Bab 24

102 17 2
                                    

“Tolong maafkan Ayah, Sofia,” ratap Briet yang baik hati. “Dia sangat mencintaimu. Hanya saja mungkin dia tak bisa mengungkapkan perasaannya kepadamu.”

Sofia melepas pelukannya. Ia mengusap air mata adiknya dengan lembut. “Kau tidak tahu apa yang kualami di luar sana. Jika itu kau ....” Wanita itu tercekat, “aku bersyukur itu bukan kau.”

“Oh, Sofia!” Briet memeluk wanita itu lagi. Kali ini lebih erat. Tubuhnya berguncang karena tangis. “Aku menyayangimu."

“Aku juga.” Sofia mengelus rambut panjang adiknya. Mereka berpelukan sampai Barrant yang sudah merasa baikan memisahkan mereka dengan pertanyaan.

“Apa yang terjadi?” tanyanya.

Sofia mengusap sudut matanya yang basah. Ia lantas menggeleng dan menyahut, “Tidak apa-apa. Kami hanya emosional. Bagaimana perasaanmu? Sudah membaik?”

Namun, pangeran itu mengabaikan pertanyaan Sofia. Matanya membelalak saat melihat darah melumuri gaun Briet. Ia menghambur kepada gadis itu, memeriksa tubuhnya dengan khawatir. “Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?”

Briet menarik tangannya dari sang pangeran. Sekilas, ada rona di pipinya. “Ini bukan darahku, Yang Mulia.”

“Lalu?” Barrant beralih kepada Sofia dengan pandangan yang meminta penjelasan.

Wanita yang dipandangnya pun melengos sebentar. Ia tak mau menjawab keingintahuan sang pangeran. Entah mengapa ia merasa pangeran itu tak berhak mengetahui jawabannya. Sebab, menurutnya ini merupakan urusan pribadinya, urusan internal kerajaannya. Meski Barrant merupakan pangeran, namun di sini, ia adalah tamu.

Sofia hanya dua kali bertemu Barrant. Dulu, saat wanita itu dibawa ke Negeri Veggur untuk menjadi kandidat selir, ia melihat Barrant berjalan keluar dari balairung ayahnya bersama pengawal setianya. Mereka sempat berpapasan. Namun, baik Barrant maupun Sofia tak saling menyapa. Saat itu, Sofia sedang berada di titik paling mengecawakan atas hidupnya, kekasihnya mati dibunuh sang ayah.

Pertemuan kedua adalah beberapa minggu yang lalu, saat Sofia mengemban posisi barunya sebagai pemimpin kerajaan. Ia datang ke Negeri Veggur untuk membatalkan perjanjian yang selama ini mencekik rakyat negerinya. Ia juga menawarkan pembaharuan perjanjian. Saat itu, ia dapat melihat sang pangeran dengan lebih jelas. Meski begitu, ia belum terlalu mengenal Barrant. Bahkan, saat menyarankan Fjola untuk menerima hati Barrant pun, ia berbohong dengan mengatakan kelebihan pangeran itu yang sesungguhnya ia pun tak tahu pasti. Ia merasa bersalah karenanya.

Namun demikian, mungkin saja Barrant memang baik hati. Nyatanya, ketika melihat Briet berlumur darah, raut khawatir terpancar dari mukanya yang tampan.

Mungkin, Barrant khawatir karena sudah menganggap Briet sebagai kawannya. Sebab, ketika pangeran itu mengunjungi Negeri Haust, Brietlah yang sering menemaninya. Sofia tak pernah dibiarkan keluar kamar untuk sekadar menyambutnya.

“Kau diperuntukkan khusus untuk Raja Valdimar, bukan Pangeran Barrant,” kata ayahnya dulu.

Sofia mendesah ketika teringat tindakan ayahnya yang pilih kasih. Tanpa menjawab pertanyaan pangeran itu, ia menarik lengan Briet, membawanya ke dalam istana. Sekilas ia ingin menjawab “bukan urusanmu” kepada pangeran itu, namun ia tahan komentarnya. Ia tak mau menyinggung tamunya.

Ia membawa Briet ke depan sebuah kamar dan mengetuk sekilas. Seorang wanita membuka pintu. Wanita itu sudah berumur, akan tetapi ia masih tampak cantik. Matanya yang biru membuat pesonanya seolah tak mampu luntur, meski keriput samar-samar menghiasi wajahnya. Rambutnya yang berwarna putih keperakan dikepang indah. Meski begitu, kini wajah cantik itu tertutup air mata dan penderitaan.

“Ibu,” sahut Briet menghambur ke pelukan wanita itu. Mereka berpelukan dalam tangis. “Aku melakukannya. Aku mem—“

“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” istri Raja Erik itu memotong ucapan sang putri. “Percayalah, dia akan berterima kasih padamu.”

Sofia mengelus bahu wanita itu, lalu berkata dengan lembut, “Maaf. Selama ini aku bersikap kurang baik padamu.”

Wanita tadi berbesar hati dengan mengangguk. “Aku paham. Seandainya aku jadi kau, aku akan bersikap sama.”

Sofia menatap ibu Briet dengan penuh penyesalan. Dulu, ia begitu cemburu kepada wanita itu karena telah masuk ke kehidupan ayahnya. Ia menjadi selir yang paling disayang oleh Raja Erik. Bahkan, ketika ibu Sofia sakit-sakitan, dan sangat membutuhkan perhatian suami, Raja Erik malah sibuk berasik-masyuk dengan wanita itu. Namun sekarang, ia sadar bahwa wanita itu tak memiliki pilihan. Ia tak bisa menolak sang raja. Ayahnyalah yang brengsek.

“Aku akan meninggalkannya di sini. Dan, tolong, maukah kau mempersiapkan pemakaman Ayah? Aku sungguh-sungguh tak punya waktu. Dunia sedang berperang.”

Wanita tadi mengangguk. “Jangan khawatir. Aku akan mengurus semuanya. Lindungilah kami, lindungilah rakyatmu. Itulah tugas pemimpin yang sebenarnya.”

Sofia  mengangguk. Ia mengelus bahu Briet lalu meninggalkan mereka berdua kembali ke balkon. Saat melewati pintu balkon, ia mengusap sudut air matanya yang basah. Ia merasa lelah. Semua kejadian ini seolah tak memberinya waktu sekadar untuk bernapas. Ia semakin lelah ketika melihat Barrant masih berdiri di balkon, menunggunya.

“Ada apa, Sof?” tanya pangeran itu.

Sofia memutar bola matanya. “Tidak ada apa-apa.”

Sang pangeran sadar bahwa sikap ratu itu tertutup kepadanya. Ia tak mendesak.

“Bagaimana lukamu?” tanya Sofia.

“Jauh lebih baik. Terima kasih.”

Sofia tak tahu mesti berbasa-basi apa lagi dengannya. Dia bukan tipe wanita yang suka basa-basi. Ia terselamatkan dari kecanggungan karena mendadak, Barrant mengalihkan perhatiannya. Pangeran itu menunjuk gerbang dan bertanya, “Apa itu? Kenapa ia berbuat seperti itu?”

Wanita itu menoleh ke arah yang ditunjuk sang pangeran. Di sana, ia melihat Sifthy meringkik, mengangkat kedua kaki depannya dan mengentak ke gerbang yang tertutup, seolah minta dilepaskan dari kungkungan. Sofia mengernyit menatap tingkahnya yang aneh. Kemudian, ia menarik teropong dan mengintip.

“Buka gerbangnya,” perintahnya kepada prajurit.

Tak lama, gerbang terbuka. Sifthy berlari melewati gerbang dengan langkah bersemangat. Sementara itu, Sofia yang penasaran menggerakkan teropongnya ke arah yang dituju sang kuda. Dari teropongnya, ia melihat seseorang berjalan keluar dari balik pepohonan. Ia melambaikan satu tangannya ke arah sang kuda yang mendekat.

Sofia yang melihat sosok itu pun tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Tuan Evindur.”

“Siapa?” tanya sang pangeran penasaran.

Tanpa menjawab, Sofia berlari meninggalkan balkon dan turun untuk menyambut tamunya.

Pangeran yang kesal karena diabaikan meraih teropong dan mengintipnya. Sosok sang peri yang tampak jelas di sana. Ia mendengkus.

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang