Bab 66

70 12 2
                                    

Pagi hari buta, mereka yang ada di istana mendapat kejutan. Penasihat raja, Mr. Hugo Uggi alias ayah dari Lilija Uggi datang. Kedatangannya tidak lain dan tidak bukan untuk memenuhi undangan Sofia. Ia mewakili rajanya yang sibuk.

Dilihat dari sikapnya, Fjola yakin lelaki itu lebih memiliki kuasa ketimbang raja.
Rupanya masih sama saat terakhir kali Fjola melihatnya. Ya, gadis itu pernah bertemu dengan Mr. Uggi walau hanya sebentar. Rautnya yang sombong, tubuhnya yang kaku, dan bibirnya yang melengkung membuatnya muak. Penyesalan dan kesedihan yang diperlihatkan saat anaknya meninggal karena sudah hilang. Malahan, sikapnya yang seolah menantang dunia semakin besar sekarang. Mungkin, ia masih tidak terima seseorang menaruh racun dalam minuman putrinya dan lolos begitu saja tanpa penghakiman.

Mengingat keadaan yang berubah, Fjola yakin pasti sulit sekali menemukan pembunuh Lilija. Lagi pula, dengan kehadiran Malakora di Negeri Veggur, mungkin pembunuh Lilija sudah dibunuh peri jahat itu, atau paling tidak menjadi budak. Walau Fjola menilai Lilija pantas mendapatkannya, tetap saja ada rasa tak enak ketika melihat gadis itu terkapar dan mati di depannya. Bagaimanapun, mereka sempat menjadi sahabat dekat sebelum gadis itu berkhianat dan membuang Fjola ke luar tembok supaya mati.

Karena semua raja dianggap telah hadir, pagi itu juga, setelah sarapan, rapat darurat diadakan. Mereka semua berkumpul di aula. Aula itu memiliki meja oval besar dengan para raja dan ratu serta orang-orang yang dianggap berperan aktif dalam perang nantinya duduk mengelilinginya. Ratu Sofia yang meminpin rapat kali ini duduk di ujung meja. Di samping kanannya ada Arnor, kemudian Raja Lidolf dan istrinya, lalu Raja Magmar. Di depannya ada Mr. Uggi, dan di samping kiri Sofia ada Barrant.

Setelah Sofia menjelasakan situasi negerinya yang diambang kehancuran, ia mengutarakan permintaannya. Raja Magmar segera menyetujui, namun Ratu Rose dan Raja Lidolf enggan memberi kesanggupan.

Sama seperti sebelumnya, mereka bertanya tentang keuntungan yang akan didapat.

“Kami tidak mau kejadian sepuluh tahun yang lalu terjadi. Setelah berkorban, kami harus mengirim upeti. Kami tidak sudi.” Ratu Rose menelengkungkan bibirnya. Ia melirik Barrant dengan sinis.

Pemuda yang dilirik itu pun menjadi merah padam. Ia mendengkus. “Berkorban? Kalian tidak berkorban, tapi bersembunyi. Kamilah yang harus menumpahkan darah untuk membangun tembok sampai kalian dapat hidup tenang sepuluh tahun lamanya.”

  “Cih,” Ratu Rose mendecih. “Kalian lihat, bukan? Pengorbanan kita sama sekali tidak dihargai.”

Barrant mengepalkan tangan. Napasnya memburu. “Kau berbicara tentang pengorbanan? Apakah ibu kalian ada yang terbunuh dalam serangan yang pertama itu?”

Ratu berambut pirang itu pun menggertakkan gigi. “Kami hanya butuh jaminan!”

Barrant juga menggertakkan gigi saat berkata, “Jaminannya adalah nyawa kalian. Kalian boleh pulang dan melupakan permintaan kami, tetapi kami tidak bisa jamin kalian akan menang melawan Malakora dan pasukannya. Dengan menggabungkan kekuatan, kesempatan kalian menang akan lebih besar.”

Sofia mengangguk setuju. “Benar. Kami juga meminta makhluk lain seperti raksasa dan kurcaci untuk bergabung.”

“Peri juga,” tambah Arnor.

“Ya,” Sofia hampir lupa ada bangsa lain di sana. “Dengar,” katanya sembari memajukan tubuhnya, “kita bukanlah bangsa yang lemah, yang dengan mudah menyerah untuk diperbudak. Kita tunjukkan kepada Malakora kekuatan kita. Kita akan menyerang sebelum tenggat waktu yang diberikan olehnya untuk membumihanguskan kerajaanku.”

“Apa maksudmu?” Raja Magmar yang bertanya.

“Kita tak akan menunggu dihabisi. Kita akan menyerang.”

“Apa?” Hampir semua raja yang ada di sana terkejut, begitupun dengan Barrant.

Arnor mengangguk. Tangannya yang lentik mengelus janggutnya yang licin tanpa rambut. “Itu ide yang bagus. Akan tetapi tidak kusarankan karena kita belum siap.”

“Aku yakin kita sudah siap,” sahut Sofia yakin. Matanya memandang berkeliling, mengamati reaksi para raja di depannya. “Saat mendengar Negeri Veggur jatuh, seribu persen aku yakin para raja yang terhormat ini telah menyiagakan prajuritnya untuk berjaga-jaga.”

Para raja itu menunduk, seolah-olah kaki mereka mendadak menjadi lebih menarik seratus kali lipat dari biasanya.

“Tapi, bagaimana dengan yang lain? Aku tak yakin kaumku akan ikut.” Arnor bertanya.

“Tidak apa-apa. Aku yakin para raksasa dan kurcaci sudah cukup dalam membantu kita.”

Barrant memicingkan mata. Ia melirik Sofia sejenak sebelum bertanya, “Tapi, para kurcaci itu—“

“Mereka akan datang,” potong Sofia menatap sang pangeran penuh arti. “Mereka sudah berjanji. Para raksasa juga datang. Para makhluk di luar perbatasan memiliki prinsip jika sudah berjanji maka harus ditepati. Kalau tidak, lebih baik mereka mati. Bukankah begitu, Arnor?” tanya Sofia menoleh ke arah sang peri.

“Tentu saja,” jawab peri itu yakin. “Mereka pasti membantu kita.”

Barrant pun mengangguk. Ia paham maksud Sofia. Para raja itu tak perlu tahu bahwa dirinya gagal membujuk para kurcaci untuk ikut gabung dalam perang. Sebab, kalau mereka tahu yang sebenarnya pasti mereka tak akan mau menggabungkan kekuatan.

“Well ...,” kata Ratu Rose akhirnya. “Kami akan ikut kalau yang lain juga ikut.”

“Aku ikut,” sahut Raja Magmar segera.

Sofia mengangguk dengan tersenyum, pertanda hormat kepadanya. Ia melirik Mr. Uggi yang masih menyimak. Raut wajahnya tak bisa ditebak. “Bagaimana dengan Anda?”

Lelaki itu memandang Barrant dengan tajam. Ia mengelus jakunnya. “Baiklah,” katanya pada akhirnya. Namun, ia belum selesai. “Aku akan berbicara dengan raja negeriku.”

“Tapi, sudah tidak ada waktu lagi.” Sofia mengembuskan napas dengan kasar.

Dengan santai, lelaki itu mengangkat bahunya. “Aku hanya utusan. Semua keputusan ada di tangan raja.”

“Oh, ayolah!” Raja Magmar menimpali. “Semua orang juga tahu siapa penguasa Kerajaan Vetur.”

“Aku menganggap omonganmu yang barusan tak pernah kudengar,” komentar Mr. Uggi sinis.

Raja Lidolf tertawa. Semua orang memandanginya. “Sudah menjadi rahasia umum bahwa adikmu akan menuruti semua perintahmu.”

Mr. Uggi pun mendecakkan lidah. “Oke. Kalau kalian mendesak, inilah keputusanku.” Matanya kembali menatap sang pangeran. “Negeriku tidak akan bergabung kalau pembunuh putriku belum ditemukan. Titik!”

“Itu tidak adil!” Barrant memprotes. “Bagaimana aku bisa menemukan pembunuh putrimu dalam kondisi seperti ini?”

“Kau tidak perlu membawa pembunuh itu ke hadapanku. Kau hanya perlu menyebutkan namanya saja.”

Barrant mendesah pasrah. Ia menatap Sofia dengan pandangan minta tolong. Namun, sang ratu tak dapat memberikan apa-apa kepadanya.

“Bagaimana aku bisa tahu?” gumam pangeran itu akhirnya. Bahunya melorot lesu. Meski waktu itu ia berada di depan Lilija, tetap saja ia tak tahu bagaimana dan siapa yang mencampur minuman itu dengan racun. Kemudian, ingatannya melayang kepada—entah gadis atau pemuda, ia tak yakin—yang memakai jubah berdiri di balik altar perhikahan. Samar-samar, ia merasa pernah melihatnya, tetapi di mana dan kapan, ia lupa.

Sementara itu, Fannar dan Zoe yang mencoba mencuri dengar pertemuan itu pun membeku. Mereka saling pandang dengan terkejut sampai seorang prajurit yang berjaga memergoki mereka dan memerintahkan mereka untuk pergi.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe kepada Fannar ketika jauh dari aula.

Pemuda itu hanya bisa menggeleng.

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang