Kami masih bertarung,” jelasnya.

“Aku tidak mengerti.”

Arnor mendesah. “Ternyata, otakmu diturunkan dari pihak ayah.”

Barrant mengacungkan telunjuknya. Ia menggeram. “Jangan mengejekku!”

“Intinya,” Arnor mengabaikan sang pangeran, “jika bola mataku berubah seperti milik Malakora, aku bakal menjadi monster sepertinya. Sebelum itu terjadi kau harus membunuhku. Mengerti?”

“Mengapa aku harus memenggalmu?”

“Aku memiliki kekuatan pemyembuh. Jika kau hanya menusukku, kau tak akan mampu membunuhku.”

Teringat hal itu, Barrant mengumpulkan niat. Ia bangkit. Mengabaikan sakit dari dadanya yang sempat tertebas tadi, lalu maju dan mengayunkan pedang ke leher sang peri.

Arnor menerima tebasan itu tanpa perlawanan. Darahnya menyembur. Ia lantas menutup mata. Namun, tak lama kemudian, matanya kembali terbuka. Darahnya berhenti mengalir dan lukanya menutup.

“Bukankah Arnor sudah mengatakannya dengan jelas padamu? Penggal kepalanya, bukan hanya memberi goresan. Aku abadi.” Peri itu tertawa dan tawanya terdengar mengerikan.

Bulu kuduk Barrant kembali meremang. Ia memegang pedang dengan tangan gemetar.

Di luar, Eleanor yang bertarung menghadapi pasukan Malakora dapat merasakan koneksinya dengan Arnor karena mereka merupakan anak kembar. Perasaan aneh menyergapnya. Ia berbalik ke arah suaminya, Agis, lalu mengangguk. Segera, mereka berdua berlari ke tempat Arnor.

“Apa yang terjadi?” tanya Agis sembari berlari menjajari sang istri.

“Aku tak dapat terhubung dengannya.” Peri itu melesat. “Kabut telah menyelubungi koneksi kami. Sesuatu yang sempat menimpaku kini menimpanya.”

Agis tempak terkejut. “Maksudmu ...?”

“Dia sedang bertarung dengan dirinya sendiri, Agis. Aku tak bisa membiarkannya sendirian. Dulu, dialah yang membantuku melawan pikiran jahatku.”

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang