Tiga Puluh Tujuh

1K 177 29
                                    

Hari wisuda tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari wisuda tiba. Aku yang menginap di hotel sudah bangun subuh-subuh untuk berias. Teh Mutia membantuku menata rambut. Rambut pendekku dikeriting sedikit dan dikepang, lalu dua kepangannya dijepit ke belakang. Setelah aku dan Mama siap, kami berangkat menuju gedung serbaguna kampus, sedangkan Teh Mutia akan menyusul saat acara makan siang di gedung jurusan.

Kampus menyediakan tiga kursi di dalam gedung serbaguna, yaitu untuk wisudawan dan kedua orang tua mereka. Lima belas menit sebelum pukul tujuh, kursi yang seharusnya ditempati Papa masih kosong. Sekitar jam setengah enam pagi, Papa mengabari Mama, mengatakan posisinya yang baru memasuki tol. Hingga kini, Papa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Mama berkali-kali mengirim Whatsapp dan menelepon suaminya itu, tetapi tidak ada jawaban.

"Papa masih belum jawab?" tanyaku yang duduk di sebelah Mama.

Mama mengembuskan napas berat. Berkali-kali ia mengetuk layar dan meletakkan ponselnya ke telinga. Beliau menggeleng sambil mematikan sambungan telepon. "Iya. Kayaknya masih ngebut di jalan."

"Tapi pintu gedung ditutup jam tujuh." Aku berkali-kali mengecek pintu masuk, berharap ada sosok familier yang kucari. "Kalau Papa telat, nanti nggak bisa masuk gedung."

Mama menatapku, sedikit tersenyum, lalu menjawab sambil mengelus lembut bahuku. "Sabar. Kita tunggu aja ya, Sayang."

Aku mengangguk lemah, tidak mampu lagi menahan kekecewaan. Menit demi menit berlalu, aku terus mengecek pintu masuk, mencari sosok Papa. Akhirnya jam tujuh pas, seorang petugas berniat menutup pintu gedung serbaguna, berhubung sudah tidak ada tamu yang datang. Tanganku yang terkepal kuletakkan di paha. Aku menggeleng pelan, benar-benar kecewa.

Bahkan di hari wisuda aja Papa masih telat. Emang kayaknya yang penting buat Papa cuma Teh Mutia.

Seolah-olah Tuhan langsung mendengar kegelisahanku, hadir seorang pria paruh baya berjalan cepat memasuki gedung. Ia mengenakan jas hitam dan kemeja berwarna biru muda, lengkap dengan dasi warna senada. Petugas yang hendak menutup pintu pun berhenti. Pria yang baru saja datang sedikit terengah-engah, lalu menunduk pada petugas. Sepertinya pria itu mengucapkan terima kasih telah diizinkan masuk.

Itu Papa. Aku pun dapat mengembuskan napas lega. Meskipun selama bertahun-tahun aku memendam rasa sakit terhadap Papa, tapi hati kecilku rupanya masih mengharapkan beliau untuk datang.

Mama melambai-lambai, dan Papa pun melihat. Pria itu bergegas mendatangi kursi yang kosong di sebelahku dan mendudukinya. Mama langsung berinisiatif mengeluarkan tisu dari clutch-nya, lalu memberikannya pada sang suami.

"Alhamdulillah, belum mulai," kata Papa sambil mengelap keringat di dahinya.

"Iya, Alhamdulillah banget nggak telat," timpal Mama.

"Mutia mana?" tanya Papa. Hah? Serius? Yang pertama ditanya malah anak sulungnya, bukan anak bungsunya yang lagi wisuda!

"Teh Mutia di hotel, nanti siang nyusul," jawabku. "Papa datang agak telat, sih. Tuh, mau dimulai." Aku menunjuk ke mimbar di depan ruangan dengan dagu, di mana rektor baru saja sampai. Sebenarnya, ingin sekali aku mengatakan, Iya, Papa belum telat! Aku senang Papa datang tepat waktu, tetapi karena kesal, hanya ucapan sarkastik itu yang keluar dari mulutku.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang