Malam Tanpa Alya

6K 379 7
                                    

Jangan lupa follow dulu ya :)

Enjoy!

____________________________________________________________________________

Estu harus menerima bahwa ibunya menolak ide yang ia berikan. Entah apa yang membuat sang ibu tidak setuju dengan sarannya. Dia belum bertanya lebih lanjut. Estu mendesah sambil memandang langit di atasnya. Setelah kepergian Alya, dia menjadi kecanduan rokok. Tidak ada hari yang ia lewatkan tanpa benda itu.

Malam sudah semakin larut. Dia belum juga ingin masuk ke dalam kamarnya. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas menit. Angin malam juga semakin berhembus dengan cukup kencang. Kepulan asap rokok sudah menjadi temannya yang paling setia saat dia melewati malam-malannya tanpa Alya.

Hatinya masih tetap terasa hampa seperti sebelumnya. Dia sudah seperti seorang manusia yang hanya melewati hari-harinya tanpa memiliki tujuan tertentu. Semuanya terasa hambar dan Estu merasa kesulitan untuk kembali menjadi Estu yang penuh semangat dan juga memiliki pandangan jauh ke depan untuk hidupnya. Sekarang, dia hanya ingin melewati hari-harinya dengan baik-baik saja.

"Sudah larut malam, kamu bisa sakit kalau terus berada di sini," suara Dyah membuat pria itu menoleh ke belakang dan tersenyum.

"Ibu, kenapa belum tidur?" tanya Estu mengalihkan pembicaraan.

Dyah menghela napas dalam. Dia berjalan dengan tertatih menuju ke kursi yang ada di teras rumah itu. Putranya berada di depan kursi kosong, sedang duduk di undakan dengan jari mengapit sebatang rokok yang masih tersisa setengah. Dyah menggelengkan kepalanya pelan.

"Ibu nggak bisa tidur," jawabnya. "Berhentilah merokok dan mulai hidup yang baru!" ucap Dyah yang mulai merasa terganggu dengan kebiasaan Estu merokok.

Bukan karena takut boros, tapi Estu sudah semakin sering merokok. Bahkan pria itu pernah menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari. Rasanya Dyah tidak bisa hidup tenang jika Estu masih seperti ini. Dia melirik kotak rokok berwarna merah dan hitam yang ada di sebelah Estu. Ratih pernah mengatakan bahwa rokok yang Estu konsumsi adalah jenis rokok dengan kadar nikotin dan tar yang bisa dikatakan tinggi. Hal itu jelas semakin membuat Dyah merasa harus mengingatkan Estu setiap hari supaya segera berhenti merokok.

"Ya, Bu!"

Selalu kata-kata itu yang Dyah dengar dari sang putra. Estu nampaknya belum ingin berhenti merokok. Dyah hanya bisa mendesah pasrah saat Estu mulai keras kepala. Wanita yang sudah semakin tua itu tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi Estu yang sekarang. Semenjak Alya meninggal, Estu menjadi kerap menyendiri di teras rumahnya seperti sekarang.

Dia tidak melakukan apa pun selain merokok dan meminum secangkir kopi hitam tanpa gula sambil memandang langit di atasnya yang terkadang bertaburan bintang dan bulan yang juga terang benderang. Tapi juga terkadang langit di atasnya nampak mendung sampai turun gerimis. Estu duduk di depan kursi yang biasanya dipakai oleh Alya untuk duduk saat sore hari.

"Ibu ingin mengatakan sesuatu yang sangat serius dan penting padamu," kata Dyah setelah menghela napas cukup panjang.

Rasanya dia tidak bisa lagi menyimpan semua pemikirannya itu sendirian. Tidak ada cara lain jika Estu memang teguh belum ingin memiliki istri baru. Dia mencari waktu yang tepat dan dia pikir sekarang adalah saat yang paling cocok untuk mengatakan kepada Estu tentang keinginannya itu.

Estu, pria itu nampak memutar tubuhnya sehingga bisa menghadap pada sang ibu secara penuh. Dia sedikit mendongak karena posisi duduknya yang memang berada di atas lantai. Dan dengan cepat, dia mematikan rokoknya dan membuangnya ke dalam asbak berwarna hitam.

"Ada apa, Bu?" tanya Estu dengan wajah yang mulai nampak penasaran.

Dyah memandang putranya yang sekarang nampak lebih kurus. "Carilah seorang pengasuh untuk Tala," ucap Dyah dengan nada suara yang terdengar pelan.

Estu menaikkan alisnya tinggi. "Bukankah Ratih bisa menggantikan Ibu untuk menjaga Tala saat pagi hari? Aku juga bisa memasukkan Tala ke daycare kalau memang perlu. Ibu bahkan udah mendengar ideku tadi, kan?" Estu menatap ibunya yang nampak tidak puas dengan jawaban darinya.

"Ibu berharap Tala tetap berada di rumah. Ada Ibu yang bisa mengawasi pengasuh yang menjaganya untuk beberapa minggu pertama. Tala masih terlalu kecil untuk masuk ke daycare. Mungkin memang Ibu memiliki pemikiran yang jauh lebih terbelakang dari kamu tapi Ibu hanya ingin Tala diasuh dengan benar. Ibu hanya merasa nggak tenang kalau Tala harus masuk ke daycare," katanya.

Estu menatap wajah ibunya yang nampak serius dengan ucapannya. Dia menghela napas dalam. Dia bisa mengerti apa yang sedang dirasakan oleh ibunya. Sejujurnya dia juga merasa sedikit cemas jika Tala berada di luar rumah. Dia juga ingin agar Tala tetap diasuh di dalam rumah mereka, hanya saja, dia tidak memiliki pengalaman dalam merekrut seorang pengasuh bayi.

Ratih sebenarnya bisa menjaga Tala, hanya saja wanita itu sedang melanjutkan kuliahnya. Jadi, Ratih akan datang saat pagi dan pulang ketika hari sudah menjelang siang. Setelahnya, Dyah benar-benar sendirian dalam menjaga Tala.

"Baiklah! Estu akan mencoba mencari pengasuh," ucapnya.

Dyah mengangguk. "Ibu..." Dyah menghela napas dalam. "Ibu ingin kembali ke Jogja. Ibu ingin menghabiskan sisa usia Ibu di tanah kelahiran Ibu. Mungkin usia Ibu nggak akan panjang lagi. Selain diabetes, Ibu juga punya penyakit lain. Tumor ini semakin ganas saja, Nak," kata Dyah.

Ya, Tumor yang menyerang bagian payudaranya membuat Dyah semakin menderita. Penyakit itu baru terdeteksi beberapa minggu yang lalu. Setelah diabetes yang dideritanya, mulai muncul penyakit yang lain, yang sayangnya juga membuat Dyah merasa pesimis pada hidupnya.

"Ibu! Jangan bicara ngelantur! Ini udah malam, sebaiknya Ibu segera tidur. Aku juga akan masuk ke kamarku," ucap Estu seraya beranjak berdiri dan berjalan melewati sang ibu.

Dyah hanya bisa membuang napas pelan. Setidaknya dia sudah mengatakan apa yang ia rasa dan ia pikirkan kepada sang putra. Semoga saja, Estu memang mau memahaminya. Tidak mudah menjadi seorang Dyah yang hidup menjanda bertahun-tahun dan sekarang harus melihat sang putra yang hidup menjadi duda saat cucunya baru saja lahir ke dunia. Dyah ingin hidup Estu mulai tertata kembali dan dia berharap Estu kembali memiliki semangat untuk merencanakan masa depannya setelah Dyah tiada.

Estu berjalan memasuki kamarnya. Kamar yang menjadi saksi bagaimana dirinya dan Alya menghabiskan malam-malam mereka penuh kasih. Tidak ada yang berubah dari penampilan kamarnya itu. Setelah Alya meninggal, dia memang tidak ingin mengubah apa pun yang ada di dalam kamarnya, bahkan rumahnya sekali pun. Dia merasa nyaman dengan kondisi rumahnya karena ia jadi bisa merasakan Alya di setiap sudut ruangan di rumahnya itu.

Dia memegang gagang pintu dan berdiri di depan kamarnya dengan pandangannya yang menyapu seluruh ruangan. Sebuah pigura foto berukuran besar yang menampilkan potret dirinya dan juga Alya saat mereka menikah dulu masih terpampang jelas di atas ranjang. Estu mengamati foto itu dengan detak jantung yang terasa menyakitkan.

"Aku merindukanmu, Al!" jerit batin Estu.

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang