Orang Paling Bodoh

1.7K 157 5
                                    

Haloooo! Asmita dan Mas Estu sudah update, nih.

Siapa yang nungguin kisah mereka?

Dari sekian banyak pembaca, nggak ada yang mau follow saya gitu? xixixi

Enjoy your day and happy reading, yah ~

____________________________________________________________________________

Asmita terdiam di pinggiran ranjang. Otaknya baru saja mencerna kejadian satu jam yang lalu. Sepertinya semesta sedang ingin bermain dengan kesabarannya. Tapi Mita bukan manusia yang bisa dengan sabar dan tabah jika harga dirinya terasa tidak dihargai, lagi dan lagi. Dia mengusap matanya yang memerah dan basah.

"Gue udah kayak orang paling bodoh sedunia!" bisiknya dengan suara parau.

Mita kemudian berdiri dan mencari keberadaan kopernya. Dengan cepat, gadis itu mulai mengemasi semua barangnya. Dia bahkan hanya memasukkan pakaiannya tanpa berniat menatanya lebih dahulu. Gadis itu masih menahan tangisnya supaya tidak kembali pecah. Beberapa skincare miliknya juga ia letakkan sembarangan di dalam koper itu.

Dia berdiri sejenak sebelum menutup resleting koper berwarna hitam yang ia tahu bahwa harganya tidak murah baginya. "Sialan!" ucapnya kesal.

Gadis itu menendang koper itu dengan cukup kuat dan berakhir dengan rasa nyeri pada ujung-ujung kakinya yang tidak memakai pelindung kaki sama sekali. Mita mengernyitkan keningnya dalam merasakan sakit yang membuat matanya kembali menumpahkan air yang sedari tadi tidak ia harapkan.

"Sakit!" erangnya sambil terduduk di kursi dan memegang kaki kanannya.

Mita membuka balutan telapak tangannya pada kakinya dan menatap penuh penyesalan saat dia menemukan kulitnya memerah dan juga terasa bengkak. "Aku beneran tolol kalau kayak begini," ucapnya sambil terisak kesakitan.

Dia memandang keluar jendela. Hari sudah sore dan matahari terlihat hendak membenamkan dirinya di ufuk barat. Cahaya jingga keemasan membuat Mita terdiam sejenak sambil mencoba menenangkan diri. Di situasi seperti sekarang, gadis itu jelas butuh pertolongan dari siapa saja yang mungkin bisa datang ke hotel Mulia dan membawanya pergi dari sana.

Rasanya dia sedang terjebak dalam sebuah kehidupan yang penuh dengan plot twist. Masih terdengar suara sesenggukan di kamar itu. Tapi air mata Mita sudah berhenti mengalir. Tangan kanannya terkepal seolah-olah dia siap memberikan tinjunya itu kepada pria yang telah membuatnya berantakan seperti ini.

Dia memukul dadanya pelan dan menghirup udara sebanyak mungkin kemudian menghembuskannya perlahan. Mita membiarkan matanya terpejam selama beberapa detik sambil meyakinkan dirinya sendiri.

Dia pasti bakal menyesal!

Amarah yang menguasainya membuatnya hanya membiarkan otaknya bekerja sesuai dengan kehendaknya sendiri. Pembenaran atas sikap yang ia ambil dan juga kesalahan yang dilakukan oleh suaminya ia anggap sebagai kesalahan fatal yang akan sangat sulit untuk dibenahi.

Mita berjongkok dan menutup koper di depannya. Koper yang dibelikan oleh Estu beberapa hari sebelum mereka berangkat ke hotel tersebut untuk melakukan serangkaian acara. Dia menatap benda itu dengan wajah yang terlihat sedikit malu.

"Koper dibeliin dia, biaya nikah juga dari dia. Ternyata gue miskin banget," gerutunya sambil menyeret kopernya menuju ke arah pintu dengan rambut sedikit berantakan dan kaki yang berjalan dengan pincang.

Mita mengeluarkan ponsel lamanya dari saku celana. Dia memesan sebuah taksi online yang akan membawanya pergi dari tempat itu. Dia terlihat menyedihkan. Pengantin baru yang bahkan tidak bisa menikmati indahnya bulan madu meski hanya sehari penuh bersama dengan sang suami.

Beruntung, taksi yang dipesan Mita tidak berada jauh dari hotel tersebut. Sehingga ketika dia sudah sampai di lobby hotel, taksi tersebut sudah menunggu di depan pintu keluar hotel. Beberapa pegawai hotel terlihat melihatnya dengan tatapan aneh.

Mereka teman-teman si brengsek itu!

"Bu Asmita!"

Mita mendengar seseorang memanggilnya sesaat setelah dia melewati meja front office tanpa menoleh sedikit saja ke arah dua orang yang sedang bertugas di sana. Mita menelan ludah dengan cepat. Perasaannya sedang tidak baik. Dia sedang malas menanggapi orang lain.

Meski begitu Mita terpaksa menoleh ke belakang ketika suara langkah kaki terdengar mendekati dirinya. "Ya?" jawab Mita dengan wajah berpura-pura tersenyum ramah.

Petugas wanita itu menunduk sopan. "Maaf, Ibu mau pergi ke mana, ya? Saya mendapat pesan dari Pak Estu kal-"

"Saya mau pulang," sahut Mita cepat dengan senyuman yang masih terpasang di wajahnya.

"Tapi, Bu!" Petugas itu terlihat sedikit panik. "Pak Estu bilang Ibu harus menunggunya di sini," lanjutnya.

Mita terkekeh pelan. "Nggak perlu, Mbak." Mita menggelengkan kepalanya. "Nanti kalau Mas Estu tanya, jawab aja kalau saya ada urusan yang penting sama seperti beliau. Terima kasih." Mita menganggukkan kepalanya sedikit dan segera berlalu begitu saja dari hadapan pegawai yang kini memasang wajah bingungnya.

Mita kemudian keluar dari hotel dan segera memasuki taksi online yang menunggunya. Gadis itu langsung sibuk memandangi keramaian kota dan seolah-olah ia sedang dihipnotis supaya terlupa pada masalah yang sedang ia hadapi sekarang.

Sampai tak terasa, mobil berwarna putih itu berhenti tepat di depan sebuah tempat. Bukan rumah ibunya yang ia tuju. Bukan pula rumah Estu. Gadis itu tersenyum sesaat setelah keluar dari mobil dan berdiri tepat di depan sebuah tempat yang ada di dalam benaknya sejak dia menangis sesenggukan di kamar hotel yang sepi.

"Gue... pulang," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.

***

"Istri saya pergi?" Estu hampir melotot mendengar penuturan salah satu petugas front office yang menghadangnya di lobby hotel.

"Iya, Pak Estu. Saya udah sampaikan pesan dari Pak Estu tapi Bu Asmita kayaknya..." petugas itu menelan ludahnya sebentar. "Marah, ya, Pak?" lanjutnya.

Estu menghela napas dalam. Dia mengurut pangkal hidungnya sambil memejamkan mata sebentar.

"Makasih bantuannya," ucap Estu pada akhirnya.

Dia kemudian pergi dari sana. Estu bergegas menuju ke kamar hotel yang ditempatinya bersama dengan istri barunya. Kepalanya pusing bukan main. Dia tidak menyangka kalau semuanya akan menjadi seperti ini.

Gadis yang bahkan baru kemarin menjadi istri sahnya memilih pergi dari hotel dan tidak mengindahkan ucapannya untuk tetap menunggunya di sana. Salahnya, setidaknya ia sudah mengakuinya di dalam hati bahwa ini semua juga salahnya. Meski Estu sangat ingin menyalahkan keadaan tapi dia masih sangat waras dan menyadari bahwa keadaan tidak akan semakin memburuk jika manusia tidak ikut memperkeruh masalah yang sedang dihadapi.

Estu membuka pintu kamar. Kakinya melangkah masuk dan suasana sepi langsung menyergap dirinya. Barang-barang Asmita sudah tidak ada di tempatnya. Koper gadis itu juga sudah lenyap dan Estu tidak bodoh. Istrinya pergi meninggalkan dirinya.

"Mati gue!" ucap Estu dengan kerutan di dahinya.

Pria itu kemudian segera meraih ponselnya dan mencari nomor yang ia dapatkan ketika resepsi pernikahannya kemarin berlangsung. Satu nama yang sebenarnya tidak ingin Estu hubungi. Dari sekian banyak nama, sayangnya hanya nama itu yang paling mungkin bisa membantunya sekarang.

Estu menempelkan ponselnya ke telinga. Nada sambung terdengar jelas dan pria itu mendesah lelah. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan dia jelas sudah terlambat beberapa jam. Dan dalam waktu sekian jam tersebut, jelas istrinya bisa pergi ke mana saja.

Pada dering ketiga sebuah suara masuk ke dalam telinga Estu.

"Ya, siapa ini?"

Estu membuang napas pelan. "Ini gue, Estu, suami Asmita," jawabnya sambil duduk di ujung ranjang yang terlihat berantakan.

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang