Dua Puluh Dua

1.1K 186 117
                                    

Ketika seseorang begitu bersinar, jangan lupakan bahwa bayangan mereka pun akan semakin pekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika seseorang begitu bersinar, jangan lupakan bahwa bayangan mereka pun akan semakin pekat

*****

Aku berjalan mengekori Zarfan keluar dari gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain, melewati Jalan IV menuju ke arah Kafetaria. Sepanjang jalan aku hanya menatap punggung cowok itu. Gedung di kanan kiri kami sepi. Mungkin karena di jurusan lain kegiatan belajar mengajar masih berlangsung. Bohong jika aku tidak penasaran untuk siapa buket bunga kertas yang dibawanya. Lalu, setelah tiga minggu tanpa kabar, untuk apa cowok itu menemuiku di kampus? Terlebih lagi setelah sidang Pra Tugas Akhir?

Dugaanku salah. Rupanya, Zarfan tidak mengajakku ke Kafetaria, melainkan sebuah taman kecil yang terletak di depannya. Tidak ada siapa pun di lahan sebesar 5 x 5 meter itu. Kafetaria pun tidak sepadat di saat-saat jam makan siang. Cowok itu duduk di salah satu bangku taman, lalu aku pun mengambil posisi untuk duduk di sampingnya.

Hening cukup lama sebelum Zarfan menyerahkan buket bunga kertas yang ada di tangannya. "Selamat ya, Mik, udah lulus Pra Tugas Akhir."

Aku terkekeh. "Aku belum kasih tau kamu nilai apa yang aku dapetin, loh."

Zarfan tersenyum manis. "Nggak perlu. Aku tahu kamu pasti lulus."

"Iya, sih. Aku dapat B," balasku ceria.

"Revisinya banyak, nggak?"

Aku menggeleng. "Dikit, kok. Kebanyakan kesalahan teknis penulisan aja."

"Tuh, 'kan? Apa kubilang." Kemudian cowok itu meneliti buket yang dibawanya, lalu senyum manis itu menghilang dari wajahnya. Ia menyisir satu per satu tangkainya. "Eh, tadi di sini ada kartu ucapannya. Tapi, kok, hilang?"

"Loh, kok bisa?"

"Nggak tahu." Cowok itu kemudian kembali menyerahkan buketnya padaku. "Maaf ya. Sekali lagi selamat, Mik."

"Makasih banget ya, Zar." Aku tersenyum, menerima buket bunga kertas itu. "Masih Pra TA loh, Zar. Nggak usah repot-repot bawa bunga segala."

"Nggak apa-apa. Aku bisa bawain bunga lagi setelah sidang keempat TA."

Aku membalas senyumnya. Taman Kafetaria lengang untuk sejenak. Cowok itu mengusap leher belakangnya, terlihat gugup. "Emmm ... sebenarnya aku mau ngobrol serius sama kamu."

Mendengarnya, jantungku berdetak lebih cepat. Aku menatapnya dan bertanya sekasual mungkin. "Ngobrolin apa?"

Cowok itu berdecak kesal sambil menggaruk rambutnya. Ia mengeluh sendiri. "Ngomongnya bakalan lebih gampang kalau kartu ucapannya nggak hilang!"

"Emang mau ngomong apa, sih?"

Zarfan menggaruk pipinya. "Emmm ... dari mana, ya, mulainya?"

"To the point aja." Aku memotong.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang