Penjara yang gelap dan pengap. Airlea duduk diam di lantai dingin tempat itu. Dengan tangan gemetar membuka kunci pada gelang rahasia. Mengeluarkan satu botol. Ini botol racun sebenarnya. Jelas Airlea tidak menuangkan racun itu, lalu kenapa Beatrice keracunan?
Langkah kaki seseorang mengejutkan Airlea. Damiane yang muncul di tengah kegelapan.
"Damiane sungguh aku tidak melakukan itu! Aku tidak meracuninya!" seru Airlea.
"Tapi Beatrice hampir tiada," balas Damiane.
Seketika Airlea diam. Dia menatap Damiane dengan penuh selidik. Berdiri menghadap sang suami. Airlea meraih tangan Damiane, beruntung posisi mereka tak jauh. "Racun ini, masih di sini Damiane."
Airlea menangis. "Jika memang racun ini yang melukai Beatrice, tidak mungkin dia selamat. Sudah pasti dia akan mati karena satu teguk di detik ketiga saja bisa membunuh. Lantas kenapa dia bisa selamat?"
Airlea terlalu terlena dalam alur baru yang dibuatnya sampai melupakan sesuatu yang penting. Tentang sifat asli Damiane yang paling mendasar. Orang licik yang pandai mempermainkan sandiwara.
"Beatrice tidak keracunan, 'kan? Ini sandiwara kalian. Untuk membalas Hidelgard kalian ingin membunuh putri kesayangan yang berharga untuk mereka, iya bukan?"
Dengan air mata yang terus mengalir Airlea menatap Damiane. Tegas dan penuh kebencian. "Jika kalian memang ingin membunuhku, kenapa tidak di saat pertemuan pertama kita? Seharusnya kau tidak menangkapku, seharusnya kau biarkan aku kehabisan darah saat menyelamatkanmu. Maka tanpa sandiwara dan semua ini, keinginan kalian akan tercapai!"
Perempuan berambut putih itu berjalan mundur. Menuju sudut penjara. "Padahal aku berharap kau datang untuk menyelamatkan aku, haha. Lagi-lagi aku bodoh. Hanya untuk sedikit kasih sayang," lirih Airlea.
Damiane yang ada di luar hanya memperhatikan. Menggenggam botol racun di tangannya.
***
Persidangan, dengan saksi mata palsu yaitu Amber dan juga ksatria penjaga ruang Airlea. Segalanya memberikan kesaksian yang memberatkan Airlea.
"Dengan saksi dan bukti yang ada. Duchess Alverd, Airlea Alverd akan dihukum mati, besok saat fajar menyingsing."
Airlea tersenyum sinis. Menatap Raicia, Yosh, Damiane, Adelia, Federick, dan Beatrice bergantian.
Cail yang duduk di kursi langsung menghampiri Airlea yang dibawa bersama empat ksatria.
"Hei," panggil Cail.
Airlea menoleh dengan wajah pucatnya. Gaun biru muda kesukaan Airlea sudah lusuh sejak tujuh hari yang lalu.
"Bagaimana dengan dia?" tanya Cail melirik perut Airlea yang sekilas terlihat rata. Airlea hanya tersenyum, dia kemudian melirik Damiane dengan ekor mata.
"Tidak masalah, lagipula ini keinginan ayahnya," tutur Airlea dengan senyuman di wajah pucatnya. Senyuman yang seharusnya tidak seperti itu.
Cail menatao Damiane sinis kemudian, usai kepergian Airlea dengan para ksatria.
***
Prang!
Kaca jendela kamar Damiane pecah. Malam ini di kamar Damiane yang sudah berantakan Cail menemuinya.Cail melihat wajah gusar Damiane.
"Pria bodoh, licik, kejam! Padahal dia sudah percaya padamu! Dia menyerahkan segalanya! Cinta, bahkan nyawanya tapi kau mengkhianati adikku! Bajingan kau Damiane!" Cail dengan menggebu-gebu berteriak sembari mencengkeram kerah baju Damiane.
Pria berambut hitam tersebut hanya diam tak merespon. Geram dengan itu Cail memukul wajah tampan Damiane.
"Dia mencintaimu! Aku mengajaknya kabur dari semua huru-hara ini! Tapi dia memilihmu, tapi apa yang didapatkan adikku?! Kau mengkhianatinya, bajingan!"
Cail terus mendesak dan mengguncang tubuh Damiane, sampai kemudian botol racun yang digenggaman Damiane jatuh. Cail yang melihatnya kian memanas.
"Lihat! Lihat sendiri! Kau, kenapa tidak sadar! Padahal semua orang berkata kau adalah orang cerdas. Besok, besok anak itu dihukum mati, seorang anak perempuan, istri dan ibu dari anakmu. Dia, dia hanya ingin kebahagiaan! Sedikit kebahagiaan tapi kau tidak bisa mewujudkan keinginan sederhana itu!"
Sekali lagi Cail menampar wajah Damiane. Kemudian pria itu berdiri dengan napas memburu, dan menghilang dengan sihirnya. Meninggalkan Damiane yang masih diam.
Pria berambut hitam itu hanya diam dengan tatapan kosong. Sampai kemudian dia terduduk di lantai kamar yang berantakan. Tangannya gemetar meraih botol racun.
'Ibu dari anakmu!'
Detik itu juga, air mata Damiane jatuh. Dia menangis di tengah penyesalan yang terlambat. Besok, hanya hitungan waktu.
Segala ingatan tentang Airlea, senyumannya, kebahagiannya, kata-kata manis Airlea, jelas teringat. Bahkan suaranya yang menjelaskan semua tentang alasan dikirimnya dia ke Almer.
"Airlea! Airlea! Maafkan aku," lirih Damiane sembari menghantamkan kepalanya pada lantai. Dengan posisi bersujud. Damiane masih terus menangis dan menghantamkan kepalanya sampai kemudian pria itu tak sadarkan diri.
TBC
Kurang greget ya penyesalannya. ☹️
Ryry ga tega. Padahal Damiane jahat. Tapi Ryry punya rencana lain sebagai penulis takdir mereka hehe. Ryry mau bikin Damiane lebih lebih menderita dengan cara berkelas dan lebih wahh:)
KAMU SEDANG MEMBACA
DO YOU HATE ME DUKE? [SELESAI]
Fantasy*Bukan Novel Terjemahan* *Karya orisinil* *Yang plagiat bisulan lima tahun* [29/12/22 (2# in Atagonis)] [30/12/22 (#9 in Fantasi)] [30/12/22 (#1 in Tragedi)] [31/12/22 (#2 in fantasi)] [31/12/22 (#1 in Putri)] [1/1/23 (#1 in Duke)] [1/1/23...