Dua Puluh Tiga

1.1K 189 138
                                    

Mengeluarkan amarah memang mudah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengeluarkan amarah memang mudah. Namun, menerima apa yang terjadi setelahnya tidak pernah mudah

*****

"Hei, hei! Ada apa ini?"

Suara seseorang menginterupsi kami. Bersamaan, kami menoleh ke sumber suara. Di bawah pohon tak jauh dariku, aku melihat Dika berdiri di sana. Cowok itu masih mengenakkan blazers dan kemeja, tetapi rambutnya kini dibiarkan tergerai. Tatapannya serius. Cowok itu melirikku dan Zarfan bergantian.

Anjir! Kenapa yang diomongin malah muncul?

"Maneh nguping?" tanya Zarfan ketus.

"Tadi aku dengar namaku disebut-sebut," balas Dika.

"Sori, kami lagi ngomong empat mata. Butuh privasi." tegas Zarfan pada Dika. Dari perkataannya, jelas sekali jika Zarfan meminta Dika untuk pergi.

"Maaf, Kang, tapi tadi nama saya disebut-sebut. Saya juga lihat Kang Zarfan ngebentak Teh Mika," jawab Dika. Imej Dika yang usil dan tidak pernah serius kini berubah seratus delapan pulih derajat. Bahkan, cowok itu terlihat lebih serius dari Zarfan.

Ketegangan di Taman Kafetaria semakin intens setelah cowok gondrong itu datang dan beradu pandang dengan Zarfan. Sekarang, akulah yang seolah-olah berada di tengah-tengah mereka. Tanganku yang menggenggam buket bunga pun bergetar. Aku terjepit dalam situasi yang sangat ingin kuhindari—cowok yang kusukai bertengkar dengan cowok yang digosipkan berpacaran denganku.

Zarfan menyeringai, lalu berkata sinis pada Dika. "Maneh nggak ada kerjaan lain selain ngerecokin hidup orang? Selain kepo sama urusan orang?"

"Ini jadi urusan saya kalau Kang Zarfan ngebentak Teh Mika." Balasan Dika sukses membuatku melotot.

Zarfan tertawa remeh. "Halah, ngurusin urusan batur. Lalaki, lain?"

Kulihat Dika mengepalkan tangan sambil menggertakan gigi. Ketika cowok itu maju ke arah Zarfan, dengan segera aku menghampiri dan menahan tubuhnya.

"Dika, jangan," bisikku sambil menggeleng.

"Kenapa? Mau mukul?" tantang Zarfan.

Aku menoleh dan membentak cowok itu. "Zarfan! Udah! Nggak usah mancing-mancing!"

"Maneh teu nyaho nanaon. Ulah ngajago siga pahlawan kabeurangan. Ngewa!" ucap Zarfan pada Dika sambil menyeringai.

Segalanya terjadi begitu cepat sampai-sampai mataku tak dapat menangkap setiap gerakan yang terjadi. Tahu-tahu tinju Dika sudah melayang ke pipi Zarfan, dan cowok dengan model rambut comma itu terhuyung ke belakang, nyaris jatuh. Zarfan melesat ke arah Dika sambil berteriak, "Anjing!"

Sebelum Zarfan membalas serangan Dika, aku sudah lebih dulu menarik lengannya untuk menjauh, tetapi tenaganya terlalu besar. Akibatnya, malah aku yang terseret dan akhirnya terjatuh. Buket bunga kertas yang kugenggam terlempar ke rerumputan. Ketika mendongak, aku meringis melihat Zarfan dan Dika saling melempar tinju. Darah segar menetes dari lubang hidung Dika. Meskipun tidak ada luka di wajah Zarfan, cowok itu pun sama kacaunya.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang