Dua Puluh Tujuh

1K 182 89
                                    

Setelah berganti pakaian menjadi lebih tertutup dan mengenakan jaket, aku berlari keluar kamar, lalu menuruni tangga menuju pekarangan kost

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah berganti pakaian menjadi lebih tertutup dan mengenakan jaket, aku berlari keluar kamar, lalu menuruni tangga menuju pekarangan kost. Benar saja ada Dika di sana. Cowok itu bersandar pada Vespa LX 125 putihnya sambil bermain ponsel. Kali ini dia mengenakan jeans panjang dan hoodie berwarna navy. Ia menoleh ketika aku membuka gerbang kost.

Aku mematung di depan pagar, tidak tahu bagaimana harus bereaksi atas kedatangannya. 'Kamu ngapain ke sini?' adalah respons yang wajar, tetapi jika salah mengeluarkan intonasi, aku akan terlihat ketus dan tidak senang dengan kedatangannya. Ah, tunggu. Memangnya aku senang jika cowok itu datang? Mika, sadar! Cowok ini sudah menghancurkan hidupmu sejak hari pertama Pra TA!

Dika mengambil helm bogo berwarna hitam di bagasi motornya dan menyodorkannya padaku. "Pakai, nih!"

"Hah?" Aku mengernyit.

"Udah, pakai aja!" perintahnya.

Meskipun ragu aku berjalan mendekat, kemudian menerima dan memakaikan helm itu di kepalaku. Kemudian Dika mendaratkan bokongnya di jok kemudi dan menelengkan kepala ke arah jok penumpang. "Naik!"

"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku sambil meraba-raba saku jaket dan celana. "Bentar, aku nggak bawa dompet."

"Nggak usah. Kita nggak akan ke mal kok. Ikut aja dulu." Saat itu, barulah Dika tersenyum. Cowok itu memindai ujung kepalaku hingga ujung kaki. "Udah hangat, sih, pakai jaket sama celana jeans. Tapi kayaknya mending pakai sepatu. Diganti aja sendalnya, Teh!"

"Emang kita mau ke mana?"

"Ke tempat yang seru. Masih rahasia!" ujarnya ceria.

Aku menurut saja. Sejurus kemudian, kami sudah berkendara keluar komplek perumahan di mana kostku berada. Sejujurnya, aku tidak bisa menebak ke mana Dika akan membawaku. Bertanya pun aku masih merasa canggung. Sekarang baru jam empat sore, tidak hujan pula, seharusnya cuaca Bandung masih hangat. Namun, mengapa cowok itu menyuruhku mengenakan pakaian tebal dan sepatu?

Motor yang kami kendarai menuju ke arah kampus. Dari jauh, aku bisa melihat masih banyak mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar sana, baik berdiam di warung-warung makan, menunggu transportasi umum, maupun berjalan di trotoar. Namun, dugaanku salah. Motor Dika terus melesat maju melewati gedung itu hingga sampai di Jalan P.H.H. Mustofa. Saat itu, jalanan besar Kota Bandung itu cukup dipenuhi kendaraan.

Motor Dika berbelok ke Jalan Padasuka. Jalanan ini menanjak. Ada beberapa mobil dan motor yang melintas meskipun tidak seramai jalan raya. Setelah melewati Saung Angklung Udjo, jalanan ini semakin terlihat sepi, hanya terlihat rumah-rumah kecil.

Motor Dika terus melaju tanpa berbelok sekali pun. Lama-lama, semakin jarang kendaraan yang melintas. Rerumputan dan pepohonan mulai mendominasi kanan kiri jalan. Berhubung jalan ini terus menanjak, kini aku bisa melihat pemandangan Kota Bandung dari atas sini. Atap-atap rumah dan gedung terasa mengecil, ada bukit dan sawah yang keseluruhannya berwarna hijau. Semakin tinggi posisi kami, temperatur pun mulai menurun. Meskipun tubuhku tertutup jaket, tetapi aku masih bisa merasakan embusan angin dingin menerpa wajah.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang