Membangun Obrolan

3.8K 259 1
                                    

Hai! Jangan lupa vote dan comment kalian untuk kisah Asmita, ya!

Enjoy ~

________________________________________________________________________________

Akhir pekan pertama bagi Mita akhirnya tiba. Gadis itu sudah tidak sabar untuk pulang ke rumahnya. Beruntung sekali, pekerjaannya yang baru tersebut memperbolehkan Mita untuk berlibur satu minggu sekali. Kesempatan itu jelas akan dia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Dan kini gadis itu sudah berada di atas motornya dengan wajah yang terlihat cerah.

Sabtu malam, biasanya digunakan oleh para kaum muda untuk pergi keluar bersama kekasih, teman atau keluarga. Tapi tidak dengan Mita, di dalam kepala gadis itu hanya ada ibunya yang pasti sudah menunggu kedatangannya setelah satu minggu meninggalkan wanita tua itu sendirian di rumah sederhana mereka.

"Apa kamu mau pulang ke rumahmu?"

Mita yang bahkan baru saja hendak mengambil helmnya sontak menoleh ke belakang dan di teras rumah itu Estu berdiri dengan kaos berwarna abu-abu serta celana pendeknya. Gadis itu kemudian buru-buru mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.

"Sebentar lagi kayaknya hujan bakalan turun. Anginnya juga cukup kencang, apa kamu yakin mau pulang pakai motormu itu?" tanya Estu.

Mita melirik motornya sekilas kemudian matanya beralih menatap langit di atasnya yang sepertinya memang mendung. Tidak ada bulan dan bintang yang biasanya menghiasi langit di atasnya itu. Mita meneguk ludahnya dan tersenyum tipis.

"Ya, kayaknya begitu. Hujan mungkin bakal segera turun dan saya memang mau pakai motor ini," jawabnya.

Estu menghela napas dalam. "Turunlah! Aku bakal mengantarkan kamu pulang," ucap Estu yang kemudian berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

Mita melebarkan matanya. Dia mengerutkan keningnya dalam dan seakan-akan dia salah mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Estu. Gadis itu masih diam di atas motornya dengan mata yang mengawasi sosok Estu. Pria itu sudah membuka gerbang dan menoleh ke belakang saat Mita tak juga berjalan ke arahnya.

"Apa yang lagi kamu tunggu? Ayo, Mita!" ucap Estu.

Mita mengerjapkan matanya seolah-olah baru tersadar dari lamunannya. Dia kemudian mengangguk dan segera turun dari motornya. Mita berjalan cepat menyusul Estu yang sudah keluar dari gerbang dan membuka pintu mobilnya. Gadis itu kemudian masuk ke dalam mobil milik Estu dan hanya mampu mengunci bibirnya.

Estu melirik ke samping. Mobil yang ia kendarai baru saja melaju dan suasana sepi sudah mulai terasa. Estu menghela napasnya sedikit keras dan membuat Mita menoleh ke samping. Dia menatap Estu dengan wajah tidak nyaman. Sejujurnya meski sudah satu minggu berada di rumah yang sama dan bertugas menjadi pengasuh putra tunggal Estu, Mita masih saja merasa canggung jika harus berada di tempat yang sama berdua bersama Estu. Rasanya tidak ada bahan obrolan yang bisa ia gunakan untuk mencarikan suasana.

Estu yang selalu mencoba membangun komunikasi dengannya dan Mita menyadari akan hal tersebut. Mungkin secara usia Estu memang lebih dewasa dan pola berpikir yang ia miliki sepertinya melampaui Mita. Gadis itu ingat saat malam hari di mana dia baru saja selesai menidurkan Tala. Estu yang baru saja selesai merokok di teras rumahnya hendak mengambil air minum.

Mita yang sedang berada di dapur untuk mencuci botol susu milik Tala seketika merasa canggung luar biasa. Mereka benar-benar tidak saling menyapa atau berbicara. Dan Mita memang sangat terlihat sedang mempercepat kegiatannya agar segera selesai dan bisa segera pergi dari sana. Tapi panggilan Estu berhasil menghalangi langkahnya yang hendak pergi ke kamarnya. Pria itu bertanya hal sederhana, apa Tala sudah tidur? Dan Mita baru membuka suaranya.

Kini, di dalam mobil yang dikendarai Estu, Mita kembali diam dan tidak mengatakan apa pun pada pria itu. Dia bahkan hanya menoleh sebentar dan kembali menatap ke jalanan. Hujan mulai turun dengan perlahan. Titik-titik air yang semula berupa gerimis kini sudah berubah menjadi hujan yang sangat deras. Mita memeluk tubuhnya sendiri saat dia merasakan udara dingin menyergap tubuhnya.

Estu yang melirik gadis itu seolah-olah paham dan segera mengecilkan pendingin mobilnya. "Hujan benar-benar turun," ucap Estu memecah keheningan di antara mereka berdua.

Mita menoleh dan mengangguk dengan kaku. "Ya, hujan turun deras banget, Pak. Saya mengucapkan terima kasih karena Bapak mau mengantarkan saya pulang ke rumah," kata Mita yang berhasil menemukan suaranya kembali.

Estu mengangguk dan tersenyum. "Sama-sama," jawabnya. "Kenapa kamu selalu diam kalau lagi berdua sama aku?" tanya Estu.

Senyuman di wajah Mita seketika luntur begitu saja. Hawa dingin yang sebelumnya ia rasakan kian menjadi dan membuatnya semakin bergidik dan merapatkan tangannya. Mita hanya bisa tersenyum tipis sambil meneguk ludahnya.

"Apa aku kelihatan menyeramkan buat kamu?" Estu sepertinya memang ingin membangun komunikasi dengan gadis itu.

"Enggak, Pak!" Mita buru-buru menggelengkan kepalanya. "Maafkan saya, eumm..." Mita menunduk dan memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian dia kembali membuka matanya dan merasa sudah bertindak bodoh. "Sa- saya cuma belum terbiasa," lanjutnya.

Estu mengangguk paham dan mengulum senyumnya. "Ya, mungkin kamu memang belum terbiasa lagipula kamu baru satu minggu kerja jadi pengasuh Tala, jadi wajar aja kalau kamu masih merasa canggung," ucapnya. "Oh, ya! Di mana alamat rumahmu? Sejak tadi kamu belum mengatakan di mana rumahmu," tanya pria itu.

Mita hampir lupa mengatakan di mana alamatnya. "Ah ya! Maaf!" Dia merasa bodoh sekarang. "Rumah saya ada di Jalan Rajawali, Pak. Nanti saya turun di depan gang aja karena mobil nggak bisa masuk ke dalam gang ke arah rumah saya," jawabnya.

Estu menganggukkan kepalanya. Dan tak lama kemudian, mobil yang ia kendarai terpaksa berhenti karena jalanan sedang macet. Sabtu malam, seperti biasanya jalanan ibukota akan selalu ramai dan juga padat. Estu membuang napasnya pelan. Dia menoleh ke samping. Mita nampak sedang menatap jalanan di samping mobil mereka yang juga dipenuhi oleh kendaraan.

"Untung aja kamu nggak keras kepala," ucap Estu.

Mita menoleh dan menaikkan alisnya. "Ya?"

Estu tersenyum tipis. "Untung aja kamu nggak keras kepala dan mau aku antar naik mobil. Coba kamu bayangin kalau tadi kamu nekat naik motor, kondisi jalanan macet dan juga hujan masih turun deras banget. Aku pikir kamu pasti bakal sakit dan nggak masuk kerja," ucap Estu.

Mita tersenyum dan mengangguk. "Ya, saya pikir juga begitu, Pak."

"Oh, ya! Kalau boleh tahu, dengan siapa kamu tinggal di rumahmu?" tanya Estu.

"Dengan ibu saya, Pak," jawab Mita.

Estu mengangguk dan tidak berani bertanya di mana ayah Mita. Dia sudah cukup dewasa untuk tahu batasan.

"Apa kamu betah kerja di rumahku sebagai pengasuh Tala?" tanya pria itu demi membangun sebuah obrolan supaya tidak bosan.

Mita mengangguk. "Ya, saya sangat betah, Tala adalah anak yang baik, dia juga cerdas, bahkan dia juga pandai bernyanyi, saya rasa istri Bapak pasti sangat senang mengetahui perkembangan Tala," ucap Mita.

Senyuman di wajah Estu seketika memudar. Namun dia berhasil mengubahnya sesegera mungkin. Estu hanya mengangguk pelan.

"Ya, istriku pasti bahagia banget melihat Tala tumbuh dengan baik," ucap pria itu.

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang