Hidup Harus Tetap Berjalan

4K 272 2
                                    

Jangan lupa follow dan tinggalkan jejak kalian! :)

Happy weekend!

XOXO

_______________________________________________________________________________

"Gue baru aja berhenti dari kerjaan gue," ucap Mita dengan senyuman kecilnya.

"Kenapa?" tanya Estu.

"Kontrak kerja gue di sekolah nggak diperpanjang. Kayaknya pekerjaan di bidang admin bakal diserahkan ke guru-guru secara bergantian. Mungkin buat menghemat biaya tenaga kerja." Gadis itu mengangkat bahunya pelan.

Estu terdiam sejenak. Pengalaman kerja gadis itu sebelumnya di sebuah sekolah kelompok belajar dan taman kanak-kanak sebagai admin. Estu berpikir sejenak, menitipkan Tala pada orang yang tidak memiliki pengalaman di bidang pengasuhan anak membuatnya sedikit ragu. Tapi mengingat ibunya yang semakin menurun kesehatannya membuatnya harus secepatnya menemukan seorang pengasuh.

Pekerjaannya yang cukup sibuk membuatnya harus meluangkan waktu khusus untuk mencari kandidat pengasuh Tala. Ibunya sepertinya sudah sangat ingin kembali ke Yogyakarta. Mungkin karena tubuhnya sudah tidak sekuat dulu jadi ibunya sering merasa keteteran dan kelelahan menjaga anak berusia tiga tahun tersebut jika Estu lembur sampai malam.

"Apa lo mau kerja sama gue?" tanya Estu dengan wajah serius.

Mita menatap Estu dengan pandangan ragu-ragu. "Ma- maksud lo?" tanyanya dengan sedikit takut.

Estu sepertinya paham apa yang sedang dipikirkan oleh Mita. "Tenang! Gue adalah orang baik. Gue nggak akan mempekerjakan lo sebagai wanita penghibur atau bahkan menjual lo. Gue butuh seorang pengasuh buat anak berusia tiga tahun. Mungkin lo bersedia?" ucapnya.

Estu mengeluarkan kartu nama dari dalam tas ranselnya dan segera memberikannya pada Mita sebelum gadis itu menjawab. Mita mengerjapkan matanya saat bus yang ditunggu oleh Estu berhenti di depan mereka.

"Hubungi gue kalau lo bersedia," ucap Estu.

Pria itu melangkah pergi dari sana dan masuk ke dalam bus meninggalkan Mita yang menatap tak percaya pada kartu nama di tangannya.

"Estu Dewandaru. Jabatannya adalah seorang manajer sales and marketing," gumam Mita dengan tak percaya. "Apa dia orang kaya? Tapi kenapa dia nggak pakai mobil?" Mita kemudian mengangkat bahunya dan menyimpan kartu nama itu ke dalam tasnya.

Gadis itu segera pulang ke rumahnya saat bus yang ia tunggu sudah tiba. Dia terpaksa menggunakan alat transportasi umum karena motor yang biasa ia pakai sedang bermasalah. Motor peninggalan ayahnya, motor matic dengan model lama. Setidaknya Mita tidak perlu membeli motor baru untuk alat transportasinya.

Sampai di rumahnya yang sederhana, gadis itu segera menuju ke kamar ibunya. Dia membuka pintu kamar di depannya dengan perlahan supaya tidak mengejutkan sang ibu. Mita menghela napas dalam saat tahu ibunya sedang tertidur pulas padahal jam sudah menunjukkan pukul enam sore.

Gadis itu berjalan mendekati ranjang dan duduk di samping tubuh sang ibu. Novia nampak tertidur pulas dengan napasnya yang teratur. Mita kemudian menggoyangkan tubuh Novia dengan perlahan.

"Ibu, udah jam enam sore, ayo bangun!" ucap Mita.

Novia yang tubuhnya memang semakin kurus karena penyakitnya mulai memaksa matanya untuk terbuka. "Oh, kamu sudah pulang? Ibu akan masak makanan buat kamu," ucapnya sembari berusaha bangkit dari atas ranjang.

"Ibu nggak perlu masak, aku yang akan masak hari ini, Bu." Gadis itu mencegah ibunya yang hendak beranjak dari ranjangnya. "Ibu sebaiknya mandi aja pakai air hangat yang ada di termos. Aku akan masak makanan yang enak buat kita malam ini," gadis itu menyunggingkan senyumnya lebar.

Novia terlihat duduk sambil mengerutkan keningnya. Kepalanya terasa cukup nyeri dan tubuhnya rasanya sangat lelah hari itu. Wanita itu menatap putrinya dengan ekspresi yang berubah senang hanya dalam waktu singkat.

"Apa kamu dapat bonus dari kantormu? Atau kamu naik jabatan jadi seorang guru sekarang?" tanya Novia dengan wajah cerah.

Senyuman di wajah Mita berangsur-angsur hilang. Dia meneguk ludahnya dengan susah payah. Ibunya salah menerka. Mita terdiam sebentar sambil menatap mata berbinar sang ibu. Rasanya dia tidak tega mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Gadis itu kembali mencoba tersenyum meski hatinya terasa perih.

"Aku..."

"Kontrakku nggak diperpanjang, Ibu," batin gadis itu.

"Aku baru aja dapat pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih bagus, Ibu. Karena itu aku mau masak makanan yang enak untuk kita malam ini," jawab gadis itu pada akhirnya.

"Syukurlah, Nak! Semoga pintu rezekimu akan semakin terbuka lebar," ucap Novia dengan senyuman penuh haru.

Novia kemudian hendak turun dari ranjang dan Mita buru-buru berdiri untuk membantu ibunya. "Sekarang, Ibu sebaiknya cepat pergi mandi sebelum hari semakin malam. Udaranya dingin banget karena hujan baru aja berhenti, Bu," katanya.

Novia mengangguk dan segera berjalan dengan pelan menuju ke kamar mandi yang ada di rumah itu. Mita menatap punggung sang ibu yang kemudian menghilang melalui pintu kamar. Dia meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia pikir, dia sudah mulai memperbaiki karirnya dengan menjadi seorang admin di sebuah sekolah. Tapi kini ia harus kembali menelan pil pahit saat kontraknya tidak diperpanjang oleh pihak yayasan dan mengharuskannya kehilangan pekerjaannya.

Padahal ada banyak keinginan yang belum terwujud. Dia sedang menabung untuk merenovasi rumah mereka dan juga Mita ingin sekali mengenyam bangku kuliah. Dia belum pernah mendapatkannya bahkan hingga usianya sudah menginjak dua puluh lima tahun di tahun ini. Rasanya dia belum juga bisa membuat bangga ibunya.

Dia sedih karena harus berhenti bekerja hari itu. Gajinya lebih banyak dibandingkan saat dia bekerja di sebuah restoran yang tidak jauh dari rumahnya dan juga saat ia menjadi seorang pengasuh anak selama empat bulan, tapi sayang sekali, pihak yayasan hanya bisa mempertahankan dirinya selama tiga tahun. Kini Mita hanya bisa pasrah. Bagaimanapun juga dia harus tetap bekerja untuk biaya pengobatan sang ibu dan juga biaya hidup mereka berdua.

Tidak ada pilihan lain, dia mengambil kartu nama yang diberikan oleh pria asing saat dia menunggu bus di halte tadi sore. "Nggak ada yang tahu jalan hidup manusia, mungkin nggak ada salahnya kalau gue mencobanya," ucapnya pelan.

Mita kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ponsel yang ia beli seharga satu jutaan itu terlihat tidak secanggih ponsel yang dipakai oleh teman-temannya. Dia segera mengetikkan sebuah pesan untuk Estu.

"Selamat malam, Pak Estu. Maaf karena sudah mengganggu waktu Bapak, saya Mita yang bertemu dengan Bapak di halte bus tadi sore. Saya ingin mencoba mengambil kesempatan untuk menjadi pengasuh anak berusia tiga tahun itu, kira-kira kapan saya bisa menyerahkan data diri saya kepada Bapak?"

Mita menghela napas panjang dan segera menekan tombol kirim di layar ponselnya. Dia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan segera pergi ke dapur. Dia harus segera memasak untuk makan malam. Ibunya akan segera selesai mandi. Mita tidak bisa terus berdiam diri saat dia sedang sedih atau kehilangan sesuatu, seperti yang biasa ia dengar dari curhatan teman-temannya.

Mereka biasanya akan pergi berlibur atau menenangkan diri di kamar sampai perasaan mereka membaik. Tapi Mita bertanggung jawab atas ibunya, dia tidak bisa melakukan hal yang biasa dilakukan oleh teman-temannya itu. Baginya, hidup harus terus berjalan, meski ia sedang sakit, sedih, bahagia atau sial, Mita tidak bisa berhenti begitu saja dan membuang waktunya untuk berdiam diri. Waktu adalah uang baginya, untuk ibu dan untuk dirinya, dia harus tetap berjuang meski ia juga sering merasakan lelah.

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang