Keputusan

42.1K 4K 41
                                    


"Kau ingin tetap di sini atau keluar dari sini?"

Airlea diam mendengarkan pertanyaan itu. Menatap Rommy yang menanti jawabannya. Jemari Airlea saling bertaut, perempuan itu sudah memutuskan tetapi masih belum yakin.

Mendadak pintu terbuka. Ash dan Rysh masuk ke dalam kamar. Seketika itu Airlea semakin yakin dengan keputusannya.

"Kau pernah bilang jika tidak baik terjebak di kegelapan dendam dan kesedihan terlalu lama. Rommy, sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan," ujar Airlea.

Dia menggerakkan tangan seolah memanggil dua putranya yang hanya diam di ambang pintu. "Bawalah mereka bersamamu," ujar Airlea sembari mengusap puncak kepala kedua putranya. Ash dan Rysh kaget, keduanya menatap sang ibu dengan wajah tak terima.

"Lalu bagaimana dengan Ibu?!" Ash meninggikan suaranya karena tidak senang mendengar keputusan ibunya.

"Ash, kalaupun Ibu ikut dengan kalian, akan sulit untuk Ibu kalau semua yang ada di sini belum selesai," tutur Airlea. Dia menatap Rommy yang sejak tadi menatap ke arahnya dengan senyuman seperti biasa. Rommy kemudian mengusap puncak kepala Airlea.

"Semoga kau bisa menyelesaikan segalanya. Cepatlah pulih dari luka itu," ucap Rommy yang jelas memiliki arti mendalam. Airlea membalas senyuman itu.

"Tapi kalian tidak akan kabur, kalian akan pergi dengan baik-baik. Dengan izin Damiane," tutur Airlea kemudian yang membuat tiga orang lak-laki di hadapannya terkejut.

***

Di ruang kamar Airlea sudah berkumpul Damiane, Rommy. Mereka memutuskan untuk menyelesaikan semuanya bersama di ruang Airlea, sebab keadaan Airlea yang belum bisa bergerak lebih.

Ya, sebenarnya Airlea bisa saja hanya ... dua orang yang ada di hadapannya sekarang ini yang melarang dan lebih memilih berdiskusi di sini.

"Jadi, kau memanggilku untuk meminta Rommy membawa mereka pergi?" tanya Damiane setelah Airlea menjelaskan permintaannya.

"Masalahmu hanya ada padaku, selesaikan saja hanya dengan aku di sini. Tanpa melibatkan Ash dan Rysh," tegas Airlea.

Damiane menatap Rommy yang hanya membalas tatapan itu dengan senyuman khasnya. Damiane menghela napas kasar setelahnya. Dia duduk di dekat ranjang Airlea sembari memijat pelipis kepalanya. Padahal dia melakukan ini juga untuk bisa dekat dengan anak-anak itu.

"Baiklah," ucap Damiane dengan suara berat. Pria itu menggenggamnya jemarinya erat. Matanya terpejam kemudian, mengatur napas. Semuanya sudah rusak, ikuti alurnya jika ingin memperbaiki segalanya, begitulah yang ada dipikiran Damiane.

***

Kereta kuda sudah disiapkan oleh Damiane untuk kepergian Rysh, Ash, dan Rommy. Hanya kereta kuda, sebab disaat Damiane ingin memberikan sebuah tempat tinggal untuk ketiganya Airlea menolak.

Siang yang terik hari itu, setelah diskusi yang singkat dan cepat, Ash dan Rysh akan pergi meninggalkan kediaman Duke Alverd.

"Ibu harus sehat, jangan bertengkar lebih dengan Duke Alverd. Jika sesuatu terjadi pada Ibu katakan pada kami, segera kirim tanda. Aku tidak akan membiarkan dia lolos," tutur Rysh panjang lebar. Mendengar kalimat itu dari anak berusia sembilan tahun rasanya sangat menggelikan dan aneh. Airlea tertawa kecil, seraya mengusap puncak kepala Rysh. Begitu juga yang ia lakukan pada Ash yang sejak tadi hanya diam tetapi netra emerald anak itu terus berkata sesuatu setiap melihat sang ibu.

"Aku harap semuanya baik-baik, saja," ujar Ash dengan suaranya yang lirih saat memeluk sang ibu.

Airlea mengecup kening Ash. "Ibu berjanji akan segera menemui kalian," ucapnya.

Ash dan Rysh memasuki kereta kuda bersamaan dengan Rommy. Mereka langsung berlalu pergi dari kediaman Duke Alverd. Menyisakan Airlea, dan orang-orang Damiane yang mengantarkan kepergian mereka siang itu.

***

Sembilan tahun kehidupan Airlea dihiasi oleh tawa dan perbincangan aneh dari Ash dan Rysh, tetapi hari itu baru sehari setelah kepergian mereka, Airlea merasakan sunyi.

Airlea memilih diam di kamarnya lagi. Duduk di tempat tidur untuk beristirahat.

"Lea?" Suara Raicia terdengar dari balik pintu. Sungguh Airlea belum bisa tenang saat bertemu dengan Raicia, saat melihat wajah perempuan itu, Airlea seperti diperlihatkan bayangan dirinya di masa lalu yang begitu bodoh dan naif.

"Masuklah," balas Airlea dengan suara berat.

Ya, terpaksa harus bertemu, karena bagaimanapun juga cepat atau lambat mereka harus bertemu dan berbicara.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Raicia yang langsung duduk di sisi ranjang sebelah kanan Airlea. Tepat menghadap pintu masuk, membelakangi jendela kamar yang besar.

"Jujur, sebenarnya tidak baik karena ada Yang Mulia Putri Mahkota di sini," balas Airlea sarkas.

Raicia menunduk, dia menatap jemarinya yang terus bergerak gugup. "Maaf, menganggu waktumu," balas Raicia.

"Anda seorang putri Mahkota, bagaimana Anda bisa meminta maaf pada orang kecil seperti saya?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Raicia yang semula menunduk langsung menegakkan kepalanya. Tangan yang semula bergerak gugup langsung meraih tangan dingin Airlea. "Aku tidak senang dengan semua ini Airlea, aku tidak menginginkan panggilan 'putri' darimu. Aku ingin kita seperti dulu," ucap Raicia.

Airlea menarik sudut bibirnya. Tersenyum sinis. Tetapi, perempuan itu membalas genggaman Raicia. "Aku juga, aku juga ingin berdamai dengan semua itu, tetapi tidak secepatnya ini, Yang Mulia. Saya harap Anda memberikan saya waktu," balas Airlea yang setelahnya genggaman itu dilepas.

"Aku mengerti," ucap Raicia. Dia menghapus air matanya dan memeluk Airlea. Tetapi perempuan yang dipeluknya tidak membalas pelukan tersebut. "Setidaknya aku tahu kau akan memaafkan segalanya," ujar Raicia dengan suara lega.

"Tapi, aku takut jika nanti semua ini sandiwara seperti dahulu. Sandiwara untuk membawaku kembali dan membuatku terlena dengan perhatian kalian sebelum kalian membunuhku," lirih Airlea yang sedang dipeluk Raicia.

Sontak Raicia melepaskan pelukannya. Dia menatap Airlea yang tersenyum getir. Air mata Airlea mengalir. "Saya minta Anda keluar, Yang Mulia," pinta Airlea sembari mengalihkan wajahnya, menutupi air mata secepat mungkin.

Ketika itu jantung Airlea berdegup kencang, sangat kencang. Ketakutan itu seperti tsunami yang memporak-porandakan isi kepalanya yang semula tenang. Seketika emosinya begitu tidak baik.

"Aku harap ini yang terbaik," lirih Airlea.

Sesaat kemudian, hadir Raicia seperti sebuah penyesalan yang datang setelah Airlea membuat keputusan untuk menetap di kediaman Alverd ini.

"Ah, cengeng banget, sih! Gini aja nangis," gumam Airlea pada dirinya sembari menghapus kasar air mata yang terus mengalir. "Anjir, kenapa nggak bisa berhenti nangis, sih?!" kesalnya.

Setelah itu Airlea tertegun. Dia menoleh ke arah pintu sudah ada Damiane yang diam dengan wajah bingung. "Hei! Panggilkan Cedric ke sini!" titahnya.

Airlea seketika ciut, tidak tahu apa yang dipikirkan Damiane tentangnya yang terlanjur berbicara dengan bahasa gaul itu pada dirinya sendiri. Ya, memang dulu pernah Damiane mendengar itu, tetapi ini situasinya beda. Bisa-bisa Airlea dikira gila sudah berbicara sendiri dengan bahasa aneh.

'Mampus,' batinnya.

TBC

Gimana part kali ini? Garing ya? Wkwk. Ryry lagi ada masalah, jadi ga mood. Tapi harus tetep nulis.

Makasih udah baca part kali ini dan bersedia vote komen, untuk yang masih sider semoga dibuka hati dan pikirannya, Aamiin. Sehat selalu untuk temen-temen.
Semoga hari senin ini temen-temen ga bernasib sama kayak ryry ya, seninnya jelek.

Luv dari Ryry


DO YOU HATE ME DUKE? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang