Bab 26

95 15 4
                                    

Dengan berat hati, Arnor keluar kamar. Ia menyusuri koridor istana dan menetapkan hatinya supaya tetap teguh atas keputusannya. Matanya tertuju ke lantai. Ia fokus terhadap langkahnya. Sembari menenteng tas berisi tenda ajaib dan busur, ia menuju tangga. Namun, ketika akan mencapai anak tangga paling atas, seorang pemuda mencegatnya. Arnor memalingkan pandangan. Ia memutar bola matanya saat melihat rambut pemuda itu yang merah kecokelatan.

“Apa?” tanyanya bosan. “Kau juga ingin mencegahku pergi?”

Kening Barrant berkerut. “Aku tidak ingin mencegahmu pergi.”

“Kalau begitu, minggirlah. Aku tidak punya waktu untuk meladenimu.” Arnor mendorong tubuh pemuda itu ke samping dengan bahunya, kemudian melewatinya.

Sang pemuda tak terima diperlakukan seperti itu. Ia mencengkeram lengan Arnor kemudian mendorongnya hingga sang peri terpaksa berbalik dan menghadapinya. “Aku ingin kau menjauh dari Fjola.”

“Aku sedang mengusahakannya,” sahut peri itu memperlihatkan tas bepergiannya. “Apa kau tak lihat?”

“Apa?” Barrant bingung. Seharusnya bukan begini jawaban yang ia peroleh.

“Kau tuli atau apa, sih?” Arnor memutar bola matanya, lalu berbalik dan menuruni tangga.

Barrant yang belum ingin menyudahi percakapan pun berseru, “Dia milikku! Kami akan menikah! Aku tahu ada sesuatu di antara kalian. Jadi, kuperingatkan kau! Jangan dekati Fjola!”

Di anak tangga paling bawah, Arnor berhenti. Ia berbalik, menengadah memandang Barrant yang masih berada di lantai atas. Tangannya yang memegang busur ia sampirkan ke susuran tangga dengan malas. “Dengar, ya. Kalau kau merasa sebagai lelaki Fjola, jadilah seorang lelaki untuknya. Lindungi dia. Dewasalah dan jangan egois. Dia perlu seseorang yang mampu melindunginya. Kalau kau tak sanggup, lebih baik relakan dia bersama orang lain yang jauh lebih kompeten.”

Wajah pangeran itu memerah. “Apa maksudmu dengan mengatakan kepadaku supaya merelakan Fjola dengan yang lain? Kaupikir aku akan menyerahkan Fjola padamu begitu saja?” tanyanya bersungut-sungut. Ia meludah dengan jijik. “Aku tak akan membiarkan dia bersamamu! Aku mau bicara denganmu hanya karena Fjola pernah memintaku untuk bersikap baik kepadamu.”

Meski tahu bahwa pemuda itu secara tidak langsung adalah keponakannya, tetap saja Arnor kesal saat Barrant memperlakukannya dengan tidak sopan. Meski begitu, ia bersabar. Pesan yang dia sampaikan pun tak dimengerti oleh pemuda itu. “Kalau tidak diminta oleh Fjola untuk bersikap baik kepadaku, lantas apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Tentu saja aku akan membunuhmu,” tukas Barrant tersinggung.

Arnor menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berbalik dan berjalan pergi. “Terserahmulah!”

“Hei! Tunggu! Aku belum selesai!” Barrant berteriak untuk menghentikan Arnor.

Karena sudah tak sabar lagi, Arnor pun berbalik. Ia membentak pemuda itu, “Kalau kau memang memedulikan Fjola, seharusnya kau bertanya padaku di mana gadis itu sebelum menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengannya!”

Sang pangeran terbelalak. Tubuhnya terpaku.

“Seharusnya, Pangeran, kau bertanya kepadaku apakah dia baik-baik saja, apa yang terjadi kepadanya, bukannya menunjukkan bahwa kau memilikinya dan blablabla.” Arnor menggeleng dengan sedih. “Sekarang, aku benar-benar ragu meninggalkannya untuk bersamamu. Andai aku bisa mebawanya bersamaku, sungguh, akan kulakukan itu.”

Ia lantas pergi, meninggalkan sang pangeran yang mencelus akibat perkataan sang peri. Namun, tak lama kemudian, Barrant tersentak sadar. Dan, ketika sadar, sudah terlambat untuk membalas ucapan peri itu. Pemuda itu mendengkus. Ia yakin Arnor hanya mengatakan hal ngawur. Tentu saja ia peduli terhadap Fjola. Ia tak bertanya tentang keberadaan Fjola karena ia percaya bahwa gadis itu baik-baik saja. Nyatanya, kalau memang ada sesuatu yang gawat terhadap Fjola, Sofia pasti sudah panik. Bukankah mereka berteman?

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang