Tiga Puluh Delapan

1.1K 167 30
                                    

"Ayah, Bunda, Dara, kenalin, ini Teh Mika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayah, Bunda, Dara, kenalin, ini Teh Mika." Dika menjeda sebentar. "Pendamping wisudaku."

Jantungku berdebar cepat ketika keluarga Dika tidak langsung menjawab, melainkan mengamatiku tanpa berkedip sekitar beberapa detik. Lalu, ketegangan lenyap ketika bundanya Dika tersenyum ramah. "Eh, Mika! Sini sini, duduk, Sayang! Udah makan belum?" Beliau meraih tangangku lembut, menuntunku untuk duduk di sebelah Dika.

"Udah, Tante." Aku mengangguk dan balas tersenyum ramah. "Tante udah makan pencuci mulut? Perlu Mika ambilkan puding juga, nggak?"

Bunda terkekeh, mengibas-ngibas tangannya. "Ah, nggak usah repot-repot. Nanti bisa minta tolong ke Dika aja."

Aku menoleh ke ayahnya Dika. "Kalau Om gimana?"

"Sama, Om juga udah kenyang." Pria itu tersenyum ramah. "Makanan prasmanannya enak-enak, sih. Jadinya Om kalap."

Sedangkan Dara, ia tersenyum jahil dan menyikut-nyikut Dika yang duduk di sampingnya. Dika balas menjitak adiknya itu. Lalu, Dara bertanya padaku. "Kak Mika cantik! Kok, mau sama Bang Dika?"

"Ya mau, lah! Abang, 'kan, ganteng! Udah, deh, nggak usah nanya yang aneh-aneh!" ketus Dika. Aku hanya tertawa mendengarnya.

"Panggilnya jangan Om sama Tante, ya. Ayah sama Bunda aja, biar santai." Bundanya Dika berkata dan tersenyum padaku, dan aku balas mengangguk sambil tersenyum meskipun rasanya segan sekali. Haaah? Langsung panggil Ayah Bunda? Serius? Aku canggung sekaligus malu banget! Wajahku pasti sudah memerah sekarang.

Selama beberapa belas menit ke depan, aku sibuk mengobrol bersama keluarganya Dika. Keluarga kecil mereka begitu hangat. Berbanding terbalik dengan Papa yang kaku, Ayah memiliki selera humor yang bagus, sehingga pria itu dapat 'menghidupkan' meja makan. Tipikal seorang ayah dengan dad jokes andalannya. Rupanya, aku dan Dara pun sefrekuensi karena banyak menonton drama Korea yang sama. Hanya beberapa menit, aku berhasil menaklukkan rasa cangungku untuk berbaur dengan keluarga Dika.

"Ayah, Bunda, Dika mau ke meja Teh Mika dulu, ya," ujar Dika setelah setengah jam mengobrol.

"Oh, mau minta restu mertua?" goda Dara.

Dika menjitak adik bungsunya itu. "Nggak usah bawel, deh!"

Aku dan Dika pun beranjak. Sebelumnya, aku menunduk dan berpamitan dengan Ayah dan Bunda. "Mika mau ke meja keluarga dulu ya, Ayah, Bunda," ujarku.

Keduanya mengangguk dan tersenyum ramah. "Iya, Sayang, silakan, silakan,"

"Bang Dika jangan malu-maluin di depan mertua!" celetuk Dara. Bunda dan Ayah hanya tertawa, sedangkan cowok gondrong itu memelototi adiknya.

Kami berjalan beberapa meter untuk sampai ke meja keluargaku. Di sana ada dua bangku yang kosong untukku dan Dika. Sedikit berbeda dengan perkenalanku dan keluarganya Dika, keluargaku sedikit kaku. Mama hampir sama ramahnya seperti Bunda, sedangkan Teh Mutia tidak banyak bicara karena canggung. Respons Papa yang paling parah. Beliau sampai menatap Dika dari ujung kepala hingga ujung kaki!

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang