Bab 83

67 14 3
                                    

Fjola menggeleng. “Jangan,” katanya lirih. Ia begitu putus asa. Ia berusaha memberontak dengan sekuat tenaga, tetapi sia-sia.

Arnor melanjutkan, “Tapi sebelum itu, berjanjilah kau akan melepaskannya.”

Malakora berbinar-binar. Ia sempat khawatir akan kalah tadi. “Tentu,” sahutnya berdusta.

“Aku tidak mau!” Irina memberontak.

“Diam!” Malakora lantas memukul adiknya. “Lakukan, Arnor, tunjukkan simbol itu padaku!”

Arnor bangkit. Ia melepas Irina dari jeratannya, hingga membuat gadis itu bergerak menjauh, lalu lari. Dengan cepat, Malakora mengejarnya, lalu menyeretnya kembali ke hadapan Arnor. Ia bahkan menghajar adiknya hingga tak berdaya. “Harusnya, kau bersyukur dapat berkorban demi kakakmu ini.”

Irina meludahi sang kakak.
Diam-diam, Sofia meraih belati. Ia menyeret tubuhnya mendekati Malakora yang lengah. Lalu dengan cepat, ia menusuk kaki Malakora.
Peri jahat itu menjerit. Ia berbalik dan menusuk dada Sofia dengan cakarnya hingga tembus menancap ka tanah. Darah menyembur. Mata gadis itu melebar. Tubuhnya terentak sekejap, lalu tak bergerak lagi. Sofia tewas.

Fjola begitu terkejut melihat Sofia dibunuh sampai-sampai tak sadar bahwa tangan yang mencengkeramnya tak lagi ada. Arnor membunuh prajurit yang mencekalnya.

Setelahnya terjadi kekacauan yang membingungkan.

Tanah berguncang, ribuan anak melesat, terompet terdengar nyaring. Fjola yang masih tak tahu harus berbuat apa hanya merunduk. Arnor melindunginya dengan meraih tameng prajurit yang tewas, melindungi punggungnya serta Fjola dari hujan anak panah.

Pasukan Malakora banyak yang terkena anak panah hingga membuat mereka mati di tempat. Sebagian yang lain berlindung dengan menggunakan mayat teman-teman mereka.

Beberapa bola api kembali ditembakkan, merusak benteng pertahanan pasukan peri jahat itu.
Bumi seolah bergetar.

Saat Fjola mengintip, ia melihat Ronda berderap menyerang troll-troll bersama pasukannya. Tak hanya itu, di atas bukit yang mengarah ke tenda mereka, ribuan prajurit kembali.

Tidak, batinnya, mereka tidak kembali. Prajurit-prajurit itu membawa panji-panji berupa lambang dari Negeri Vor dan Vetur. Dan, ribuan prajurit itu kini bertambah menjadi puluhan ribu, kemudian ratusan ribu.

Fjola meneteskan air mata dengan haru. “Mereka datang,” ujarnya senang kepada sang peri yang berlutut melindunginya. Namun rasa senangnya hanya bertahan sebentar karena ia melihat kesedihan dari sorot mata Arnor.

Mata peri itu tertuju ke pundak Fjola yang terbakar.

“Aku tidak apa-apa. Sungguh,” kata sang gadis menenangkan. Ia menarik pedang milik prajurit yang tewas, lalu membawanya untuk berjaga-jaga.

Arnor beralih menatap mata Fjola. “Pasti sakit sekali.”

“Kau yang lebih sakit,” kata Fjola menelusurkan tangannya yang tidak memegang pedang ke bahu Arnor yang terkoyak.

“Aku bisa menyembuhkanmu.”

“Tidak!” Fjola segera membantah. “Kau tidak boleh menggunakan kekuatan itu lagi.” Mata Arnor sudah menjadi hitam. “Sudah cukup untuk hari ini. Ayo kita kembali.”

Peri itu menggeleng. Dari ekor mata tampak Malakora tengah mengirim apinya, membakar prajurit manusia. “Aku harus membunuh Malakora sekarang. Kalau tidak, kita tidak punya kesempatan menang.”

“Tapi—“

Belum menyelesaikan kalimat, Fjola ditarik oleh Arnor. Merunduk, mereka menorobos peperangan menuju benteng. Sang peri mendorong Fjola ke pintu gorong-gorong. “Bantuan mereka akan sia-sia seandainya tidak diselesaikan sekarang. Hanya menunggu waktu sampai pasukan kita kembali dihabisi oleh para pemburu dan orc.”

“Tapi, Arnor—“

Seolah tahu apa yang akan dikatakan gadis itu, sang peri memotong, “Percayalah padaku, Fjola.”

Gadis itu menghela napas panjang. Ia lantas mengangguk.

Setelah memastikan Fjola bersembunyi dengan aman, Arnor berbalik. Ia melihat Malakora mundur, masuk ke dalam bentengnya. Ia mengejarnya. Akan tetapi, selusin orc menghadangnya. Mereka mengeroyok Arnor. Salah satu komandan Malakora bakal berhasil menusukan pedang ke jantungnya kalau tidak ditusuk oleh orc lain yang merupakan anak buah komandan itu sendiri lebih dulu.

Komandan itu pun terbelalak kaget sebelum ambruk dan mati. Si penusuk melepas tangannya dengan bingung. Ia menoleh ke sekeliling.

Rupanya, lima meter dari sana berdiri Eleanor yang mengenakan baju zirah perak dengan lambang peri di dadanya. Ia menciptakan ilusi pada otak orc yang mengepung Arnor hingga saling serang. Di belakangnya ada Agis yang memperbanyak diri dan mulai menyerang para pemburu dengan brutal.

“Kejarlah dan bunuhlah dia,” kata Eleanor di kepala Arnor.

Sekilas, peri tampan itu mengangguk. Ia segera mengejar Malakora ke benteng. Jalannya tak mudah. Ia mesti mengayunkan pedang, menebas serigala, memotong kepala pemburu, hingga menusuk jantung orc sebelum mencapai pintu benteng yang terkunci. Anak panah mengarah kepadanya dari atas benteng yang dijaga ketat hingga setubuh troll jatuh meruntuhkan sebagian benteng.
Arnor menengadah dan melihat Ronda tersenyum puas.

“Sudah kukira mereka bodoh,” kata raksasa itu melayangkan tinju kepada troll lain.

Bukan hanya Arnor yang berambisi menghabisi seseorang, Barrant pun. Mendapat kesempatan, dengan tubuh penuh luka dan lebam, ia mendaki kaki troll yang tumbang itu supaya dapat memasuki benteng pertahanan istana. Ia mengincar kepala Margaret. Aguste dengan setia menjaganya dari musuh yang menyasar.

Irina yang babak belur dihajar kakaknya sendiri karena menolak diklaim meludahkan darah. Ia masih bertahan di tengah medan tempur. Tak ada yang memerhatikannya karena mengira ia sudah mati. Itu suatu keuntungan baginya. Dari tempatnya terbaring, ia melihat Fjola mengintip dari pintu gorong-gorong sebelum masuk. Ia juga melihat Arnor merangsek ke benteng istana kakaknya. Ia lantas bangkit dan tanpa menarik perhatian ia menyusul Fjola.
Ia membenci kakaknya sekarang, karena dengan tega mengorbankannya demi keserakahan. Ia ingin membunuh kakaknya. Akan tetapi, ia tak dapat membunuh kakaknya sendiri. Ia membutuhkan bantuan Arnor, atau ... sekilas, ia melihat Eleanor tadi. Tetapi, hanya menggunakan kekuatan Eleanor, Irina bakal kalah. Ia mesti memanfaatkan Arnor. Di dunia ini, mungkin hanya Arnor yang dapat membunuh kakaknya.

Meski sekarang Irina berbalik ingin membunuh sang kakak, tetap saja ia tak mau berada di pihak para manusia. Niatnya membunuh Malakora hanyalah untuk membalas perbuatan buruknya tadi. Pendapatnya tentang manusia tetap sama seperti semula. Ia jijik dan ingin mereka berlutut di hadapannya. Namun, ia menyadari kekuatannya tak sehebat dibanding peri mana pun yang ada di sana.

Ia memang memiliki anugerah untuk memikat siapa pun, kecuali Arnor tentu saja. Dan itu membuatnya frustrasi. Mungkin karena Arnor memiliki kekuatan alam. Jadi, ia tak bisa diikat oleh siapa pun kecuali alam itu sendiri.

Meski begitu, Irina memiliki rencana. Ia akan membuat Arnor berada di pihaknya. Jika Irina ratunya, maka Arnorlah rajanya. Raja yang menuruti kehendak sang ratu.

Irina sudah mencapai pintu gorong-gorong. Tanpa pikir panjang ia masuk ke sana, mengejar Fjola.

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang