Bab 33

81 17 2
                                    

Sebelum ratusan anak panah melesat, Sofia mengangkat satu tangannya, mencegah para prajuritnya menyerang. Air mata mengalir dari sudut matanya. Pandangannya berkunang-kunang. Akan tetapi, ia mempertahankan tangannya. Para prajurit itu bukan tandingan pasukan Malakora. Mereka akan mati sia-sia kalau menyerang. Dan akhirnya, apa yang coba dilindunginya akan musnah. Ia tak mau hal itu terjadi.

Malakora tertawa dan tawanya tidak manusiawi. Ia lantas melepas cekikannya, membuat tubuh Sofia tersentak mundur. Wanita itu menarik napas banyak-banyak. Ia terbatuk. Saat kembali mendongak, tenggorokannya terasa terbakar. Suaranya menjadi serak.

“Kasihanilah kami,” pinta Sofia. Ia rela mengemis demi kehidupan beberapa hari bagi rakyatnya. Ia membayangkan orang-orang di dalam gerbang, sedang meringkuk ketakutan di rumahnya masing-masing, mencari perlindungan yang mustahil mereka dapatkan seandainya Malakora memutuskan untuk menyerang.

“Kasihan?” Malakora berbalik, meminta dukungan dari pasukannya. Para makhluk itu tertawa, mencemooh, bahkan ada yang meludah, seolah-olah menyebut kata kasihan merupakan hal yang menjijikkan.

Sofia mengabaikan itu semua. Ia harus melakukan hal itu.

Zoe yang melihat dari atas menjadi naik darah. Ia begitu mengidolakan Sofia. Ratu itu begitu keras, tegas, dan tegar. Namun kini, ia tak mengerti. Mengapa sang ratu mau menunduk di hadapan makhluk keji itu?

Tangan gadis itu mencengkeram erat sisi pagar. Ia meraih busur salah satu prajurit di dekatnya. Namun, belum sempat menarik anak panah, komandan tadi mencekal lengannya.

“Dia memperlakukan ratumu seenaknya,” protes Zoe kepada sang komandan.

“Apa kau tak tahu? Ratu Sofia baru saja kembali dari luar tembok. Ia pasti pernah menghadapi makhluk itu. Dan kurasa, ia mengalah karena suatu hal. Kita harus percaya padanya,” jelas komandan itu.

“Ugh!” Zoe terpaksa bersabar. Ia mengembalikan busur itu kepada prajurit tadi.

Sementara itu di istana, Ishak yang kekenyangan tertidur di kamarnya di istana. Kamar itu terletak di bagian belakang. Briet yang ditugaskan oleh Sofia untuk memastikan Pangeran Barrant ada di tempat seharusnya berada pun mampir dahulu ke kamar Ishak. Ia melihat lelaki kemayu itu kelelahan sampai-sampai tak melepas bajunya yang compang-camping. Ia lantas mengambil beberapa makanan dari dapur, lalu menuju penjara. Para tawanan meringkuk di dalam sel.

Entah mereka dapat merasakan kejahatan yang datang di luar gerbang sekarang atau penjaga yang memberitahu mereka, Briet tak dapat menebak. Yang jelas, mereka tampak tak seperti biasanya. Mata mereka penuh pancar ketakutan. Sejenak, Briet merasa iba. Ada keinginan untuk memerintahkan kepada penjaga supaya melepaskan mereka saja. Namun, ia ingat bahwa ia bukanlah pemimpin. Sofialah pemimpin negeri ini.

Briet lantas menuju ke belakang sel-sel itu, meraba dinding dan menemukan ceruk. Ia mendorong ceruk itu hingga terbuka. Kegelapan dan hawa dingin segera mengusik gadis itu. Briet menghela napas panjang. Ia melangkahkan kakinya memasuki ceruk.

“Pangeran,” panggilnya. Namun, sang pangeran tak menjawab. Briet menuruni tangga dengan hati-hati. Ia lega ketika melihat cahaya obor menyala di ruangan ujung lorong. Karena licin, kakinya yang menginjak anak tangga paling bawah terpeleset. Sejenak, keseimbangannya goyah. Ia menumpahkan sekotak roti dari baki yang ia bawa.

Setelah berhasil menegakkan badan, ia kembali mendesah lega. Ia melangkah menuju ruang makam dan berkata, “Saya membawa sedikit kudapan untuk Anda, Pangeran Barrant.” Ia meletakkan baki itu di meja di pojok ruangan. Di sampingnya ada ranjang. Dari cahaya yang samar, Briet menangkap punggung Barrant yang berselimut di ranjang. Di sini memang dingin. Pengap pula. Jika harus tidur di sini, walau menggunakan ranjang dan selimut, tetap saja Briet tak mungkin dapat terlelap.

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang