Enam

1.7K 271 200
                                    

Setelah deklarasi perang yang diucapkan Dika, aku jadi tidak berminat untuk pulang ke kost

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah deklarasi perang yang diucapkan Dika, aku jadi tidak berminat untuk pulang ke kost. Aku terdampar di kedai kopinya Aruna dan dengan impulsif memesan satu gelas ice matcha latte dan croissant cokelat. Aku duduk membungkuk. Pipi kananku bersandar pada meja yang kutempati. Seharusnya aku mengkhawatirkan bakteri dan kuman yang ada di permukaannya menempel ke kulit wajahku, tetapi karena suasana hatiku sedang buruk aku tidak memedulikannya.

Aku menatap kosong meja di seberangku sambil mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan. Meja itu kosong. Meskipun tidak melihat secara langsung, aku dapat mendengar notifikasi pesanan dari platform online di meja kasir maupun langkah driver-driver ojol yang berlalu lalang mengambil pesanan. Aruna pun sejak tadi sibuk melayani pelanggan, menelantarkanku sendirian.

Tiba-tiba, muncul wajah seseorang di hadapanku. Jaraknya mungkin sekitar dua puluh senti. Sedekat itu. Aku melotot saking terkejutnya. Dengan segera kutegakkan tubuh. Nyaris saja jantungku berhenti berdetak.

"Astaghfirullah! Zarfan!" protesku sambil menyentuh dada yang bergemuruh.

Pemuda itu kini mengenakan kemeja flanel dan celana jeans gelap. Rupanya, ia membungkuk untuk mengintip wajahku yang tertidur di meja secara menyamping. Zarfan lalu menegakkan tubuh dan duduk di kursi seberangku. "Mukanya kusut amat," ujarnya sambil terkekeh.

"Ngapain di sini?" Aku mengabaikan komentarnya.

"Abis dari biro akademik kampus ngurusin berkas buat S-2, terus pengen es kopi susu, jadi aku ke sini," jawabnya. "Gimana TA kamu, Mik? Di-acc, nggak?"

"Kayaknya Dewa Neptunus nggak mengizinkan aku mengikuti Pra Tugas Akhir dengan tenang!" ocehku pada Zarfan.

Alis Zarfan terangkat satu. Ia membuka mulut, hendak berbicara, kemudian menutup kembali. Tawanya meledak. "Dewa Neptunus apaan?"

"Katanya, ada adik angkatan yang resek," ujar Aruna yang datang ke meja kami sambil meletakkan es kopi susu di atas meja. Kemudian, gadis itu duduk di samping Zarfan. "Buruan, Mik, cerita!"

Zarfan mengambil cup minuman tersebut, menyeruputnya, kemudian bertanya kembali. "Adik angkatan?"

"Namanya Mahardika, angkatan 2019. Gondrong, tinggi. Kalian kenal, nggak?" tanyaku berapi-api.

Zarfan dan Aruna saling pandang dengan raut wajah bingung, setelahnya, mereka melihatku lagi dan menggeleng.

"Jadi, si Mahardika ini ngambil judul hotel bintang empat. Hotel yang dijadiin benchmark juga Grand Atlantica!" seruku.

"Kok bisa?" potong Aruna.

Aku mendesis dan dengan cepat mengarahkan telunjukku ke bibir gadis itu, meskipun tidak bersentuhan. "Diem dulu, jangan dipotong!"

Aruna menggerakan tangannya seolah-olah sedang mengunci rapat mulutnya. Setelah itu, aku kembali bercerita. "Sialnya, data survei kami sama lengkapnya. Di kelas Pra Tugas Akhir kemarin, cuma kami berdua yang judulnya belum di-acc dosen. Pak Rizal nyuruh kami perang data."

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang