Sesak di dada dan kegelapan itu berakhir, aku samar melihat sosok di sebelahku, duduk menatap pergerakan dariku dengan sangat teliti."Dia sudah bangun!" sorak seseorang yang langsung heboh. Seketika seluruh pandangan menjadi cerah. Bisa kulihat sosok Beatrice, Raicia, Zann, Yosh, dan Rommy di ruangan itu. Apa? Rommy?
"Hei! Di mana anak-anakku?!" tanyaku yang baru saja bangun sembari menarik kerah kemeja Rommy. Semua orang yang heboh langsung diam melihat apa yang aku lakukan tapi fokusku hanya pada Rommy.
"Me-mereka bersama Damiane."
Mendengar jawaban itu sontak membuatku berdiri langsung dari ranjang. Tetapi Raicia menghadang.
"Kau mau ke mana? Dua minggu tidak sadarkan diri dan kau mau berkeliaran dengan wajah pucat itu?" ucapnya.
Decak sebal langsung mengudara. Aku kembali duduk. "Panggil dokter, aku harus segera mendatangi mereka," ucapku.
Seorang dokter datang tak lama kemudian bersama Yosh. Ya, saat setelah kehebohan tadi Yosh sempat pergi. Jadi, dia memanggil dokter ternyata.
"Suhu tubuh Anda sudah mulai meningkat, perbanyak meminum minuman hangat," ujar Cedric.
Aku hanya mengangguk. Seberapa buruk keadaanku hingga aku tidak sadarkan diri selama dua minggu?
Padahal sebelum ini tidak pernah, sembilan tahun aku pergi biasanya sakit itu bisa reda dengan obat pereda nyeri atau biasanya hanya sehari pingsan. Tapi ini dua minggu? Wah, apakah racun itu mulai meluap karena lama tidak kambuh begitu parah? Untung aku tidak mati.Setelah serangkaian pemeriksaan aku memutuskan pergi, ternyata Damiane bahkan dua putraku tidak mendengar kabar apapun tentang sadarnya aku dari pingsan. Ya, wajar. Karena sekarang mereka sedang fokus dengan perbincangan serius yang bahkan tidak menyadari hadirku di perpustakaan ini.
"Ini aneh, padahal Ibu tidak pernah separah itu karena racun es," ucap Ash yang sedang duduk di sebelah kiri Damiane mereka sedang menghadap ke arah jendela.
"Apa jangan-jangan selama ini kau berusaha menyakiti Ibu kami lagi seperti dulu?!" Rysh yang ada di sebelah kanan langsung menuding dan berdiri menghadap Damiane yang otomatis juga menghadap ke arahku yang tengah menonton mereka. "Ibu?"
Refleks Damiane dan Ash menoleh di waktu yang sama. Ah, kuakui mereka berdua yang mirip itu sangat menggemaskan tadi.
"Ibu!" seru Ash dan Rysh. Keduanya berlari memelukku. "Apa Ibu baik-baik, saja? Kenapa Ibu sudah di sini? Kenapa tidak istirahat saja?" Rysh melontarkan banyak pertanyaan sembari mengelilingi tubuhku. Mengecek setiap bagian yang tampak. Menyentuh dahi, tangan dan kaki.
"Tidak ada yang dingin, semua normal," ucapnya setelah selesai.
Aku tertawa geli. Sampai kemudian tanpa sengaja netra emerald Damiane membuatku terpaku. Tatapannya begitu nanar, tetapi siapa peduli. Aku kemudian berjongkok, mengusap wajah kedua putra yang begitu aku rindukan.
"Kalian kenapa ke sini?" tanyaku.
"Ibu kami sedang sakit parah, apa kami tidak boleh datang mengunjunginya?" tanya Ash frontal.
"A-ahaha, tentu boleh. Tapi, Ibu pasti baik-baik, saja. Kalian tidak perlu melakukan perjalanan jauh ke sini," ujarku.
"Tidak parah apa? Kau tidak sadar selama empat belas hari, selama itu tubuhnya sedingin es, dan wajahmu pucat seperti mayat. Apalagi jantungmu sempat tidak terdeteksi, apa kau tahu seberapa takut kami menunggumu sadar?!" Damiane mengucapkan kalimat itu dengan sangat menggebu-gebu. Aku menatapnya dengan datar.
"Jangan bentak, Ibuku. Dasar!" sinis Rysh memukul tangan tegap Damiane yang mengepal.
Damiane terperanjat dan pergi dari perpustakaan sesaat kemudian. Aku menghela napas lega ketika dia pergi.
"Ibu," panggil Ash.
"Hem?" Aku menjawabnya dengan lembut. Kemudian Ash menarik tanganku mendekati kursi di perpustakaan. Kami duduk di sana. "Apa tidak ada penawar untuk sakitmu?" tanya Ash.
Aku tersenyum, mengusap rambut hitam Ash. "Ada, tapi tidak berpengaruh lagi," jawabku.
"Kenapa?" Rysh yang melanjutkan pertanyaan.
"Karena, racun itu berada di jantung Ibu sekarang. Obatnya jadi tidak berpengaruh, mau sebanyak apapun diminum."
Ya, racun es itu sudah sampai ke jangungku. Kondisi ini tidak bisa disembuhkan dengan penawar racun es, mungkin kala itu Federick yang merupakan pahlawan palsu memberiku penawar racun——ya, meskipun dia juga yang memberikan racun itu——tapi terlambat. Pengobatan itu termasuk terlambat karena sudah memasuki jantung. Sekarang sebagian jangungku dikuasai racun es. Jadi, itu sangat sakit dibeberapa kesempatan saat kambuh. Aku memang tidak mati saat itu, tetapi penderitaan karena sakit di bagian jantung ini selama seumur hidup, bukankah lebih buruk daripada kematian?
***
"Ibu, kami bisa tidur denganmu?" tanya Ash.
Aku sedikit kaget, karena sejak usia enam tahun Ash adalah yang pertama memilih tidur sendiri, kemudian Rysh tetapi sekarang anak itu ingin tidur bersamaku? Rasanya, sangat aneh tetapi aku senang. Putraku yang dewasa di usia muda bisa bersikap sedikit kekanakan.
"Baik," ujarku.
"Kami juga!" seru Rysh yang mendadak muncul di ambang pintu. 'Kami' maksudnya ternyata, Damiane?!
"Hah?!" Aku kaget. Sontak berdiri dan menarik Rysh. Padahal jelas anak itu yang paling anti dengan keberadaan Damiane, tetapi malam ini dia mau tidur bersamanya? Yang benar saja. Aku menatap sinis ke arah Damiane yang langsung melirik ke arah lain. Ah! Sebenarnya apa yang terjadi, pelet apa yang sudah dilakukan Damiane?
"Itu tidak bisa, Rysh," tegasku.
"Kenapa? Bukankah Duke Alverd adalah suami Ibu?" tanya Ash. Anak itu memang tidak memanggil Damiane ayah tetapi dia masih bisa mengucapkan jika, 'dia adalah ayahku' dari kalimat itu.
Tidak. Kalau kalian ingin bersama orang itu, pergi ke kamarnya.
Aku ingin berkata seperti itu, tapi bukankah itu hanya akan membawa kekecewaan. Ah, sulit sekali membuat keputusan ini. Aku tidak ingin mengecewakan Ash dan Rysh dengan kalimatku. Tapi, kalau dituruti Damiane itu 'kan ....
"Ash, Rysh, maaf Ibu tidak bisa. Mungkin kalian bisa bersama Ibu malam ini tapi untuk Duke Alverd tidak bisa."
Kalimat itu yang terlintas dan kurasa paling baik. Setelah berucap demikian aku melirik Damiane yang tanpa ekspresi tetapi matanya sarat akan kekecewaan. Aku mengabaikan, menatap Ash dan Rysh yang tersenyum. Tapi, senyuman itu dan netra mereka ... ah.
***
"Ibu peluk aku!" ujar Rysh yang kini tidur di sebelahku. Rysh di sebelah kanan dan Ash di sebelah kiri tepatnya di ujung ranjang sedangkan aku di tengah.
Aku memeluk keduanya. Mereka tidak ingin ada jarak, tadi Rysh dan Ash yang bisanya bersikap dewasa mendadak meminta untuk tidur di sisiku juga, akhirnya keduanya mendapatkan tempat yang sama di sisi berbeda. Lalu ... Damiane dia ada di ranjang yang sama. Di sebelah Rysh. Ah, iya aku bodoh dengan mengizinkan dia untuk tidur bersama setelah apa yang dia lakukan tapi melihat netra yang menyiratkan kekecewaan di mata Rysh dan Ash membuatku tidak tahan dan merasa sedih.
"Selamat tidur!" seru Ash dan Rysh mengecup pipiku dari dua arah.
Aku tertawa geli. "Selamat tidur," balasku.
TBC
Hey, halo!
Apa kabar? Gimana?
Part kali ini mungkin kalian akan bilang. "Karma Damiane mana, Ry?"Ryry rasa, udah. Ryry rasa nanti diceritakan aja. Jujur, Ryry suka bikin tokoh antagonis tapi Ryry suka gatega bikin Karma untuk mereka. Jadi, seringan tuh Ryry buat tokoh antagonis nih tobat, atau mati dengan mudah. Ga bisa bikin orang tersiksa, gatega. Gapapa ya? Toh, nanti kalian tahu Damiane ini seperti apa. Karena ada part 'dia tidak seburuk itu pt.2'
Makasih buat yang udah baca! Yang komen, yang vote, sayang kalian banyak-banyak karena udah ngehargai Ryry sebagai penulis. Lov temen-temen dah!
Nb: Tiati plot twist ntar (eh, iya ga ya?)
KAMU SEDANG MEMBACA
DO YOU HATE ME DUKE? [SELESAI]
Fantasy*Bukan Novel Terjemahan* *Karya orisinil* *Yang plagiat bisulan lima tahun* [29/12/22 (2# in Atagonis)] [30/12/22 (#9 in Fantasi)] [30/12/22 (#1 in Tragedi)] [31/12/22 (#2 in fantasi)] [31/12/22 (#1 in Putri)] [1/1/23 (#1 in Duke)] [1/1/23...