Pagi-pagi sekali, aku menyalakan laptop dan membuka file Tugas Akhir yang sudah kutelantarkan lebih dari dua minggu. Aplikasi SketchUp di layar menampilkan tembok-tembok bangunan hotel yang seluruhnya masih berwarna putih. Masih sedikit sekali furnitur yang tersusun di sana. Dari total dua belas lantai, bahkan tiga lantai pertama pun belum selesai kudesain, sedangkan sidang kedua tinggal tiga belas hari lagi.
Melihatnya saja membuatku frustrasi setengah mati. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Memang, di sidang kedua, tidak perlu semua area bangunan selesai dibuat dalam bentuk tiga dimensi. Namun, tetap saja aku harus mengejar ketinggalan dan mulai menyusun strategi agar ruangan-ruangan penting bisa selesai didesain di sidang keempat. Beberapa di antaranya adalah semua tipe kamar, lobi, ruang serbaguna, dan restoran. Aku sudah telanjur berjanji dengan Dika dan Pak Rizal untuk bimbingan esok hari. Mau tidak mau, aku harus mulai mengerjakan.
Aku mengusap-usap wajah kasar. Setelah mengingat sisa waktu yang kupunya sebelum sidang kedua, kepalaku dilanda pikiran-pikiran buruk. Apakah aku bisa menampilkan hasil yang layak dengan waktu sesempit ini? Di sidang pertama, banyak sekali target-target yang tidak kucapai, membuat kecewa Pak Rizal dan mengundang hujatan para dosen penguji. Lalu, bagaimana dengan sidang kedua? Tentu target yang harus kucapai pun bertambah dua kali lipat. Mengingat hal itu, minat mengerjakan Tugas Akhir pun menurun drastis.
Aku melirik ponsel yang tergeletak di samping laptop. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi dan kolom notifikasinya kosong. Dua bulan lalu, notifikasi ponselku masih dipenuhi oleh Zarfan. Biasanya, cowok itu akan menanyakan progres Tugas Akhirku dan menawarkan bantuan sebisanya. Ya, itulah yang membuatku tenang setiap kali waktu tenggat semakin dekat. Karena tanpa berusaha keras pun, tugas-tugasku selalu selesai berkat Zarfan.
Namun, kini kami seperti orang asing. Sudah dua bulan kami tidak saling bertukar kabar. Kadang, aku berpikir bahwa menolaknya adalah keputusan yang buruk. Maksudku, inikah balasan yang Zarfan terima setelah membantuku sepanjang semester? Cowok itu bisa saja fokus pada pendaftaran pascasarjananya, atau mencari pekerjaan untuk mengisi kekosongan. Namun, Zarfan lebih memilih untuk membuang-buang waktu berharganya demi seorang cewek yang bahkan tidak tahu caranya berterima kasih.
Ah, mengapa harus aku? Aku tidak pantas menerima semua kebaikannya.
Tiba-tiba, dadaku terasa sesak. Tanpa sadar air mataku menetes. Berminggu-minggu tanpa Zarfan, seperti ada bagian kecil dari diriku yang hilang, sedangkan aku sudah menggenggam bagian kecil itu sejak lima tahun lalu. Berkat hal kecil itu, hari-hariku selalu dihiasi oleh senyuman. Itulah salah satu alasanku untuk bangun di pagi hari dan semangat menjalani siksaan neraka yang dinamakan kuliah.
Namun, kini alasan itu telah lenyap seperti lilin yang dipadamkan. Cahaya di sekitarku pergi, membuat hari-hariku terasa begitu gelap. Untuk kedua kalinya, Zarfan pergi dari hidupku.
Aku memejamkan mata, menarik napas dan membuangnya perlahan. Kuseka air mata di pipi. "Nggak, Mika. Kamu nggak boleh kayak gini terus ...." Aku bermonolog. Ya, aku harus kembali fokus!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan Lulus? [END]
Romance🏆 Spotlight Romance of August 2024 by Romansa Indonesia Walaupun sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, Mika masih sering insecure sama prestasi akademiknya. Hingga suatu hari, prosesi wisuda sahabat karibnya telah mengubah tekad cewek itu. Di awal se...