Bab 81

61 14 3
                                    

Seolah tahu bahwa hari itu adalah titik penghabisan bagi pasukan Sofia, Malakora turun ke medan perang. Dengan kuda, ia memimpin pasukannya langsung. Baju kebesarannya tampak mengilaukan, terbuat dari bahan yang mungkin hanya ada di wilayah luar perbatasan. Ia mengenakan baju itu bukan untuk melindunginya dari pedang yang menyasarnya, melainkan hanya ingin menunjukkan betapa berwibawanya dia. Ia tak butuh pakaian pelindung. Ia yakin akan kemampuannya sendiri.

Di sampingnya, berdiri di atas kereta tanpa penutup ada Margaret. Ia dilindungi makhluk-makhluk milik Malakora. Bersama, mereka berdua, dengan dilindungi beberapa prajurit, menghampiri sisi tengah medan perang. Malakora lantas turun dari kudanya.

Melihat gelagat itu, Sofia yang juga mengendarai kuda menghampirinya. Mungkin, Malakora ingin bernegosisasi, pikirnya, atau malah ingin menipunya. Ia tak tahu pasti. Yang jelas, saat Sofia ke area tempat peri jahat itu menunggu, Barrant menyertainya. Begitu pula dengan Arnor dan para panglima serta Aguste. Raja Magmar bersiap dengan pelontarnya.

Tanpa mereka semua sadari, Fjola menyusup ke salah satu barisan. Ia tak bisa membiarkan Arnor berperang tanpanya.

“Kulihat pasukanmu sudah habis, Sofia,” Malakora memulai ketika sang ratu manusia mendekat. “Menyerah dan kembalilah menjadi budakku.” Ia lantas tertawa. Pasukan yang bersamanya ikut tertawa.

“Lebih baik aku mati daripada menjadi budakmu lagi!” Sofia meludah ke tanah.

“Well.” Margaret tersenyum ketika mendapati ada Barrant dalam rombongan itu. “Apa kabar, Yang Mulia?” Ia mengucap frasa 'yang mulia' dengan nada mengejek. “Di mana gadis kesayanganmu? Apakah dia tak lagi menjadi gadis kesayanganmu?” tambahnya melirik Arnor. Wanita tua itu mendengar bagaimana Fjola selamat dari ancaman negeri luar dari cerita Malakora.

Rahang Barrant mengeras. Emosinya tak terbendung lagi. “Kau! Kalian memang bedebah!”

Margaret terkekeh. “Kau begitu membenci peri, tetapi lihatlah sekarang. Kau bekerja sama dengan seorang peri.”

Barrant mengepalkan tinjunya. Matanya mendelik marah. Ia bakal menyerang wanita tua itu seandainya Sofia tak menahan badannya supaya maju.

“Jika kau tahu apa yang sebenarnya terjadi ketika ibumu mati, tentu pandanganmu tentang mereka akan berubah.” Margaret memancingnya lagi.

“Apa maksudmu?” Barrant menyentak lengan Sofia yang menahannya. Ia maju selangkah.

“Oh, ayolah ....” Margaret lantas beralih kepada Aguste. “Kau tak memberitahunya?”

Kepala lelaki itu menunduk. Barrant tersentak lalu menoleh ke arahnya. “Apa maksudnya, Aguste?”

Margaret lantas beralih kepada Arnor. “Tentu sebagai peri, kau pasti bisa menebak apa yang terjadi pada Elnora, bukan?”

Arnor menggertakkan gigi. Namun, ia bungkam.

Barrant melihat Aguste, Arnor, dan Margaret bergantian. “Apa maksudnya, tolong beritahu aku!”

“Oh, astaga!” Margaret kembali terkekeh. “Pangeran kecil yang malang.” Ia mengangkat satu tangan ke atas. Kemudian, keretanya bergerak memutar. Ia berniat meninggalkan tempat itu.

Barrant segera maju, menghadangnya. “Apa maksudmu? Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada ibuku!” Namun, para prajurit Malakora mengacungkan tombak dan menahan tubuhnya supaya tidak bertindak lebih jauh lagi.

Malakora merentangkan tangan. Ia berbicara pada Arnor. “Itulah yang akan menimpamu kalau kau menolaknya.” Ia lantas melangkah hingga tepat di depan sang peri lalu menambahkan, “Bergabunglah denganku.”

Arnor bungkam.

“Aku tahu kau sudah mencapai batas. Terimalah dirimu yang sebenarnya. Bergabunglah denganku.”

Sebuah anak panah melesat ke arah peri jahat itu. Sayangnya, anak panah itu tak berhasil mengenainya. Sebab, di saat terakhir, Malakora sempat menghindar. Dengan mata menyala karena amarah, peri jahat itu berlari cepat ke arah prajurit yang menembakkan panah. Arnor yang terkejut pun segera menoleh. Ia dapat melihat ke mana arah Malakora menyerang dan jantungnya langsung mencelus.

Prajurit yang menembakkan anak panah itu ternyata adalah Fjola. Kaget melihat kecepatan Malakora, ia terpaku di tempat. Tubuhnya menolak bergerak. Apalagi saat Malakora mengayunkan cakar untuk menusuknya.

Namun di saat terakhir, Arnor berhasil menahan cakar itu dengan pedangnya. Napasnya sedikit terengah karenanya.

Melihat prajurit yang menahannya lengah, Barrant memanfaatkannya untuk menarik pedang dari sabuk kemudian menyerang. Segera, perang pun meletus. Para pasukan masing-masing saling menyerang. Mereka bertempur dengan gigih.

Malakora menarik cakarnya. Ia menatap Fjola yang telah melepas helm kemudian mendengkus. “Well,” katanya mundur, “jika kutahu itu kau, aku tak akan menyerangmu.”

Gadis itu sudah mengumpulkan keberaniannya kembali. Ia mengacungkan panah, menyerang para pemburu yang merangsek ke arahnya.

“Mengapa, Evindur?” tanya peri jahat itu lagi. “Mengapa kau mau bekorban untuk para manusia bodoh ini? Jika kau bergabung denganku, aku akan membiarkanmu bersama kekasihmu itu selamanya. Aku tak akan mengganggu. Aku janji.”

“Enyahlah kau, Malakora!” Fjola kembali memanah Malakora dan berhasil mengenai baju zirahnya yang cemerlang hingga sobek.

Peri jahat itu menggeram. Tampak matanya berapi-api karena murka. Namun, ia masih mencoba tenang. “Baiklah kalau itu memang yang kalian mau.” Ia lantas menyerang Arnor. Ia berputar, menendang, mencakar, dan mencoba mencelakai Arnor. Akan tetapi, peri itu mampu menghidar dengan berkelit.

Sayangnya, seekor serigala berlari ke punggung Fjola yang membuat peri itu kehilangan fokus. Ia terkena tendangan sang musuh hingga terpental jauh. Tak hanya itu, Malakora melompat dan terus menendang tubuh Arnor yang terpelanting.

Fjola sendiri mampu memanah serigala yang memburunya hingga tewas. Ia juga dibantu oleh Zargar. Saat ia akan mengejar Arnor, pemburu lain menyerangnya, menahannya tetap terpisah.

Barrant sendiri mengayunkan pedang dengan penuh kemarahan. Dibantu Aguste, ia mengejar kereta Margaret yang terus menjauh. Sedangkan Sofia yang hanya dapat menggunakan satu tangan tampak kewalahan. Meski begitu, ia terus melawan. Raja Magmar memerintahkan pasukannya untuk menembaki para troll yang datang menyerang.

Mereka terus melawan sampai titik darah penghabisan. Namun, karena jumlah dan kemampuan yang jelas timpang dengan lawan, pada tengah hari, mereka sudah merasa kelelahan. Para prajurit Sofia banyak yang tumbang. Amunisi untuk menembaki para troll sudah tipis, cenderung habis malah. Tubuh-tubuh yang dipaksa perang selama tiga hari sudah mencapai batas maksimal.

Barrant gagal mencapai Margaret sehingga wanita tua itu berhasil mengamakan kereta di pinggir medan peperangan. Dari ekspresinya, ia mencemooh sang pangeran.

Arnor masih melawan Malakora. Kemampuan bertarung mereka imbang. Akan tetapi, Arnor yang tak menggunakan kekuatan perinya lebih sering terkena serangan sang musuh. Beberapa kali ia tertusuk hingga membuat tubuhnya terluka dan darahnya keluar. Meski memiliki kekuatan penyembuh, tetap saja ia kewalahan. Tubuhnya sudah tak kuat menahan luka ketika Malakora berhasil melemahkannya. Peri jahat itu bahkan menginjak kepala Arnor.

“Jangan naif, Evindur!” bentaknya. “Aku tahu kau bisa lebih baik dari ini.”

Fjola dan Zargar pun sudah mencapai batas akhir kekuatan mereka. Dengan napas yang hampir putus, mereka saling membelakangi, menyiagakan pedang menghadapi musuh yang mengepung.

Tak lama kemudian, sebuah pasukan berkuda datang. Pasukan itu tak banyak, mungkin hanya selusin. Semua yang ada di sana berhenti menyerang. Mereka mengamati pasukan yang mendekat itu dan mengira-ngira siapa yang datang.

Sofia yang sudah tak kuat menahan berat tubuh pun berharap bahwa yang datang itu adalah bala bantuan untuk mereka. Alih-alih, setelah sampai ke medan perang, seorang peri cantik turun dari kudanya.

“Lepaskan dia. Dia adalah milikku,” katanya kepada Malakora.

“Irina.” Fjola meludah. Ia mengusap bibirnya yang berdarah. “Sialan!”

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang