Salah Satu Pondasi Pernikahan

2K 172 2
                                    

Halooo, saya lagi sakit tapi pengen banget update hihi

Semoga kalian selalu sehat yaaaa ~

Jangan lupa untuk follow saya, berikan vote dan comment kalian juga, thank youuuu 

_______________________________________________________________________________

Asmita berdiri di samping ranjang Dyah yang terbaring lemah. Setelah pagi hari Mita harus mendengar keraguan Estu, kini dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Estu bahkan pergi begitu saja tanpa menjelaskan lebih detail mengenai hal-hal yang membuat pria itu ragu terhadap Mita. Sampai detik ini, Estu juga sama sekali tidak menatap Mita sejak gadis itu hadir di ruang perawatan Dyah.

Mita meninggalkan Tala bersama Ratih di rumah dan menyusul Estu menggunakan motornya. Dia berharap Estu tidak lagi memandangnya seperti orang asing. Tapi yan terjadi justru lebih mengenaskan, Estu bahkan seperti enggan untuk menyapa maupun menatap matanya barang sebentar saja. Alhasil, Mita kini merasa seperti orang yang tidak diharapkan di sana.

Mata gadis cantik itu mengerjap untuk menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini semua bukanlah sebuah mimpi. Dyah masih di sana dengan wajah pucatnya. Senyumnya tidak selebar biasanya. Dyah bahkan seperti sedang memaksa tubuhnya untuk berbuat sesuatu lebih dari kemampuannya.

"Saya mohon, Mita." Nada bicaranya sangat lirih, tapi baik Mita maupun Estu masih dapat mendengarnya dengan jelas.

"Tapi, Bu..." Itu adalah suara Estu.

Pria itu terlihat menjeda kalimatnya. Dan setelah banyak menit berlalu, akhirnya Estu menatap gadis yang kini berdiri di seberangnya. Mereka dipisahkan oleh ranjang Dyah. Estu menyipitkan matanya dan menggelengkan kepala pelan.

Mita hanya mampu menelan ludahnya. Dia tidak tahu apa yang kini ada di dalam kepala pria itu karena Mita tidak lagi berani melakukan hal-hal yang bukan haknya. Mita mengingatkan dirinya sendiri supaya tahu diri.

Lo itu pengasuh anaknya, jadi jangan pernah berpikiran kalau dia benar-benar ingin menikahimu!

"Estu nggak bisa," lanjut pria itu.

Kaki Mita seperti terpaku pada lantai di bawahnya. Dia ingin berlari tapi tidak bisa. Gadis itu hanya menunduk seraya mencoba bersikap tenang. Harga diri yang ia miliki jatuh berserakan dan Mita tidak punya kuasa untuk merapikannya supaya utuh kembali.

"Apa maksudmu? Bukannya kalian udah pacaran? Kamu sendiri yang bilang ke Ibu!" Suara Dyah naik satu oktaf.

Matanya melotot memandang sang putra yang kini masih terlihat tenang dan seperti tidak punya beban. Kemudian Mita menyentuh tangan Dyah dengan lembut.

"Bu, nggak apa-apa. Mungkin sejak awal kami memang nggak berjodoh," ucap gadis itu dengan lapang dada.

Mita mengukir senyuman di wajahnya sebaik mungkin guna menutupi kebobrokan hatinya akibat ulah Estu. "Lagipula, Siapapun jodoh Mas Estu nantinya, pasti dia adalah pilihan yang tepat dan cocok bagi Mas Estu dan juga Tala."

"Tapi-"

"Yang terpenting, Ibu bisa segera sembuh. Mas Estu dan Tala hidup bahagia dengan wanita pilihan beliau. Jadi Ibu nggak perlu khawatir. Saya pasti juga bakal menemukan jodoh saya sendiri, semua cuma masalah waktu, Bu," ujar Mita masih mencoba menenangkan Dyah.

"Mita benar, Bu!" sahut Estu dengan cepat. "Lagipula Mita pasti bisa mendapatkan pria yang lebih kaya dari Estu. Jadi Ibu nggak perlu khawatir, Mita bukan gadis polos yang mau menikah dengan duda kayak Estu. Iya 'kan, Mit?" Mata Estu bertubrukan dengan mata Mita kala gadis itu spontan memandangnya setelah mendengar kalimat yang tidak pernah Mita duga sebelumnya.

Mita meneguk salivanya dengan hati berdarah. Sejak tadi dia sudah menyimpan air matanya. Kesabarannya sudah ia pasang sebagai banteng diri agar ia tidak terbawa arus sehingga semakin merendahkan dirinya. Tapi, Estu justru seperti sengaja memancing Mita supaya gadis itu menampilkan emosinya.

"Ibu cuma mau Mita yang jadi menantu Ibu!" ucap Dyah dengan tangannya gemetaran dan wajah memerah menahan marah. "Ibu yakin Mita bukan gadis seperti itu!" Dyah kemudian menoleh dan menatap Mita. "Bilang ke saya kalau yang dikatakan Estu itu nggak benar, Mita!"

Mita mengerjapkan matanya. "Sa- saya..." Gadis itu membasahi bibir bawahnya yang terasa kering. "Saya nggak pernah kepikiran hal seperti itu, Bu." Akhirnya dia bisa memberikan jawaban yang bisa membuat Dyah menghela napas lega.

Estu memandang gadis itu dengan mata tajamnya. Sementara Dyah tetap pada pendiriannya. Hal yang mungkin membuat putra dan juga pengasuh cucunya kebingungan untuk menolaknya.

"Usia Ibu udah tua. Ibu juga udah capek banget rasanya. Ibu ingin melihat kamu dan Mita menikah sebelum Ibu pergi. Biar Ibu lega ninggalin dunia ini," ucap Dyah yang langsung membuat Estu membungkukkan tubuhnya mendekati sang ibu.

"Ibu bicara apa? Ibu butuh istirahat. Ibu pasti cepat sembuh, ada Tala di rumah yang nungguin Ibu pulang." Estu mengelus tangan renta di dalam genggamannya.

"Ibu, sebaiknya Ibu istirahat dulu." Mita ikut menenangkan Dyah.

Dyah tersenyum dan menuruti kata-kata Estu dan juga Mita. Dia tertidur pulas setelah sesi obrolan yang mengganggu otak kedua anak manusia yang kini duduk berdampingan di kursi tunggu di depan ruang perawatan Dyah.

"Kenapa Mas Estu bisa bilang kayak gitu?" tanya Mita dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan sebelumnya.

Estu menghela napas dalam dan memejamkan mata. "Aku nggak tahu kalau ternyata aku memang belum mengenal kamu dengan baik. Kemarin waktu aku bilang kita pacaran, aku pikir aku udah cukup yakin kalau aku tahu bagaimana pribadimu. Ternyata... aku salah." Estu menoleh dan menemukan mata Mita yang nampak kecewa.

"Ma- maksud Mas Estu?" Mita sama sekali tidak mengerti.

"Kamu bilang apa ke Vita di telepon?" tanya Estu.

Mita melebarkan matanya. "Vita?" ulangnya.

"Hm!" Estu mengangguk.

"Aku nggak bilang apa-apa ke Vi..." Mita menghela napas lega.

Gue nggak melakukan kesalahan lain selain mengangkat telepon itu.

"Jadi... Vita yang bilang ke Mas Estu semua hal itu?" Mita menyunggingkan senyuman miris. "Apa aja yang dia bilang ke Mas Estu kalau aku boleh tahu?" tanya Mita dengan rasa kecewa yang kini semakin menjadi akibat sikap Estu.

"Kamu pura-pura amnesia?" Estu terkekeh geli. "Apa aku kelihatan kayak pria gampangan yang cuma ngincar tubuh seorang gadis?" Estu kembali menatap Mita dengan sorot mata terluka.

"Mas percaya dengan semua omongan Vita?" Mita justru semakin melebarkan senyumannya. "Kalau begitu, omongan Mas ke Ibu tadi di dalam udah benar. Dan apa yang aku bilang tadi juga nggak ada yang salah. Mungkin sejak awal kita memang nggak jodoh. Nggak ada pernikahan tanpa rasa percaya satu sama lain, meski belum pernah menikah tapi seenggaknya aku tahu salah satu pondasinya." Mita kemudian berdiri. "Aku pamit pulang." Dia kemudian berjalan tanpa mau menoleh lagi ke belakang.

Dia meninggalkan Estu yang terdiam di bangku sendirian dengan jantung yang rasanya seperti sedang diremas. "Apa gue salah percaya sama orang?" gumamnya.

Estu mengusap wajahnya dengan kasar. Dia kemudian berdiri dan berjalan cepat menyusul Mita yang sudah tidak terlihat oleh pandangannya lagi.

"Mita!" panggilnya ketika ia sudah tiba di parkiran khusus motor, di mana Mita sedang berjalan menuju motornya.

Gadis itu memejamkan mata dan menoleh ke belakang. "Ya? Apa ada lagi yang ingin Mas katakan tentang betapa buruknya aku?" Dia membuang semua rasa takutnya di depan Estu.

"Kita..." Estu terdiam sejenak sambil memandang wajah Mita yang nampak lelah. "Kita perlu bicara, kan?"

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang