Runtuh

2.6K 155 4
                                    

Tolong hibur Estu, dunianya nggak lagi sama setelah Alya pergi...

Untuk kalian yang sudah baca sampai chapter ini, saya mengucapkan banyak terima kasih.

Terima kasih sudah vote dan follow penulis, terima kasih sudah memberikan Seluas Cakrawala kesempatan untuk lebih berkembang.

Happy weekend!

_______________________________________________________________________________

Estu memacu mobilnya supaya ia lekas sampai di rumah sakit. Ratih baru saja menghubunginya dan memberinya kabar yang kurang menyenangkan. Alya, istrinya yang tadi pagi ia peluk dan ia berikan ciuman mesra kini tengah mempertaruhkan nyawanya. Estu tidak bisa berpikir jernih semenjak ponselnya berdering dan membawa kabar buruk itu.

Dia berlari menyusuri lorong rumah sakit denga jantung yang sudah berdegup kencang. Napasnya terdengar berkejaran layaknya pelari marathon. Tidak ada yang ia pikirkan saat ini kecuali Alya dan bayi mereka. Istrinya mengalami pendarahan hebat. Beruntung, adik laki-laki dari Alya segera datang ke rumah sakit untuk mendonorkan darahnya demi keselamatan sang kakak.

Estu berhenti beberapa langkah dari bangku yang digunakan untuk menunggu keluarga pasien. Di sana dia melihat Ratih yang nampak menangis sesenggukan dengan tangan yang tak berhenti memilin ujung kemejanya. Estu meneguk ludahnya dengan perasaan gugup. Di dekat bangku yang Ratih gunakan untuk menunggu, terdapat sebuah pintu di mana Alya sedang dioperasi.

Estu berjalan kembali dan mendekati asisten rumah tangganya itu dengan wajah pucat pasi. "Ratih," panggilnya dengan nada pelan.

Ratih mendongak dan menatap Estu dengan wajah yang sudah bersimbah air mata. "Pak Estu," ucapnya dengan suara serak.

"Gimana keadaan istriku?" tanya Estu yang kemudian berdiri tepat di depan pintu itu sambil memandang pintu yang tertutup rapat di depannya.

Ratih nampak mengusap air matanya dan sesenggukan. "Bu Alya mengalami pendarahan hebat karena jatuh terpeleset di dapur, Pak. Maafkan saya, saya sudah lalai menjaga Bu Alya," jawabnya dengan wajah takut.

Estu menggelengkan kepalanya. "Bukan salahmu, mungkin jalan kami memang harus kayak ini. Aku cuma minta doamu supaya Alya dan bayi kami selamat," kata Estu dengan wajah serius.

Ratih segera mengangguk dengan cepat. "Tentu aja, Pak!" jawabnya singkat.

Estu kemudian menunggu sampai operasi selesai. Bersama dengan Ratih yang duduk di sampingnya dengan wajah yang nampak nelangsa, mereka menunggu Alya yang sedang berjuang seorang diri di dalam ruangan yang dingin itu. Estu meneguk ludahnya berkali-kali saat jam di tangannya seperti berjalan dengan lambat.

Sampai kemudian, suara pintu ruangan yang digunakan untuk melakukan operasi dibuka. Estu dan Ratih segera berdiri. Pria itu berjalan cepat menuju ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. Namun, saat Estu pikir bahwa semuanya sudah berjalan dengan lancar, nyatanya takdir berkata lain. Dia membeku di tempatnya berdiri dengan telinga berdengung.

"Maaf, Bu Alya tidak bisa kami selamatkan, beliau mengalami pendarahan yang hebat dan kondisi tubuhnya sudah sangat lemah saat sampai di rumah sakit."

Bagai di hantam godam berukuran besar, jantung Estu terasa melorot sampai ke atas lantai. Kakinya yang semula berdiri tegak tiba-tiba terasa lemas dan tidak memiliki tenaga untuk menopang tubuhnya sendiri. Jerit tangis Ratih yang tedengar olehnya semakin menambah kehampaan yang ia rasakan saat tahu bahwa Alya, istrinya tercinta, telah pergi untuk selama-lamanya membawa semua kenangan manis mereka berdua.

"Bu Alya, Ya Tuhan, Ibuuu!" jeritan Ratih masih terdengar bergaung di telinga pria yang kini menatap nanar ruangan yang sudah terbuka lebar di depannya.

Dua orang perawat nampak menghampiri Ratih dan mencoba menenangkannya. Alya sudah seperti saudara perempuan bagi Ratih. Wanita itu selalu bersikap baik padanya. Alya bahkan beberapa kali membelikannya baju yang bagus dan juga elegan. Rasanya Ratih sedang mengalami mimpi buruk. Alya, wanita itu seperti tidak benar-benar pergi.

Sementara Estu, pria itu seperti lupa bagaimana caranya melangkah dengan kedua kakinya. Dia meneguk ludahnya dengan susah payah. Duka itu pada akhirnya datang kepadanya disaat dia sedang berharap pada kehidupan baru yang akan muncul di dalam keluarga kecilnya bersama dengan Alya. Semuanya terenggut dengan sangat cepat dari dirinya.

Sebelum Estu sempat mengucapkan terima kasih kepada Alya, wanita itu memilih pergi lebih dulu tanpa kata pamit. Estu merasa dunianya runtuh seketika. Suara debuman membuatnya tersadar bahwa dia harus menemui istrinya yang sudah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit. Dia menoleh ke belakang, Ratih nampak jatuh tak sadarkan diri dan kedua perawat wanita itu nampak kewalahan mengatasinya.

Estu kemudian memberanikan diri melangkah masuk ke dalam ruangan yang terasa sangat dingin itu. Dia membayangkan Alya berada di dalam sana dan berjuang melahirkan anak pertama mereka. Seharusnya hari itu menjadi hari yang sangat bahagia untuk Estu. Tapi, entah apa yang ia rasakan sekarang. Anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki baru saja terlahir ke dunia dengan selamat.

Estu meneguk ludahnya dengan susah payah saat matanya menangkap Cakra, adik laki-laki Alya, sedang mengelus kening kakaknya yang telah tiada dengan derai air mata dan isakan yang menyayat hati. Cakra adalah adik satu-satunya Alya. Dia menjadi kesayangan Alya dan Cakra selalu berada di baris paling depan jika terjadi sesuatu kepada kakak perempuannya itu.

Mata Estu memerah menahan tangisnya. Dia mendekati adik laki-laki Alya. Estu berdiri di sisi kiri ranjang rumah sakit. Dia menatap nanar pada wajah pucat milik istrinya. Bahkan untuk meneguk ludah saja dia sudah tidak sanggup lagi. Wajah Alya nampak damai. Memandang wajah Alya yang sudah tak bernyawa membuat Estu seperti kehilangan separuh kesadarannya.

Rasanya dadanya benar-benar sesak. Estu belum menangis. Dia menahan diri untuk tidak menangis di depan Alya. Dia ingat bahwa sang istri pernah berkata bahwa dia sangat tidak suka melihat Estu menangis. Dia ingin selalu melihat senyuman yang membuat wajah Estu terlihat semakin tampan itu. Bahkan Alya meminta secara khusus kepada Estu, pria itu harus terus tersenyum apapun yang terjadi.

Bibir Estu bergetar hebat. Hatinya seperti sedang diiris-iris. "Sayang," gumamnya pelan.

Dia membungkukkan tubuhnya dan menatap wajah istrinya yang nampak damai dalam tidur panjangnya. "Hei, aku datang, anak kita seorang laki-laki tangguh. Kenapa kamu malah tidur, hm? Apa kamu nggak mau lihat putra kita? Dia pasti ganteng banget kayak aku," ucap Estu sembari tersenyum pilu.

Cakra mendengar celotehan kakak iparnya dengan hati yang sudah tidak berbentuk lagi. Dia kemudian mengusap air matanya dan menahan isakannya. Dia ingin memberikan ruang bagi Estu. Pria itu nampak benar-benar hancur. Separuh jiwanya, ah tidak, sepertinya Alya lebih mirip hidup Estu sepenuhnya. Karena tanpa Alya, Estu merasa mati meski ia masih hidup.

Estu membelai wajah Alya dengan pelan. Dia mengecup kening wanita itu dengan penuh perasaan. Kemudian, tangisnya pecah seketika. Estu memang hanyalah pria biasa yang juga bisa menangis. Dia menumpahkan semua rasa kehilangannya di sana. Tangisannya terdengar menyesakkan dada. Estu tidak pernah siap dengan keadaan seperti ini. Ketakutan terbesar di dalam hidupnya benar-benar terjadi.

"Gimana aku harus hidup setelah ini, Sayang?" tanyanya pada tubuh tak bernyawa di hadapannya itu.

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang