Dua Puluh Lima

1.1K 176 87
                                    

Setelah pertengkaran Dika dan Zarfan, aku menenangkan diri di pojok perpustakaan kampus yang jarang dilalui orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah pertengkaran Dika dan Zarfan, aku menenangkan diri di pojok perpustakaan kampus yang jarang dilalui orang. Aku tidak ingin mataku yang sembap memancing perhatian orang lain. Kutatap buket bunga kertas di atas meja. Pikiranku berkelana. Buket cantik itu semakin mengingatkanku pada Zarfan. Bahkan, ketika ada cowok dengan warna baju dan gaya rambut yang sama seperti Zarfan melintas di depanku, aku menoleh. Lalu, aku harus dibuat kecewa karena itu bukanlah sosok yang kuharapkan, melainkan cowok random yang juga mengunjungi perpustakaan dengan tujuan tersendiri. Entah mahasiswa jurusan apa.

Jujur saja, aku masih berharap cowok itu akan kembali dan menyusulku ke sini. Aku nggak mau kehilangan Zarfan. Aku nggak mau persahabatan kami rusak begitu saja.

Waktu terus berjalan hingga aku lelah dengan ekspektasiku sendiri. Ketika perpustakaan mulai sepi, aku berniat kembali ke gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain untuk mengambil barang-barangku, lalu pulang secara diam-diam. Aku sengaja menunggu hingga sidang Pra Tugas Akhir selesai. Waktu menunjukkan pukul empat sore, ketika gedung jurusan Desain Interior sudah sepi, barulah aku masuk dan membereskan barang-barangku. Fisik dan mentalku terasa lelah luar biasa. Ingin rasanya berteleportasi ke kost dan tidur hingga esok hari.

Di dalam kelas, hanya tersisa tote bag dan berkas-berkas sidang milikku. Di bangku sebelahku, ransel milik Dika sudah tidak terlihat lagi. Bisa dipastikan cowok itu telah meninggalkan kampus sejak beberapa jam lalu. Kuletakkan buket bunga di samping tote bag, lalu kurapikan barang-barangku dan kumasukkan ke dalam tas. Terdengar langkah kaki di belakang. Ketika berbalik, aku dikejutkan dengan kehadiran seorang cewek di depan pintu.

"Teh, baru mau pulang?"

Debaran jantungku terasa lebih cepat. Sial! Selena adalah orang terakhir yang ingin sekali kutemui sore ini. Pikiranku melanglang buana. Aku harus jawab apa? Kenapa Selena kelihatan biasa aja? Emangnya Selena nggak marah setelah mantannya confess ke teman dekatnya sendiri?

"Kok belum pulang?" Aku bertanya balik.

"Dari tadi aku nongkrong di ruang himpunan, nunggu waktu janjian sama teman di kampus sebelah. Di sana masih rame. Anak-anak masih ada yang belum pulang." Cewek itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya. "Sini, aku bantuin beresin."

"Eh, makasih, Sel." Aku pun mengangguk canggung.

"Santai aja kali, Teh. Kayak ke orang lain aja." Selena tersenyum. Sebenarnya, senyum cewek itu tidak terlihat dibuat-buat, tetapi entah mengapa aku menangkap ada maksud lain.

Selama beberapa detik ke depan, Selena sibuk menyusun berkas-berkas sidang dan mengumpulkannya dalam satu tumpukkan, sedangkan aku menyisir satu per satu benda di dalam tote bag, memastikan tidak ada yang hilang atau tertinggal. Ruangan kelas terdengar hening, tidak ada satu pun yang berbicara.

Kulihat Selena melirik buket bunga yang kuletakkan di atas meja, lalu ia memecah keheningan. "Kenapa Teteh nggak bilang?"

Sekarang, semua berkas telah tersusun rapi dan pergerakan kedua tangan Selena terhenti. Cewek itu menatap kedua mataku, terlihat jelas sedang menuntut jawaban. Pertanyaan yang diucapkannya terdengar serius, tetapi tetap hangat.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang