Dua Puluh Enam

1K 174 105
                                    

"Gimana kuliah kamu, Sayang?" tanya seorang wanita bersuara lembut di seberang telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gimana kuliah kamu, Sayang?" tanya seorang wanita bersuara lembut di seberang telepon.

Aku diam sejenak sebelum menjawab. Ada beban berat di hatiku ketika harus mengatakan kebohongan. "Lancar, Ma."

"Kemarin bilangnya tinggal TA aja, ya? Berarti wisudanya di semester depan?"

Aku mengangguk pelan. "Insyaallah, Ma."

"Alhamdulillah ...," lirihnya. "Mama doakan lancar terus kuliahnya, ya."

"Iya. Makasih, Ma."

"Iya .... Mama sebenarnya kangen banget sama kamu, pengen kamu cepat-cepat pulang. Tapi nggak apa-apa, fokus aja dulu sama kuliahmu, ya. Papa juga pasti kangen, tapi gengsi aja bilangnya. Jangan kelamaan perang dingin sama papamu, ya. Kalau nanti kita foto wisuda tapi saling cemberut, 'kan, nggak lucu jadinya."

Mendengarnya, aku terkekeh. "Iya, Ma. Masa iya foto wisuda cemberut?"

Setelah obrolan panjang yang lama tidak dilakukan, aku menutup telepon dari Mama. Kini, kamar kostku kembali hening. Liburan semester telah tiba, dan mendadak aku merasa keadaan begitu sepi.

"Ma, kemarin anak bungsumu ini mengacau ...," lirihku.

Setelah perkelahianku dengan Dika, Zarfan, dan Selena, hari-hariku terasa begitu lambat. Aku menghabiskan waktu berdiam di kost yang entah mengapa terasa lebih sepi dan gelap, tidak berminat pergi keluar. Aku yang tidak pernah lagi mengunjungi kedai kopi membuat Aruna bertanya-tanya. Ketika cewek itu menanyakan kabarku, langsung saja aku meneleponnya sambil bercerita. Malam harinya, cewek itu datang ke kost membawa berbagai macam kudapan sisa stok seperti fudgy brownies dan croissant. Ya, makanan adalah love language kami.

Setidaknya, aku masih punya Aruna di sisiku.

Sebenarnya, aku merasa bersalah pada cewek itu. Karena kejadian itu, ia terjepit antara aku dan Zarfan. Grup chat pun sepi. Zarfan menghilang lagi, sedangkan Aruna tidak tahu bagaimana harus menengahi kami. Katanya, ia pernah mengirimkan chat secara personal untuk cowok itu, tetapi sia-sia. Tentu, jika aku jadi Zarfan, aku tidak akan mau berbicara pada Aruna yang sudah pasti lebih cenderung memihakku, berhubung kami sama-sama perempuan.

Berhari-hari, aku selalu menatap langit-langit yang sama. Tidak hanya pagi setelah bangun, tetapi hampir sepanjang hari. Terdapat jeda dua minggu antara sidang Pra Tugas Akhir dan hari pertama mata kuliah Tugas Akhir. Seharusnya aku mempersiapkan segalanya, tetapi benang kusut di kepalaku tidak kunjung terurai. Begitu sulit untuk fokus. Bahkan, aku sempat berencana untuk tidak mengisi KRS dan tidak melakukan perwalian. Lebih baik aku pulang saja ke Bogor, kota kelahiranku. Namun, Aruna yang mengetahui hal itu marah besar dan menyuruhku untuk segera melakukan perwalian online. Alhasil, aku sudah resmi terdaftar sebagai mahasiswa Tugas Akhir dan tidak bisa kabur lagi.

"Mik, aku janji bakalan bantuin kamu di sela-sela jaga coffee shop. Plis, jangan nyerah, ya! Satu mata kuliah lagi, kamu bisa dapetin gelar sarjana. Ingat-ingat tekad kamu beberapa bulan lalu!" pinta Aruna kala itu.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang