Tiga Puluh Enam

1.1K 169 13
                                    

Mengganti masa lalumu dengan orang baru rupanya tidak otomatis akan menghapus perasaanmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengganti masa lalumu dengan orang baru rupanya tidak otomatis akan menghapus perasaanmu.

*****

Terdapat jeda satu bulan dari yudisium menuju wisuda. Aku disibukkan dengan mengurusi berkas-berkas wisuda. Biasanya, aku pergi ke kampus sendirian, tetapi tidak jarang juga bertemu Dika di sana. Setelah pengakuan itu, Dika justru terlihat biasa saja, malah aku yang bersikap canggung. Aku mencari-cari waktu yang pas untuk melanjutkan obrolan kami sore itu, tentang perasaanku yang Dika harus tahu. Namun setiap kali ada kesempatan, nyaliku selalu ciut.

Kini, hubungan kami seperti terombang-ambing. Dua orang yang saling menyukai, tetapi tidak memiliki status apa pun.

Hari demi hari berlalu, tidak terasa dua hari lagi wisuda diadakan. Keluargaku yang tinggal di Bogor telah sampai di Bandung dan menginap di salah satu hotel dekat kampus. Pukul tujuh malam sepulangnya dari kampus, Dika mengantarku ke hotel tersebut dengan Vespa putihnya.

"Makasih loh, Dik," ujarku sambil menyerahkan helm padanya. Kini, kami sudah berada tepat di depan pintu masuk.

"Hm." Dika mengangguk. "Baru sampai banget di hotel?"

"Siapa? Keluargaku?" tanyaku. "Nggak, sih, udah dari sore. Eh, kamu mau masuk dulu nggak? Katanya Mama bawa lapis talas. Kamu pasti laper, 'kan?"

Dika menggeleng sambil tersenyum. "Nggak usah deh, Teh. Bunda udah masak di rumah. Lagian, Ayah pulang malem, kasian Bunda sendiri di rumah."

"Adik kamu?" tanyaku.

Cowok itu mengedikkan bahu. "Nggak tahu. Mungkin masih ada acara di kampusnya."

Aku manggut-manggut. Hening sebentar sebelum aku berpamitan. "Ya sudah, sampai ketemu lusa ya, Dik!"

"Iya." Cowok itu tersenyum manis. "Anyway, Bunda penasaran pengen banget ketemu sama Teteh."

Aku sukses dibuat melotot karena ucapannya. "Kamu cerita tentang aku?"

"Iya, lah. Teteh, 'kan, bakalan jadi pendamping wisudaku. Awalnya, Ayah sama Bunda nggak percaya aku punya pendamping." Lalu Dika berdecak. "Dih, ngeremehin banget, ya? Emangnya aku sengenes itu?"

"Oh gitu ... untung Mama Papaku nggak tahu. Kalau tahu, mungkin mereka bakalan heboh juga."

Senyum di wajah Dika hilang. "Teteh nggak cerita soal pendamping wisuda?"

"Belum. Aku nggak tahu harus gimana bilangnya ...." Aku menggaruk-garuk pipi saking kikuknya. Saat melihat ekspresi Dika, aku berharap bisa menarik kembali ucapanku. "Eh, emmm, maksudnya nanti aja, kamu langsung ketemu keluargaku tanpa harus aku kasih tahu. Biar jadi surprise."

Dika tersenyum tipis dan mengangguk lagi. Setelahnya, kami benar-benar berpamitan. Kutatap Vespa putihnya yang semakin menjauh dari pintu masuk hotel, hingga menghilang di antara lautan kendaraan di jalanan. Sekilas, aku melihat kekecewaan di wajah cowok itu. Rasa bersalah pun meliputiku. Ah ... jadi aku harus bersikap seperti apa? Kami belum pacaran, jadi wajar, 'kan, aku tidak menceritakan soal Dika pada orang tuaku?

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang