Sungguh aku tidak tahu mengapa bisa Beatrice datang ke sini. Padahal acara minum teh sore ini hanya antara aku dan Raicia seperti janji kami. Ya, tapi mau bagaimana lagi. Beatrice datang dan kami terpaksa menerimanya.
"Raicia, tadi aku bertanding dengan kakakmu. Tebak siapa yang menang? Haha!" Suara Beatrice mengalihkan pandanganku.
Jawabannya jelas Beatrice. Ini dialog yang sama di bab ketiga. Padahal aku berharap ada perubahan ternyata ada yang tidak. Tapi, aku yakin, sangat yakin jika bisa membuat Damiane beralih hati.
"Yang Mulia pasti pemenangnya," ujar Raicia yakin. Yah, pasti Raicia tahu jika Beatrice selalu jadi penenang. Selalu.
Adegan selanjutnya adalah ... kedatangan Damiane dan menanyakan kabar Beatrice.
"Kau di sini? Apa dia sudah tidak dingin lagi?"
Aku menoleh kaget. Suara bariton Damiane begitu dekat. Aku menoleh ke arah kanan. Mendapati Damiane dengan wajah tampan tak terbilang. Dia menatapku penuh selidik. Kemudian refleks aku menjauh.
Rasanya gugup saat mataku bertubruk dengan netra emerald Damiane.
"Aku sudah lebih baik."
Kemudian pria itu mengambil cangkir teh ku dan menatap benda tersebut cukup lama.
"Sudah dipastikan dia bisa meminum ini?"
"Sudah."
Raicia menjawab cepat. Aku bisa menyebut ini perhatian karena bibit cinta atau perhatian kepada tawanan berharga?
Tidak tahu jawaban pastinya. Yang kutahu saat ini wajah Beatrice berubah tak nyaman.
"Yang Mulia, apa tehnya enak?" Aku mencoba mengajaknya bicara. Menyelamatkan suasana canggung yang mungkin hanya dirasakan eh sang putri seorang.
"Yah, ini enak sekali."
"Baguslah jika Anda menyukainya."
Aku tersenyum kaku. Kemudian Damiane yang diam di sisi kanan menarik kursi dan duduk di sebelahku. "Setelah ini masuklah ke kamar."
Damiane berkata demikian. Aku menatapnya kemudian mengalihkan pandangan. Tak nyaman ada di antara Beatrice dan Damiane yang kutahu ada yang tidak beres. Aku dan Raicia entah mengapa saling pandang. Tanpa aba-aba, seolah mengerti dan kami beranjak bersamaan.
"Aku ingin berkeliling," ujarku.
"Akan kutemani."
Bodoh memang, niat ingin meluluhkan tapi malah membiarkan Damiane bersama orang yang dicintainya. Tapi, sungguh. Perasaan tak nyaman tadi sangat menyesakkan. Jadi aku memutuskan untuk pergi. Wajar bukan?
Bunga Camelia selalu menjadi yang terindah di mataku. Sejak dulu dan sekarang. Aku tidak menyangka bunga tersebut akan ada di sini. Aku berjongkok untuk melihat bunga tersebut lebih dekat. Indah. Selalu tampak indah.
"Kau menyukai bunga itu?" Raicia ikut duduk dan menata bunga yang sama.
"Heum."
"Tidak disangka seleramu sama seperti ibuku," celetuk Raicia.
Gadis itu menatapku dengan senyuman sendu. "Awalnya aku mengira semua hanya kebetulan. Dari makanan, pakaian, dan sekarang bunga."
"Mungkin kakak juga merasakan hal yang sama."
Ibu mereka. Adellia Amber seorang putri count. Istri dari Duke terdahulu. Seorang perempuan dengan hati lembut yang sayangnya meninggal saat kedua anaknya masih sangat muda. Itu karena sebuah penyakit. Tubuhnya memang lemah sejak awal. Itu yang tertulis di buku. Dan hanya itu yang aku tahu.
"Jadi aku mengingatkanmu padanya?" tanyaku dengan suara ringan.
"Sedikit," tutur Raicia. "Ibuku tidak seaneh dan asal bicara sepertimu."
Aku tertawa. "Berarti kau mirip ayahmu ya? Karena jika ibumu tidak suka asal bicara. Dan kau suka. Berarti ayahmu begitu?"
"Heum! Kurang lebih seperti itu."
Raicia memetik bunga Camelia. Beberapa saja. "Mau meletakkan bunga ini di kamarmu?" tanya Raicia dengan senyuman paling manis yang pernah aku lihat. Aku mengangguk lembut. Menerima bunga tersebut dan membalas senyuman itu.
"Terima kasih."
"Ayo, masuk! Kau harus istirahat lagi."
"Baiklah."
Raicia. Mungkin salah satu yang baik di sini. Aku senang bisa dekat dengannya sebagai jalan untuk bertahan hidup.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
DO YOU HATE ME DUKE? [SELESAI]
Fantasy*Bukan Novel Terjemahan* *Karya orisinil* *Yang plagiat bisulan lima tahun* [29/12/22 (2# in Atagonis)] [30/12/22 (#9 in Fantasi)] [30/12/22 (#1 in Tragedi)] [31/12/22 (#2 in fantasi)] [31/12/22 (#1 in Putri)] [1/1/23 (#1 in Duke)] [1/1/23...