Waktu Kita Terlalu Cepat

2.1K 136 2
                                    

Yang nungguin Mita sama Mas Estu mana, nih?

Jangan lupa vote dan comment-nya yaaa ~

________________________________________________________________________________

Setelah satu minggu dirawat di rumah sakit, Dyah akhirnya diperbolehkan pulang. Ditemani oleh Estu dan juga Mita, rasanya Dyah begitu senang. Dia tidak bisa menyembunyikan senyuman yang tercipta karena beberapa kali melihat interaksi Estu yang mulai memberikan perhatian secara terang-terangan kepada Mita.

"Jadi, kapan kalian akan menikah?" suara Dyah memecah keheningan di dalam mobil itu.

Estu melirik Mita yang duduk disampingnya. Gadis itu meneguk ludah. Dia bingung sehingga memilih untuk tetap tutup mulut dan membiarkan Estu yang menjawab pertanyaan Dyah. Bukan karena ragu, hanya saja, Mita memilih untuk menunggu. Selayaknya gadis pada umumnya, menunggu sang kekasih untuk mengatakan niat baiknya adalah hal yang wajar dilakukan.

"Estu harus ketemu sama Ibu Mita dulu, Bu. Kita nggak bisa menikah secara mendadak, kan?" Estu menjawab pertanyaan Dyah dengan nada tenang.

"Iya, benar! Ibu juga ingin ketemu dengan Ibu Mita. Kalau bisa secepatnya karena Ibu ingin segera pulang ke Jogja," ucap Dyah.

Estu menghela napas berat. "Kenapa harus pulang ke sana, Bu? Di sini ada Estu, Mita dan Tala. Ada Ratih juga. Kenapa Ibu nggak tetap tinggal di sini aja?" Estu berbicara dengan nada keberatan.

"Iya, Bu! Lagipula, kasihan Tala kalau harus jauh dari Ibu," Mita menambahkan.

Estu melirik gadis itu. Senyuman terukir tipis di wajahnya.

"Lihat bagaimana baiknya nanti, ya? Ibu ingin menghabiskan sisa waktu Ibu di sana." Dyah memandang jalanan ibukota yang tak pernah sepi itu.

Estu dan Mita hanya berpandangan sekilas sebelum mereka berdua sama-sama diam karena tidak tahu bagaimana harus memberikan tanggapan kepada Dyah. Sampai kemudian mobil mereka telah sampai di halaman rumah. Dyah sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan bantuan Estu.

Sementara Mita terlihat membawa tas Dyah. Dan di depan pintu rumah dia bertemu dengan Ratih yang menatapnya dengan penuh selidik. Mita hanya menatap Ratih dengan wajah yang polosnya sambil terus berjalan melewati gadis itu.

"Sampai sekarang lo belum cerita apa-apa ke gue," ucap Ratih pada akhirnya.

"Apa yang perlu gue ceritain ke lo, sih?" Mita cemberut.

Demi apapun, tubuhnya sudah terasa lelah dan dia ingin segera mandi. Ratih terus membuntutinya sampai masuk ke dalam kamar Dyah. Di dalam sana, Dyah sudah duduk di atas ranjang dengan punggung bersandar pada headboard. Wajah Dyah nampak bahagia.

Estu, putranya itu sedang merapikan obat-obatan Dyah di atas nakas. Pria itu hanya menoleh ke belakang saat Mita dan Ratih masuk ke dalam kamar ibunya. Ratih segera duduk di sebelah kiri ranjang dan memandang Dyah dengan wajah lega.

"Ibu, akhirnya pulang!" ucapnya dengan nada ceria.

"Iya, Ibu sudah sembuh!" kata Dyah. "Eh, kamu tahu nggak, Ratih? Estu dan Mita sebentar lagi akan menikah," ucap Dyah tanpa pikir panjang.

Ratih terlihat melebarkan mata dengan bibir setengah terbuka. Wajahnya jelas terlihat terkejut dengan fakta baru yang ia dapatkan. Padahal Mita belum sempat berbagi cerita dengannya dan Ratih harus kembali dibuat kaget dengan ucapan Dyah.

"Benar, Bu?!" katanya.

Dyah mengangguk dengan senyuman lebarnya. Mita yang sedang membereskan tas milik Dyah hanya bisa menghela napas panjang. Padahal Estu dan dirinya sama sekali belum membahas lebih lanjut kapan mereka akan naik ke pelaminan.

Estu yang sudah selesai dengan kegiatannya pura-pura tidak peduli. Dia menghampiri kekasihnya dan membantu Mita membereskan baran-barang. Ratih dan Dyah hanya mampu mengawasi mereka berdua dengan senyuman tertahan.

"Lihat! Mereka terlihat sangat serasi. Kalau begini, saya lega. Estu dan Tala sudah punya tempat untuk pulang ketika mereka lelah," ucapan Dyah mendapatkan anggukan tanda setuju dari Ratih.

"Kamu mandi dulu! Biar aku yang lanjutin beresin barang-barang ini," kata Estu kepada Mita.

Mita melirik Ratih yang sudah cekikikan melihat interaksinya dengan Estu. Mita gugup tentu saja. Dia bahkan tidak berani menatap mata Estu padahal pria itu kini sedang menatap wajahnya dengan lekat. Mita hanya mampu mengangguk dan berjalan meninggalkan kamar itu dengan langkah kaki tergesa-gesa.

Estu menoleh ke belakang dan menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang di balik pintu. Senyumnya mengembang sempurna.

"Pacar aku lucu banget, ya, Bu?" ucap duda dengan satu anak itu.

***

Malam itu, udara di luar begitu dingin. Asmita yang belum juga bisa memejamkan mata memilih duduk di teras rumah dengan secangkir coklat hangat di tangannya. Dia menyesap minumannya dengan pelan. Rasa manis sedikit pahit terasa di lidahnya. Dia memejamkan mata sejenak sambil merapatkan cardigan berwarna putih yang ia kenakan.

Benaknya melayang pada kejadian hari ini. Tentang ucapan Dyah yang sama sekali tidak disanggah oleh Estu. Sebentar lagi merujuk pada waktu yang tidak lama dan hal itu jelas membuat Mita memikirkan bagaimana tanggapan ibunya nanti jika Estu benar-benar datang ke rumah mereka.

Ketika membayangkan bagaimana nantinya jika dia menjadi seorang ibu rumah tangga di rumah itu, tubuhnya terlonjak kaget. Dia mendongak dan menemukan Estu yang sedang menumpangkan tangan di atas kepala gadis itu. Mata mereka bertemu selama beberapa detik. Estu kemudian tersenyum dan melanjutkan niatnya untuk mengusap kepala kekasihnya dengan lembut.

"Kenapa belum tidur?" tanya Estu yang kemudian berjalan dan duduk di bangku yang ada di samping Mita.

Gadis itu menghela napas dalam. "Kepikiran banyak hal. Rasanya..." Dia kembali memandang tanaman-tanaman di dalam pot yang ada di depan mereka. "Kayak... apa, ya? Waktu kita terlalu cepat, nggak, sih, Mas?" Mita meletakkan cangkirnya ke atas meja.

"Memangnya kenapa? Apa semuanya karena ucapan Ibu tadi?" tanya Estu.

Mita mengangguk pelan. "Hm!" Dia menoleh kea rah Estu. "Aku belum lama kenal Mas Estu, Ibu, Tala dan Ratih. Tapi tiba-tiba Mas Estu mau nikahin aku. Apa Mas Estu nggak merasa kalau ini semua terlalu cepat?" Mita bisa menangkap raut wajah tidak setuju yang Estu pancarkan. "Ah, maksudku..." Gadis itu tersenyum lembut. "Apa Mas Estu nanti nggak akan menyesal dengan keputusan besar ini?"

Estu mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Aku udah mikirin ini semua dengan matang. Aku pikir nggak ada salahnya kalau kita menikah lebih cepat. Aku mau bilang ke kamu kalau aku nggak pernah mengambil keputusan dengan asal, Asmita. Lagipula kemarin kamu udah setuju, kan? Kenapa sekarang kamu kelihatan ragu?"

Mita terdiam. Apa dia ragu? Satu pertanyaan yang muncul dari bibir Estu membuatnya tersadar bahwa Mita memang belum merasa pantas menjadi seorang ibu. Mata gadis itu mengamati Estu yang kini berpindah tempat. Pria itu kini sudah bersimpuh di depannya dan membuat Mita terbelalak.

"Mas?"

"Aku mau nenangin calon istri aku," ucap Estu dengan senyuman disertai tangannya yang menggenggam erat tangan Mita.

"Nanti ada yang lihat, Mas!" ucap Mita dengan wajah sedikit cemas.

"Semua udah pada tidur, tinggal kita berdua." Estu masih tersenyum dengan mata yang tak lepas dari wajah Mita. "Aku boleh minta satu hal sama kamu?" tanya pria itu.

Mita mengangguk. "Ya."

"Percaya sama aku, apa bisa?" tanya Estu.

Mita kembali mengangguk seperti anak kecil. Estu terkekeh pelan dan mengusap dahi Mita yang berkerut.

"Kamu banyak pikiran, ya? Cepat masuk kamar dan tidur. Besok aku mau ke rumah kamu buat ketemu ibu."

Mita melebarkan matanya. "Besok?!"

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang