Dua minggu berlalu sejak judul Pra Tugas Akhirku mendapatkan persetujuan Pak Rizal. Aku pun sudah dua kali bimbingan dan sejauh ini berjalan lancar. Malam ini, aku duduk di meja belajar dengan pencahayaan temaram dari lampu belajar. Layar laptop di hadapanku menampilkan hasil ketikanku selama satu jam ke belakang. Ketika dicek, rupanya aku hanya mampu mengetik seratus kata saja.
Frustrasi, aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Tidak, semua ini bukan karena aku tidak tahu apa yang harus dituangkan ke dalam Word, tetapi karena ponsel yang sedari tadi mendistraksiku. Meskipun tidak ada notifikasi di sana, nyaris setiap lima menit sekali aku mengecek layarnya, berharap ada nama seseorang yang muncul. Seseorang yang kunanti-nanti menghilang di seberang sana, dan aku berharap sosok itu muncul kembali dalam bentuk pesan singkat.
Otakku dipenuhi oleh sosok Zarfan. Jika kami terus-terusan bertukar pesan selama mengerjakan Pra Tugas Akhir, bisa-bisa aku terus menunda-nunda dan pada akhirnya mengulang lagi mata kuliah ini semester depan. Setelah mengumpulkan tekad yang kuat, aku menyalakan mode do not disturb, kemudian meletakkan ponsel dalam posisi layar menyentuh permukaan meja, sehingga aku tidak akan tahu jika Zarfan membalas pesanku.
Memerintahkan otakku untuk berhenti memikirkan Zarfan adalah hal yang sia-sia. Mika Gianina saat ini seperti kembali menjadi anak SMA yang sedang kasmaran. Aku mengetuk-ngetuk dahiku sambil merutuki diri. "Jangan cinta-cintaan, Mika! Fokus aja sama Pra TA. Besok harus bimbingan!"
*****
Usahaku membuahkan hasil. Karena ponselku dalam mode do not disturb, malam tadi aku berhasil mengetik lebih dari tujuh ratus kata. Pagi ini, aku menelusuri lorong gedung Desain Interior dengan suasana hati yang baik. Kusampirkan tote bag di bahu kananku. Laptop yang berisi laporan untuk bimbingan pagi ini berada di dalamnya. Ketika berbelok ke arah lorong menuju ruang dosen, aku melihat presensi seseorang yang tidak asing di arah yang berlawanan denganku.
Aku bertemu pandang dengan Dika yang berjalan dari sisi lain lorong. Kami bertemu di pertigaan dan berbelok ke arah yang sama. Aku melirik laptop yang ia bawa di tangannya. Tidak ada tas ataupun benda lain yang dibawanya. Cowok itu mengenakan jaket jeans dan celana dengan bahan yang sama. Pakaiannya terlihat santai, tetapi cukup rapi untuk bertemu seorang dosen.
Ingin sekali aku bertanya, siapakah dosen yang akan ditemui Dika pagi ini? Apakah ia sudah menemukan judul baru dan mendapatkan dosen pembimbing? Namun, kuurungkan niat itu karena kami tidak saling bicara sejak insiden perang data dua minggu lalu.
Sesampainya di ruang dosen, aku menghampiri meja Pak Rizal. Namun, seorang adik tingkat yang tidak kukenal masih bimbingan dengan pria itu. Jadi, kuputuskan untuk keluar dan menunggu di depan ruang dosen saja. Aku mengerutkan dahi ketika Dika melakukan hal yang sama. Ia duduk di kursi tunggu, tepat di sampingku.
"Mau bimbingan juga?" Masa bodoh dengan harga diriku! Pada akhirnya, aku bertanya karena penasaran.
Dika menoleh, kemudian mengangguk sekali. Wajahnya datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan Lulus? [END]
Romance🏆 Spotlight Romance of August 2024 by Romansa Indonesia Walaupun sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, Mika masih sering insecure sama prestasi akademiknya. Hingga suatu hari, prosesi wisuda sahabat karibnya telah mengubah tekad cewek itu. Di awal se...