Restu Ibu

1.6K 136 2
                                    

Haloooo! Apa kabar? :)

Maaf, ya! Kemarin liburan saya nggak sempat update kisah Asmita dan Mas Estu.

Semoga kalian dengan chapter kali ini.

Dan jangan lupa seperti biasa, usahakan follow dulu supaya saya semakin bersemangat.

Tekan vote dan boleh banget kalau kalian  mau comment kasih saran yang membangun, saya akan sangat senang menerimanya.

Enjoy this part ~

_______________________________________________________________________________

"Lo mau kawin?!"

Mita melebarkan matanya dan segera beranjak dari duduknya. Gadis itu membekap mulut Julian yang baru saja bersuara dengan lantang. Mita menoleh ke kanan dan ke kiri. Beberapa pengunjung warung bakso yang sedang mereka singgahi kini menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Hanya beberapa saat saja tapi hal itu berhasil membuat Mita merasa malu.

"Kenapa harus teriak, sih?" bisik Mita dengan tatapan tajamnya.

Julian mengerutkan dahi saat melihat bagaimana mata Mita seperti hendak loncat keluar dari rongganya. Dan setelah Mita melepaskan tangannya, Julian baru kembali bersuara. Kali ini dia menurunkan nada bicaranya supaya Mita tidak kembali melotot kepadanya.

"Gue kaget. Kenapa tiba-tiba lo mau kawin? Siapa cowoknya?" Julian menatap Mita dengan wajah serius.

Mita menghela napas dalam. "Dia..." Mita menggigit bibirnya sejenak sambil berpikir apakah dia harus membuka rahasianya selama ini kepada Julian atau tidak. "Dia..."

"Dia siapa, Mita? Kenapa lama banget jawabnya?" Julian menyela dengan tidak sabar. "Atau..." Tiba-tiba mata pria di depan Mita itu memicing. "Lo sebenarnya nggak cinta sama dia? Lo dipaksa kawin apa gimana?" Julian kini bersedekap dan wajahnya jelas sekali menyiratkan bahwa dia sedang curiga.

"Gue cinta sama dia!" jawab Mita dengan wajah meyakinkan.

"Hanya..." Julian menyambung kalimat Mita dan menanti ucapan gadis itu selanjutnya.

Mita menurunkan kedua bahunya. "Kami belum lama saling mengenal dan dia seorang duda." Mita menurunkan nada bicaranya hingga nyaris seperti berbisik di akhir kalimatnya.

Julian masih dapat mendengarnya dengan baik dan pria itu sontak maju ke depan dengan wajah kagetnya dan untuk yang kedua kalinya Mita membuat jantungnya hampir jatuh ke lantai.

"Lo udah gila? Duda?" Julian menggelengkan kepalanya dengan wajah shock.

"Gue udah mulai jatuh cinta sama dia, Juli. Tapi..." Mita menelan ludahnya dengan berbagai perasaan yang kini bercampur menjadi satu. "Gue ragu kalau dia juga bakal jatuh cinta sama gue," lanjut gadis itu dengan wajah menunduk.

"Lo udah tahu dia duda dan lo mau nikah sama dia aja udah aneh, Mimit!" Julian gemas dengan sahabatnya itu. "Lo masih muda, kenapa nggak nyari cowok lain? Dan gue tebak yang paling bikin semuanya semakin rumit adalah dia udah beranak?" tebak Julian dengan wajah kesal.

Mita membuang napas pelan dan mengangguk. "Ya, dia memang duda dengan satu anak. Kira-kira ibu gue bisa terima pernikahan kami nggak, ya?" Kini hal yang ada di dalam benaknya akhirnya keluar juga.

Setelah kejadian di malam itu, di mana Estu mencoba menenangkannya, Mita tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pagi harinya, Mita meminta supaya Estu memberikan waktu untuknya berbicara dengan ibunya. Dan setelahnya, Estu baru boleh menemui calon ibu mertuanya jika memang sudah ada restu untuk mereka berdua.

Semuanya serba cepat bahkan sudah lima hari Mita belum juga bisa mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan ibunya. Dan Mita sadar, bahwa keberaniannya tidaklah besar. Dia takut kalau ibunya akan kecewa atau bahkan marah jika tahu dia akan menikah dengan seorang duda yang memiliki satu anak.

"Lo nggak mikir hal itu sebelum kalian memutuskan akan menikah? Gue baru tahu kalau lo nggak terlalu pintar dalam hal cinta." Julian menghela napas berat. "Ibu lo jelas kaget, sama kayak gue. Tapi kalau gue bisa kasih saran, sebaiknya lo meyakinkan diri lebih dulu dengan status pria itu sebelum akhirnya lo bilang ke ibu lo. Karena kalau lo sendiri kurang yakin, gimana ibu lo mau kasih restu?" Julian menaikkan satu alisnya tinggi.

Kalimat Julian terngiang di kepala Mita sampai gadis itu tiba di rumahnya. Novia yang sepertinya tahu bahwa ada sesuatu yang kini mengganggu pikiran putrinya memilih mendekat dan duduk di pinggir ranjang tempat Mita meringkuk seperti bayi. Tidak biasanya gadis itu akan mengunci diri di kamar seperti itu.

"Ada apa?" tanya Novia yang berhasil membuat Mita menoleh kepada sang ibu.

Mita beranjak duduk dan menatap sang ibu dengan wajah bimbang. "Sebenarnya ada yang ingin aku omongin ke Ibu," ucap gadis itu.

"Apa? Ngomong aja, Ibu bakal dengerin kamu." Novia mengulas senyum hangat.

Mita tersenyum tipis. Ada sedikit rasa lega melihat senyuman ibunya. Hal sederhana yang selama ini jarang ia syukuri adalah rasa nyaman yang hadir di dalam relung jiwa ketika ibunya tersenyum seperti itu.

"Apa aku boleh nikah dalam waktu dekat?" tanya Mita dengan nada hati-hati.

"Kenapa mendadak? Apa kamu hamil?" Novia mengerutkan keningnya dalam.

Senyuman yang semula terpatri di wajah tuanya kini menghilang dan berganti dengan raut cemas yang bisa Mita lihat dengan sangat jelas.

Mita menggelengkan kepalanya. "Enggak, Bu. Aku nggak segila itu," jawab gadis itu. "Ibu ingat Mas Estu yang kemarin ke sini jemput Mita?" tanyanya.

Novia mengangguk. "Iya, Ibu jelas masih ingat. Apa kamu benar-benar yakin mau menikah dengan Estu?"

Mita diam sejenak. Dia mengamati wajah sang ibu yang terlihat kurus dan sayu. Sejak sakit itu datang, tubuh Novia memang semakin kurus saja. Mita tidak bisa berbuat banyak selain terus bekerja tanpa mengenal lelah dan juga merawat sang ibu dengan baik. Tapi kini, dia harus datang dengan kabar yang pasti membuat Novia terkejut.

"Aku ragu, Bu. Tapi keraguanku karena aku belum tahu apa Ibu merestui kami atau enggak. Bukan karena aku nggak cinta sama Mas Estu," ucap gadis itu.

Novia menghela napas. "Lalu, kenapa pernikahannya mendadak? Apa yang membuat kalian harus tergesa-gesa menikah seperti ini? Apa kamu nggak ingin melanjutkan kuliah yang udah lama tertunda?" tanya Novia lebih jauh.

Mita semakin berat saja saat hendak mengeluarkan suaranya mengenai status Estu dan apa yang ia simpan selama ini. Dia mengusap tengkuknya pelan. Terbiasa hidup sebagai seorang gadis mandiri tanpa pasangan dan menghabiskan waktu untuk bekerja serta fokus dengan sang ibu membuatnya kesulitan mengatakan rencana besar apa yang kini ada di depan matanya.

"Mas Estu udah bukan anak muda lagi kayak Mita, Bu. Ibu Mas Estu dan Mas Estu sendiri ingin supaya pernikahan ini segera terlaksana. Mas Estu butuh sosok istri yang mendampinginya," ucap Mita.

"Ibu paham." Novia kemudian kembali menyunggingkan senyumnya supaya suasana tidak nyaman yang mereka berdua rasakan segera sirna. "Kalau Ibu lihat, Estu kelihatan masih muda, kok." Novia terkekeh.

"Tapi Mas Estu..." Mita menelan ludah. "Mas Estu udah pernah... nikah sebelumnya, Bu." Mita bisa melihat perubahan wajah Novia.

"Dia... seorang duda?" tanya Novia.

Mita mengangguk pelan. "Ya, Mas Estu adalah seorang duda," katanya. "Mas Estu juga udah punya satu anak, Bu," lanjutnya dengan nada pelan.

Novia diam selama beberapa saat. Dia mengamati wajah sang putri demi mencari sebuah kebohongan di sana. Tapi wajah Mita terlihat sangat serius dan gadis itu jelas dalam kebimbangan besar.

"Bawa Estu ke rumah. Ibu perlu bicara sama dia sebelum Ibu memutuskan akan merestui hubungan kalian atau enggak." Setelah mengatakan hal itu, Novia mengelus lengan Mita pelan dan beranjak berdiri.

Novia pergi keluar kamar meninggalkan Mita yang kini merasa ingin menangis saja. Mata gadis itu bahkan sudah memerah.

"Mati gue!" 

Seluas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang