Sabtu siang yang tidak terlalu terik, aku duduk di sebuah kafe yang terletak di Jalan Dipatiukur. Sambil menyeruput matcha latte, aku sibuk dengan aplikasi AutoCAD di laptop, menggerakkan tetikus sedemikian rupa, mendesain rumah minimalis milik klienku. Kedua AirPods di telingaku memutar lagu Yellow milik Coldplay.
Ah, apa aku belum cerita? Setelah lulus, aku kembali pada pekerjaanku sebagai freelancer. Untuk menghemat pengeluaran kost, aku kembali ke rumah orang tuaku di Bogor. Pekerjaan lepas sangat fleksibel. Meskipun klienku orang Bandung, aku masih bisa mengerjakan desainku di rumah.
Sudah sepuluh bulan setelah hari kelulusanku. Hari ini, aku mampir ke Bandung untuk bertemu salah satu klien, membicarakan lebih jauh soal rumah impiannya. Aku amat bersyukur wanita mapan berusia 30-an itu mempercayakan renovasi kamar anak dan dapurnya padaku. Bisa dibilang, bekerja lepas sudah bisa menutupi segala kebutuhanku. Ya ... meskipun aku tidak banyak mengeluarkan uang jika tinggal di rumah.
Tiba-tiba, seseorang mencabut AirPods sebelah kiriku. Aku menoleh dan sosok itu dengan segera berpindah ke sebelah kananku. Ketika menoleh padanya dengan tatapan nyalang, sang pelaku hanya tertawa ringan. Lalu, ia duduk tepat di hadapanku dengan senyum lebar.
"Balikin!" ketusku padanya.
"Ya ampun, galak banget! Pacarnya baru dateng, tapi yang dipeduliin malah AirPods." Dika mencebik, sok-sok playing victim. Cowok itu mengembalikan benda kecil tersebut.
Aku merebut AirPods-ku. Wajahku yang semula garang kini melembut. Aku terkekeh kecil dengan sedikit manja. "Hihihi, kangen, deh."
"Sama." Dika menjawab dengan nada menggemaskan. "Kenapa, sih, kamu harus diem di Bogor? 'Kan, bisa kerja di Bandung bareng aku biar nggak LDR. Kita bisa ketemu tiap hari. Eh, maaf ya, aku nggak bisa jemput kamu di stasiun. Kemaren masih ada kerjaan." Ya, setelah kami berpacaran, Dika menyebutku dengan panggilan 'kamu'. Berbeda dengan cita-citanya bekerja di Jakarta, Dika justru mendapatkan pekerjaan di Bandung.
"Nggak apa-apa, kok." Aku tersenyum. "Wajar, lah, kerja kantoran nggak bisa sembarangan cuti dan deadline-nya agak ketat. Ngomong-ngomong, aku masih pangling banget, deh, liat rambut kamu yang pendek. Kenapa kemaren dipotong, sih? Kantor konsultanmu, 'kan, nggak punya aturan soal rambut." komentarku.
Dika menyugar rambutnya yang kini pendek. Ia terlihat seperti mahasiswa baru. "Biar lebih rapi aja dan profesional. Tapi tetap ganteng, 'kan?"
Aku meringis mendengar kenarsisannya. Namun, pacarku ini memang tampan. Jadi, aku menjawab datar, "Iya. Ganteng."
Cowok itu mencubit hidungku karena gemas. Aku pun kembali meringis. "Iiih, sakit!"
"Cieee, dulu aja kalau aku narsis gini kamu langsung maki-maki aku. Sekarang udah ngakuin kalau aku sebenarnya ganteng," goda cowok itu.
"Nggak tahu, deh," balasku sambil mengelus-elus hidung, "dulu di mataku, kamu tuh nggak banget. Boro-boro ganteng, deh. Pokoknya, sebel lihat kamu!"
Cowok itu pun tertawa. "Sukurin, deh, kena karma!"
Dika kini mengalihkan pandangannya ke laptopku. Ia bertanya soal proyek yang kukerjakan dan kapan jadwalku bertemu klien. Selama di kafe, pada mulanya kami membicarakan pekerjaan, tetapi topik dengan cepat berubah menjadi hal-hal kecil yang sejak dalam perjalanan ke Bandung ingin kuceritakan padanya. Setelah melihat wajahnya, suasana hatiku menjadi amat sangat baik. Bersamanya saja aku merasa cukup. Obrolan pun semakin mengalir hingga kami memutuskan untuk keluar dari kafe dan berkeliling Bandung.
"Nanti malem makan di Lengkong Kecil Street Food, yuk!" ajak Dika.
Aku mengangguk, mengiyakan ajakannya. "Ayok!" Setelah keluar dari kafe, aku berkata, "Dik, temenin aku ke depan ITB, yuk. Ada cilor yang enaaak banget di sana. Pengen jajan."
"Oh ya? Ayo, deh, aku juga mau coba!" balasnya dengan antusias.
Kami berjalan menuju parkiran motor. Tiba-tiba, tanganku merasakan jemari hangat menyentuh permukaan kulitku. Kuraih jemari itu dan menautkannya dengan milikku. Sungguh, bergandengan tangan pun sepertinya tidak cukup untuk meluapkan rinduku pada Dika. Seandainya saja kami seperti pasangan-pasangan lain yang bisa bertemu kapan pun kami mau. Membayangkan waktuku yang terbatas di sini, rasanya sedih.
Namun, dengan cepat aku menggeleng. Nggak boleh mikir yang sedih-sedih! Nikmatin aja waktu sama Dika sekarang!
Setelah berkendara selama lima menit, sampailah kami di depan gerobak cilor depan kampus ITB. Kupesan dua bungkus cilor untukku dan Dika. Setelah pesanan jadi, aku kembali ke motor, "Let's go!" seruku.
Namun, Dika tidak menjawab. Aku menoleh, melihat cowok itu menatap satu titik tanpa berkedip, Dengan segera, aku mengikuti arah pandangnya. Di seberang jalan, tepatnya di depan gerbang masuk ITB, aku melihat kawanan mahasiswa yang berkumpul menjadi sebuah grup. Ada pula satpam yang menjaga gerbang dan orang-orang yang berlalu-lalang. Ada pula pedangang batagor yang membawa gerobak berjalan di dekat trotoar.
"Kamu lihat apa, sih?" tanyaku sambil mengguncang lengannya pelan.
Dika berkedip, ia mengalihkan pandangan padaku. "Nggak. Kayaknya aku lihat orang yang familier, tapi kayaknya bukan." Lalu cowok itu naik ke atas Vespanya dan berkata, "Yuk, naik!"
Sore itu, kami menikmati jalanan Kota Bandung yang padat merayap, tetapi Dika jago menyalip, sehingga kami tidak harus bermacet-macetan. Dari Jalan Dago yang terkenal estetik, Jalan Supratman, hingga Jalan Riau yang dipenuhi bangunan-bangunan dan tata letak kota yang cantik. Tidak banyak tempat yang berubah selama sepuluh bulan menatap di Bogor, dan Kota Bandung masihlah indah. Namun, semua itu tidak penting lagi, asalkan ada Dika bersamaku di sini.
Mungkin memang benar kata mereka, perbedaan benci dan cinta hanya setipis benang jahit.
*****
Hayoloh, Dika liat siapa di deket gerbang ITB?
Kamu tim Dika rambut pendek atau gondrong nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan Lulus? [END]
Romance🏆 Spotlight Romance of August 2024 by Romansa Indonesia Walaupun sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, Mika masih sering insecure sama prestasi akademiknya. Hingga suatu hari, prosesi wisuda sahabat karibnya telah mengubah tekad cewek itu. Di awal se...