"Menurut kamu, dua orang yang udah lama temenan bisa jadi pacar, nggak?"
*****
Menggambar sudah menjadi keseharianku sejak menjadi mahasiswa baru. Nirmana, gambar suasana, perspektif, isometri, semua materi itu kutelan bulat-bulat, kucerna di dalam otak, dan kutuangkan ke atas kertas. Tidak jarang otak dan tanganku lelah di tengah progresnya.
Di mata kuliah tahun pertama, biasanya aku mengedarkan pandangan ke seisi kelas, melihat teman-teman yang asyik menggambar. Ada yang dahinya berkerut, tangannya menopang dagu, atau mengangguk-anggukkan kepala dengan earphone di telinga mereka. Tangan mereka sibuk menorehkan pensil, oil pastel, cat air, hingga drawing marker di atas kertas.
Ada satu mahasiswa yang nyaris tidak diketahui seperti apa karyanya dan bagaimana pula ekspresi wajahnya ketika menggambar.
Cowok itu duduk di meja depanku. Selama menggambar, ia tidak pernah menoleh kanan kiri maupun memutar tubuhnya ke belakang. Aku hanya bisa menatap punggungnya sepanjang kelas. Ketika dosen berpatroli dan melintasi mejanya, mereka selalu menunjukkan ekspresi kagum pada mahakarya cowok itu. Sejak saat itulah aku mulai tertarik pada cowok yang bernama Zarfan itu. Nyaris setiap hari, aku selalu mencuri-curi kesempatan untuk melihat seperti apa karyanya dan bagaimana ekspresi wajahnya ketika menggambar.
Kukira Zarfan tipe anak pendiam dan meminimalisir interaksi sosial, tetapi rupanya tidak. Setelah melewati malam keakraban dan mengobrol pertama kali dengannya, dinding yang membentengi cowok itu berhasil kutembus. Kini, Zarfan sering memutar tubuhnya ke belakang, menengok kertas yang ada di atas mejaku.
Aku meliriknya yang sedang mengamati gambarku. Buru-buru kututup kertas di depanku dengan dua tangan. Namun, tentu saja sia-sia karena kertas itu berukuran A2. Besar sekali. "Belum jadi! Masih jelek! Jangan dilihat!" seruku.
Zarfan memiringkan kepalanya sedikit, sekitar tiga puluh derajat. "Bagus kok, sketsanya."
Aku melirik gambar bangunan yang dibuat Zarfan di mejanya. Dalam waktu singkat, cowok itu bahkan sudah menyelesaikan sketsanya. Aku mencebik. Ada rasa kagum sekaligus iri. Lalu, kufokuskan lagi perhatianku pada bangunan yang kubuat. "Aku ngerasa aneh sama perspektifnya. Menurut kamu gimana, Zar?"
Zarfan memutar kertasku seratus delapan puluh derajat, kemudian mengamatinya. Ia mengambil pensil yang ada di tanganku. Ketika kulit kami bersentuhan, kurasakan tanganku sedikit menghangat. "Boleh aku coret-coret dikit, nggak?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kemudian, Zarfan menorehkan pensil tipis-tipis, menimpa sketsa yang sudah setengah jadi. "Detailnya udah oke, tapi kayaknya kamu salah narik garis perspektif. Gambarnya jadi kelihatan distorsi."
Satu hal yang kusukai dari Zarfan; meskipun cowok itu brilian, ia tidak pernah sembarangan mengoreksi karya seseorang jika tidak diminta. Namun, jika kamu mengalami kesulitan dan bertanya padanya, Zarfan akan dengan senang hati membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan Lulus? [END]
Romance🏆 Spotlight Romance of August 2024 by Romansa Indonesia Walaupun sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, Mika masih sering insecure sama prestasi akademiknya. Hingga suatu hari, prosesi wisuda sahabat karibnya telah mengubah tekad cewek itu. Di awal se...