Aku Pamit, Sayang

13.5K 550 1
                                    

Hai! Saya kembali dengan novel terbaru! Semoga kalian suka, ya :)

Jangan lupa follow dulu dan tinggalkan voment kalian

xoxo

_______________________________________________________________________________

Estu menatap gundukan tanah yang masih basah di depannya. Taburan bunga mawar berwarna merah dan putih nampak menutupi permukaannya. Batu nisan sudah terpasang dengan nama yang selalu membuat dadanya bergetar hebat setiap kali mengejanya. Alya Wijaya. Nama sang istri tertulis jelas di batu nisan itu. Rasanya Estu masih belum bisa merelakan istrinya pergi begitu saja.

Tanpa adanya firasat sebelumnya, Alya pergi meninggalkan dirinya berdua bersama sang buah hati yang masih terlalu kecil untuk memahami situasi yang sedang terjadi. Estu menghela napas dalam. Air mata sudah tak membasahi kedua pipinya lagi. Dia sadar jika tangisan tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula. Sang istri tetap pergi meninggalkannya.

Semua pelayat sudah pergi meninggalkan makam yang letaknya tak jauh dari rumah Estu di Yogyakarta. Seperti tradisi keluarga besarnya yang berasal dari Yogyakarta, setiap ada anggota keluarga yang meninggal dunia, maka jenazah mereka akan dimakamkan di kampung halaman. Sebenarnya Estu tidak setuju dengan keputusan dari keluarga besarnya dan juga keluarga besar Alya, dia ingin tetap berada dekat dengan makam sang istri. Supaya ketika sewaktu-waktu dia merindukan istrinya, Estu bisa datang ke makam Alya tanpa harus jauh-jauh sampai ke Yogyakarta.

"Ayo pulang, Nak! Mendung sudah semakin gelap, sebentar lagi akan turun hujan," ajak Dyah, ibu kandung Estu.

Dia merasakan remasan tangan yang sudah mulai keriput di pundaknya. Estu menoleh menatap tangan renta itu dan menghela napas panjang. Di sana memang hanya tersisa dirinya dan juga ibunya yang setia mendampingi. Dyah tidak ingin meninggalkan putranya yang sedang hancur sendirian. Estu butuh dirinya untuk bersandar meski usia putranya itu sudah menginjak tiga puluh tahun.

Keluarga Alya sudah tidak nampak lagi di sana karena sebentar lagi hari akan hujan dan memang acara pemakaman sudah berakhir sekitar setengah jam yang lalu. Estu kemudian berdiri dengan mata yang masih setia memandangi batu nisan di depannya. Rasanya dia tidak ingin pergi dari sana. Rasanya dia tidak tega meninggalkan istrinya yang terbujur kaku di bawah tanah yang dingin sendirian.

"Aku harus pulang. Tapi aku janji, aku akan selalu mendoakanmu dan kalau aku punya waktu, aku pasti akan berkunjung ke sini," batin Estu. "Aku pamit, Sayang. Tidurlah yang tenang, aku mencintaimu," lanjutnya dengan dada yang rasanya seperti dihantam batu besar.

"Ayo, Bu!" Dia kemudian menuntun Dyah berjalan pergi meninggalkan makam Alya.

Hari itu seperti menjadi saksi bagaimana seorang Estu Dewandaru, pria yang biasanya terlihat kuat telah berubah menjadi rapuh setelah kepergian belahan jiwanya. Benar apa yang dikatakan oleh Dyah, hujan tiba-tiba datang dengan derasnya. Estu yang sudah berada di dalam mobil bersama sang ibu hanya mampu terdiam dan menikmati sore hari dengan kesedihan yang mendalam.

"Kamu harus tetap tabah. Ingatlah! Masih ada putramu yang harus kamu jaga dan kamu rawat," ucap Dyah yang sedang mencoba mengingatkan Estu.

Estu yang sedang fokus di balik kemudinya kemudian menoleh sejenak dan mengangguk tanpa menunjukkan ekspresi apapun kepada sang ibu. Rasanya hatinya mati rasa setelah Alya pergi. Dan dia tidak tahu, apakah setelah hari yang sangat menyedihkan dan menguras emosinya itu, dia masih bisa merasakan yang namanya jatuh cinta. Rasanya, Estu tidak yakin dia bisa kembali jatuh cinta.

Tidak ada wanita yang cocok untuknya selain Alya, tidak ada wanita sempurna seperti Alya di matanya, dan tidak ada wanita tangguh yang bisa menghadapi semua sikapnya kecuali Alya. Semuanya tentang Alya, bahkan dia yakin jika dia bisa bertahan dalam segala kondisi karena Alya. Dan sekarang, bagaimana ia akan bertahan setelah Alya pergi?

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang