Bab 42

79 14 1
                                    

“Dari mana kau tahu rumahku?” Nada suara Fjola terdengar ketus. Ia melewati penuda yang menunggunya di depan pintu dan berhenti di ambang pintu.

Barrant, pemuda yang menunggunya itu tak menggubris pertanyaan Fjola. Ia malah meraih tangan sang gadis yang segera ditepis, lalu memohon, “Aku benar-benar menyesal telah melakukan hal yang tak pantas kepadamu. Aku minta maaf.”

“Pergilah, Pangeran. Aku ingin sendiri.” Fjola menutup pintu, menyandarkan punggungnya ke daun pintu.

“Kumohon, Fjola,” Pangeran itu merajuk. “Kembalilah ke istana bersamaku. Setelah itu, akan kubiarkan kau sendiri di kamarmu.”

Fjola tidak menjawab. Ia mendengar napasnya sendiri yang berembus kasar.

“Sofia menghawatirkanmu. Fannar juga.”

Fjola tetap bergeming.

“Aku—“ Pangeran itu tersekat. “Kau boleh marah padaku, tapi jangan pergi dariku.”

Fjola mendengar suara Barrant serak. Namun, ia tetap bungkam.

“Kau benar. Tidak seharusnya aku menyentuhmu. Ini bukan saat yang tepat. Aku bodoh sekali. Tetapi, kumohon, Fjola. Sofia membutuhkanmu, Fannar membutuhkanmu, dan Zoe juga membutuhkanmu.”

Barrant memasukkan orang lain dalam masalah yang seharusnya hanya dia yang bertanggung jawab. Hal itu membuat Fjola muak.

“Kami membutuhkanmu,” rayu Barrant lagi. Ia menempelkan keningnya ke pintu reot rumah Fjola.

“Tanpa aku pun, kalian bisa mengatasi masalah kalian sendiri.” Gadis itu akhirnya membuka mulut.

“Di saat seperti ini, kebersamaan adalah hal yang terpenting,” kilah Barrant.

Fjola mendnegkus. Namun, pemuda itu benar. Menghadapi Malakora bersama-sama merupakan cara yang terbaik ketimbang melarikan diri secara sendiri. Arnor pun berkata demikian tadi, saat menasihati lelaki yang mengajak istrinya melompat.

“Kumohon, Fjola. Kembalilah ke istana bersamaku. Sofia mengkhawatirkanmu. Fannar juga.”

Fjola menggertakkan gigi. Pemuda itu tahu betul bahwa Fjola tak akan bisa menolak demi permintaan teman dan adiknya. Padahal, beberapa menit yang lalu ia bertekad memilih untuk sendiri.

“Kau boleh menghukumku, menamparku, bahkan membunuhku. Aku pantas mendapatkan itu.” Terdengar isakan samar dari luar pintu. “Tapi, kumohon, jangan tinggalkan aku.”

Fjola menatap lantai rumahnya yang kotor.

“Aku sudah kehilangan semuanya. Sungguh, Fjola, aku tak sanggup kalau harus kehilangan dirimu juga.”

Fjola pernah merasakan kehilangan segalanya. Saat itu rasanya ia tak sanggup hidup lagi. Ia bahkan sempat menyerah pada kehidupan. Namun, ketika itu ada Arnor yang perlahan membantunya. Akibatnya, Arnor menjadi hal yang penting dalam hidupnya sekarang.

Dilihat dari segi pandang Barrant, Fjola adalah Arnor. Saat pemuda itu dalam titik terendah, Fjola-lah yang dianggap sebagai penopang hidup Barrant. Dan jika Fjola meninggalkannya, rasanya pasti sangat menyakitkan, seperti saat Arnor meninggalkannya beberapa hari yang lalu.

Fjola mengerti apa yang dirasakan pemuda itu. Hal itu membuat hatinya melunak. Perlahan, ia membuka pintu. Barrant yang melihatnya pun berniat memeluk, tetapi Fjola mencegahnya dengan berkata, “Jangan sentuh aku.”

Tubuh sang pangeran membeku. Namun, ia mengikuti permintaan Fjola. Ia menarik dirinya, mengambil jarak dari gadis itu.

Fjola mungkin tak sekejam dan setegas Arnor dalam mengungkap posisinya. Namun, ia merasa perlu menjelaskan sesuatu kepada pemuda itu agar hatinya tak sakit, tak merasa dibohongi. “Dengar, Barrant,” katanya selembut mungkin, “sebelumnya maafkan aku karena harus jujur padamu. Kau bilang kau mencitaiku dan menganggapku segalanya bagimu, tetapi—“

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang