Bab 19

123 18 2
                                    


Barrant kesulitan mempertahankan kesadarannya. Luka yang di deritanya kembali mengeluarkan darah. Rasanya nyut-nyutan. Apalagi sejak pagi ia duduk di pelana kuda. Meskipun kuda itu berderap cepat sekali, tetap saja ia tak kuat kalau terus-terusan duduk di sana. Ia butuh istirahat.

Zoe yang berada di belakangnya dengan sigap mengambil alih kemudi ketika pangeran itu ambruk.

“Sial!” Gadis itu kesulitan menjaga Barrant tetap di tempatnya sementara gerakan sang kuda mengentak dengan keras. Ia menoleh ke belakang, sekadar ingin melihat seberapa jauh jarak mereka dari para pemburu yang mengejar.

Sang kuda membawa mereka dengan langkah panjang dan cepat. Meskipun demikian, ia takut kalau-kalau para pengejar itu juga bergerak dengan sama cepatnya. Zoe memperkirakan berapa lama lagi mereka sampai ke negeri tujuan. Mereka sudah berkendara selama setengah hari lebih. Seharusnya tidak jauh lagi mereka sampai.

Gadis itu belum pernah ke Negeri Haust. Meski menjadi anggota Garda, ia tak pernah beroperasi ke negeri lain. Jadi, ia tak tahu arah mana yang semestinya ia ambil. Ia hanya mengikuti ke mana kuda itu membawanya dan berharap sang kuda tahu betul tujuan mereka.

Matahari sudah tergelincir dari singgasananya. Awan mendung menggantung di langit. Paha Zoe sakit dipaksa duduk di pelana selama itu. Namun, ia sedikit lega ketika melihat tugu yang membatasi negeri tujuannya tampak di pinggir jalan.

“Hei,” panggilnya kepada yang kuda yang ditumpanginya. “Kau hebat sekali, seperti tuanmu.”

Sang kuda meringkik. Ia juga medengus, dan berharap gadis itu tahu bahwa bahaya belum juga lepas dari mereka. Ia dapat merasaknnya.

“Bisakah kita istirahat dulu?”

Alih-alih, kuda itu menambah kecepatan.

“Tidak, ya? Oke.” Zoe kecewa. Namun, ia tak memiliki pilihan.

Benteng Negeri Haust terlihat tak lama kemudian. Zoe menatapnya dengan cerah. Ia juga takjub karena tinggi benteng itu hampir sama dengan Kerajaan Veggur. Ia bahkan sempat mengira ada perisai gaib yang bakal mencegahnya masuk. Akan tetapi, tidak mungkin, kan?

Kelegaan Zoe tak berlangsung lama karena ketika melewati persimpangan, lima pemburu yang menunggang kuda mereka mengepung. Gadis itu mencondongkan badan ke depan. Ia berusaha membangunkan sang pangeran.

Perlahan, mata Barrant terbuka. Entakkan dari punggung kuda yang dikendarainya membuat dadanya yang terluka nyaris meledak. Ia lantas mengumpulkan kesadarannya dan duduk dengan tegak. Matanya yang kembali jernih memandang pada para pemburu yang telah mengepungnya di sisi kanan, kiri, dan belakang. Ia sadar tak memiliki waktu untuk pingsan lagi. Ia mesti memacu kudanya berlari terus ke depan.

Anak panah melesat, nyaris mengenai punggung Zoe. Untungnya, sang kuda sedikit berbelok hingga ia dapat menghindar tepat waktu.

“Sial! Apa kita tak memiliki senjata apa pun?” tanyanya kepada sang pangeran.

Seorang pemburu berhasil menjajarinya. Ia menarik pedang pada sabuk bajunya lalu menghunuskannya ke leher sang pangeran. Untungnya, pemuda itu berhasil menghindar dengan menduduk.

Zoe meraih ranting patah dari sebuah pohon yang mereka lewati. Saat pemburu itu menebaskan pedangnya lagi, Zoe menangkisnya dengan ranting itu. Ia juga mencolokkan ranting itu ke kepala si pemburu hingga mengenai dahinya. Alhasil, tubuh pemburu itu oleng di atas kuda. Ia lantas terjatuh. Kuda dari pemburu yang berada di belakangnya tak sengaja tersandung tubuh pemburu yang jatuh itu. Kaki depannya tertekuk secara mendadak, mengirim si penunggang ke tanah.
Gadis itu tersenyum saat melihat hasil serangannya. Senyumnya tak bertahan lama karena sedetik kemudian, ranting yang menjadi kebanggannya terbelah menjadi dua. Seorang pemburu lagi berhasil menyerangnya.

Zoe terpaksa melupakan rantingnya. Ia mengganti mencengkeram pinggang sang pangeran yang sedang fokus ke depan. “Bisakah lebih cepat?” tanyanya khawatir.

Barrant menghela Sifthy lagi. Kuda itu sudah berada di ambang batas kecepatannya. Ia mampu menciptakan jarak dengan para pemburu itu, tetapi tetap saja ia kelelahan dipaksa terus berlari.

Kuda itu melewati sungai kecil. Tapalnya membuat air menciprat. Meski begitu, ia tak mengurangi kecepatannya. Ia dapat melihat gerbang Negeri Haust semakin dekat. Ia pun meringkik.

Melihat buruannya sedikit lagi sampai ke tempat tujuan, para pemburu itu melancarkan serangan. Mereka mulai melesatkan panah ke arah mereka.

Sementara itu, Sofia, sebagai ratu baru Negeri Haust menggelontorkan uang negara untuk mempersiapkan negerinya supaya siap berperang. Ia merekrut para pemuda untuk menjadi prajurit, membangun benteng dua kali lebih tinggi, membeli senjata dan perlengkapan peperangan lain. Ia tahu bahwa hari ini akan datang, bahwa ancaman tak lagi berada di luar tembok perbatasan. Ia sudah memperkirakan Malakora berhasil menjebol tembok. Namun, yang tidak ia ketahui adalah waktunya telah tiba. Ia belum selesai melatih prajurit itu, belum selesai menyusun tempat perlindungan, dan belum selesai menempa besi menjadi senjata. Ia masih mengerjakannya.

Seorang prajurit penjaga gerbang tergopoh-gopoh menghampirinya di ruang kerja. Ia melaporkan, “Ada sesuatu di luar gerbang masuk negeri, Yang Mulia.”

Ratu baru itu memandang sang prajurit dengan mengernyit. Ia sedang menyiapkan surat pemesanan besi ke Negeri Vettur. “Lalu?” tanyanya.

“Sepertinya ada yang aneh dengan mereka.”

“Aneh bagaimana?”

“Mereka seolah terburu-buru, atau dikejar sesuatu. Saya tak tahu mana yang benar.”

Sofia berhenti menulis. Ia melipat perkamen dan menyingkirkan alat tulisnya ke dalam laci meja. Ia lantas berdiri dan berkata, “Akan kulihat.”

Wanita itu membuka jendela yang ada di balkon, tempat biasanya sang ayah meminum teh pada sore hari. Kali ini ayahnya tak ada di sana. Dia sekarat di kamarnya, akibat racun yang diberikan oleh Fjola. Walau anaknya, Sofia ikut andil dalam meracuni sang ayah.

Sejak sang ayah membunuh kekasihnya, Sofia mendedam kepada raja tiran itu.

Sofia menarik teropong yang baru saja dibelinya dari pedagang di pasar gelap. Katanya, teropong itu milik bajak laut. Ia harus mengeluarkan uang tiga kali lebih banyak saat membelinya. Namun, ia tak keberatan karena teropong itu memiliki fungsi yang penting.

Ia mengintip teropong itu, mengarakhannya jauh ke luar gerbang negerinya. Matanya memicing ketika melihat wajah Barrant yang menahan sakit tengah menunggang Sifthy. Meski penasaran bagaimana kuda itu dapat membawa sang pangeran Negeri Veggur, ia memerintahkan, “Buka gerbang.”

Prajurit itu pun mengangguk. Ia berbalik dan akan pergi sebelum Sofia menghentikannya.

"Tunggu dulu!" Wanita itu mengarahkan teropongnya kepada tiga penunggang lain yang mengikuti sang pangeran. Ia memutar batang teropong itu supaya dapat melihat lebih jelas wajah-wajah mereka, kemudian menegang.

"Bagaimana mereka bisa berkeliaran kemari?" gumamnya mengenali para pemburu itu.

Prajurit tadi bingung. "Ya, Yang Mulia?"

Sofia mengibaskan tangan. Ia lantas memerintahkan, "Bunuh semua penunggang kuda yang menuju kemari, kecuali penunggang kuda berwarna putih itu. Kau mengerti?"

Prajurit tadi menunduh sekilas, "Baik, Yang Mulia." Ia lantas berlari kembali ke gerbang dan menyiagakan pasukannya untuk membidik. Dengan satu aba-aba, mereka melesatkan panah, membunuh para pemburu yang mengejar Barrant dan Zoe.

Saat Sifthy berlari melewati gerbang Negeri Haust, Sofia memanggil salah seorang komandan dan memerintah, “Siapkan para prajurit. Sepertinya kita sudah kehabisan waktu. Badai akan datang.”

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang