Lima Belas

1.4K 214 114
                                    

"Terkadang, kita terlalu sibuk melihat orang lain sebagai ancaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terkadang, kita terlalu sibuk melihat orang lain sebagai ancaman. Padahal, satu-satunya orang yang harus dikalahkan adalah diri kita sendiri."

*****

Buku-buku literatur yang kupinjam dari perpustakaan umum ITB banyak membantu laporan Pra Tugas Akhirku. Dua minggu setelahnya adalah batas waktu peminjaman buku. Aku dan Dika sebisa mungkin mengembalikannya tepat waktu agar pemilik KTM yang dipinjam Dika tidak dikenai denda.

Sepulangnya dari ITB, aku dan Dika kembali berkeliling Kota Bandung untuk mencari kuliner malam. Kali ini, kami memilih untuk membeli jajanan kaki lima, seperti bola ubi dan cilok. Tidak lupa membeli dimsum yang dijual di tenda pinggir jalan. Selain kami, banyak mahasiswa lain yang menikmati hidangan di tempat. Sesekali, pengamen dengan gitar datang ke tenda, menyanyikan lagu-lagu dari band Indonesia tahun 2000-an, seperti Peterpan yang kini telah berganti nama menjadi Noah.

Aku dan Dika jarang berinteraksi di kampus. Pertama, aku memang sengaja meminimalisir interaksi dengannya karena gosip yang beredar. Kedua, aku merasa Dika pun membatasi interaksi denganku. Namun ketika di luar kampus, tembok pembatas yang kami bangun pun lenyap. Tidak hanya membahas soal kuliah, terkadang kami membicarakan banyak hal. Setelah mengetahui bahwa Dika pun pernah ditolak FSRD ITB, aku merasa kami memiliki banyak kesamaan. Obrolan pun mengalir begitu saja, meskipun tidak jarang kami berkelahi di ujung percakapan.

Sebulan berlalu. Sidang Pra Tugas Akhir semakin dekat. Setelah melakukan riset di internet dan buku literatur, aku memiliki beberapa alternatif ide di otakku. Ide-ideku yang berbentuk gambar kusimpan dengan rapi di board Pinterest, beberapa ide lain kutulis di dalam binder.

Selain memilih gaya desain yang cocok, sebagai calon desainer interior, aku harus memilih material yang cocok untuk ruangan yang akan dibuat, baik dari segi estetika, kualitas, keinginan klien, maupun budget. Selama bimbingan bersama-sama, Dika tidak pernah terlihat kesulitan soal itu. Ide-ide dan inovasi dalam otaknya selalu brilian dan Pak Rizal selalu menyukainya. Tidak heran mengapa cowok itu selalu menonjol di mata kuliah studio.

Setiap kali selesai bimbingan, aku selalu merasa ciut. Ide-ideku tidak sebrilian Dika. Biasanya, di saat-saat seperti ini aku selalu meminta pendapat Zarfan lewat telepon atau Zoom, tetapi kini cowok itu benar-benar sibuk mengikuti dua kursus sekaligus. Biasanya, cowok itu selalu menyempatkan membalas pesanku di pagi dan malam hari. Dengan keterbatasan waktu, tidak banyak hal yang bisa kami bicarakan.

Tidak hanya soal kuliah, aku rindu membicarakan banyak hal dengan Zarfan. Namun, hati kecilku jadi merasa enggan untuk terus menghubunginya. Aku takut mengganggu kesibukannya, meskipun Zarfan tidak pernah mempermasalahkannya. Berminggu-minggu memendamnya sendirian, aku merasa fokusku kini mulai teralihkan. Ketika mulai kesulitan menata perasaan, aku mengunjungi Aruna sebelum kedai kopinya tutup, menceritakan segala hal yang mengganjal di dada.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang