Dia yang Mereka Sayangi

2.8K 218 6
                                    

Selamat siang! Seluas Cakrawala siap menemani makan siang kalian, nih!

Jangan lupa follow, vote dan comment! 

Selamat membaca :)

________________________________________________________________________________

Asmita Batari, gadis polos yang tidak biasa datang ke restoran mewah itu hanya bisa meringis di dalam hati saat melihat menu yang disajikan di sana. Terdapat menu western dan juga Indonesia. Semuanya nampak menggugah selera dan langsung membuat perutnya keroncongan. Dia malu. Ya, Asmita malu jika dia menuruti keinginannya untuk mencicipi semua menu yang tersaji di depan matanya.

Bagaimana kalau Pak Estu malu karena gue makan banyak di sini?

Mita terus saja berperang dengan kata hatinya. Sampai kemudian sebuah tepukan di pundaknya membuatnya tersadar dari lamunannya. Mita menoleh dan matanya bertemu dengan manik mata hitam milik Estu. Gadis itu menahan napas beberapa saat kala Estu mendekatkan wajahnya ke arah telinga.

"Bisakah kamu menyuapi Tala? Dia hanya ingin makan denganmu," ucap Estu sambil berbisik.

Mita melebarkan matanya. Dia mengangguk paham.

"Baik, Pak." Kemudian Estu pergi ke meja di mana Tala dan Dyah duduk.

Sedangkan Mita, gadis itu belum bisa menentukan menu apa yang paling enak dan harus ia coba di restoran mahal itu. Akhirnya, Mita mengambil menu makanan Indonesia. Gudeg krecek, makanan terkenal khas kota Yogyakarta mampu membuatnya menelan ludah beberapa kali.

Dia kembali ke meja dan segera menyuapi Tala. Mita menyuapi Tala sampai bocah kecil itu dengan telaten. Estu, pria di hadapannya itu memandangnya dengan mata setajam elang. Sejujurnya Mita merasa tidak nyaman jika Estu menatapnya dengan mata yang mampu membuat siapa saja memiliki banyak prasangka pada pria itu.

"Kamu bisa sambil memakan makananmu, Mita," ucap Estu.

Mita mendongak dan mengangguk. Dia kemudian memakan makanannya di sela-sela menyuapi Tala. Fokusnya hanya tertuju pada Tala dan makanan di piringnya sampai sebuah suara mampu membuatnya menelan makanannya dengan sedikit memaksa.

"Ya Tuhan! Gue kira dia Alya," ucap seorang wanita yang baru saja datang dan menghampiri Estu serta Dyah.

Dyah tersenyum tipis sedangkan Estu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Bukan, dia..." Estu melirik Mita sekilas. "Dia pengasuh Tala," lanjut pria itu sambil tersenyum.

"Oh! Alya pernah pakai baju itu waktu pergi sama gue dulu," kata wanita itu dengan nada sedih. "Gue jadi rindu sama Alya. Dia selalu cantik waktu pakai baju itu. Ah! Lo pasti lebih tahu tentang istri lo itu," nada suaranya berubah bergetar.

Mita hanya mampu tersenyum saat Dyah menatapnya sambil mengangguk dan tersenyum. Seolah-olah wanita tua itu sedang memberikan kode kepada Mita bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia tidak perlu cemas. Dan respon Mita adalah tersenyum kemudian menunduk tanpa berani menatap Estu maupun wanita yang disapa Estu dengan sebutan 'Ra' itu.

Mita tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain melanjutkan kegiatannya dan pura-pura tidak mendengar semua obrolan mereka. Mita mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia adalah pengasuh bukan anggota keluarga, jadi sebaiknya dia tidak ikut campur pada obrolan orang-orang yang ada di sana.

Di pesta itu, Mita dengan sabar mendampingi Tala yang sangat aktif. Sesekali dia akan menerima tatapan kaget dari beberapa orang yang berjumpa dengannya. Dan yang ia lakukan adalah menundukkan kepala seraya tersenyum tipis.

Awalnya, Mita tidak mengambil hati tatapan dan juga bisikan mereka yang membicarakan baju yang menempel di tubuhnya. Tapi lama-lama Mita merasa tidak nyaman berada di sana. Apalagi setelah ada satu gadis remaja yang menghampirinya dan mengatakan sesuatu padanya.

"Apa lo seorang pengasuh yang mau merebut hati majikannya?" tanyanya yang membuat dahi Mita berkerut dalam.

"Ma- maaf, apa maksud ucapanmu?" Mita bertanya dengan nada sopan.

"Lo pakai baju Tante Alya. Gue ingat Tante Alya pakai baju itu waktu gue ulang tahun. Bahkan foto-fotonya masih ada di ponsel gue. Kenapa lo melakukannya? Lo nggak akan bisa menyaingi Tante Alya. Dia kayak bidadari sedangkan lo..." Gadis remaja itu menatap Mita dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Lo bahkan nggak ada apa-apanya dibanding Tante Alya," lanjut gadis remaja itu sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Mita sendirian di depan kasir restoran.

Mita menelan ludah. Dia bahkan tidak sempat membela diri atas tuduhan jahat gadis remaja itu. Dia hanya mampu diam dan tanpa sengaja dia melihat wanita penjaga kasir yang memandangnya dengan wajah iba. Mita menunduk dan segera berjalan. Dia masih memiliki kewajiban untuk menjaga Tala.

Setelah pesta selesai, mereka berempat ada di dalam mobil dan dalam perjalanan menuju ke rumah. Tala, bocah menggemaskan itu sudah jatuh tertidur di dalam dekapan Mita. Estu yang sedang menyetir sesekali melirik ke bangku yang ada di sampingnya. Mita hanya diam selama perjalanan. Hanya suara radio yang mengisi indra pendengaran Estu. Ibunya bahkan juga tertidur di bangku belakang.

Dyah memang lebih memilih duduk di bangku belakang jika ada orang lain selain dia dan Estu. Katanya lebih nyaman duduk di belakang daripada di depan. Dan sekarang, mobil Estu harus berhenti ketika kemacetan terjadi di depan mereka.

"Macet," ucapnya pelan.

Dia melirik Mita yang sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun. Sampai kemudian, Estu mendesah karena kesal dengan sikap pengasuh anaknya itu.

"Apa terjadi hal yang bikin kamu nggak nyaman?" tanya Estu pada akhirnya.

Mita tersentak. Sedari tadi dia hanya menatap jalanan dari kaca jendela mobil.

"Ah! Nggak ada, Pak." Dia tersenyum tipis.

"Jangan berbohong! Apa ada yang mengatakan hal kurang menyenangkan ke kamu?" tanya Estu.

Mita mengerutkan keningnya dalam. "Maksud Bapak?"

"Kamu pasti tahu apa maksudku," ucap Estu sambil menatap gadis itu ketika mobil mereka masih berada di tengah kemacetan kota. "Bajumu..." Estu menelan ludah. "Punya istriku."

Mita tergagap. Dia menatap baju yang menempel di tubuhnya.

"Oh! Eum..." Mita membasahi kerongkongannya sejenak. "Ng- nggak ada hal yang bikin saya nggak nyaman, Pak. Saya berterima kasih karena udah diajak ke acara keluarga Bapak dan juga saya boleh pinjam baju milik istri Bapak."

"Baiklah kalau begitu."

Dan mereka kembali diam. Mita masih mencoba menepis semua perasaan di hatinya kala kalimat pedas seorang gadis remaja masih terngiang di kepalanya. Dia melirik Estu yang terlihat tenang di sampingnya.

"Pak?" Mita memecah keheningan di antara mereka.

"Ya?"

"Kalau boleh saya tahu, apa yang terjadi pada istri Bapak?" tanya Mita.

Estu diam beberapa saat . Dan seketika Mita tersadar bahwa mungkin dirinya sudah lancang. Mita melihat raut wajah Estu yang sepertinya tidak nyaman dengan pertanyaannya.

"Ah! Maafkan saya kalau saya lancang, Pak! Saya..."

"Istriku udah meninggal tiga tahun yang lalu."

Belum sempat Mita melanjutkan kalimatnya, Estu sudah menyahut dengan jawaban yang membuat Mita melebarkan mata. Mita merasa bersalah dan menyesal karena sudah bertanya.

Seharusnya gue nggak bertanya kalau Tuan Estu nggak cerita lebih dulu ke gue. Dasar Mita bodoh!

"Aku akan menceritakan semuanya ke kamu tapi aku mohon satu hal, jangan pernah melihatku dengan tatapan kasihan setelah ini!" 

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang