Tiga Puluh Empat

1K 173 19
                                    

Di hari yang cerah sekitar jam sembilan pagi, aku sudah berdiri di depan ruang kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di hari yang cerah sekitar jam sembilan pagi, aku sudah berdiri di depan ruang kelas. Di belakangku terdapat layar proyektor yang menampilkan slide presentasi Tugas Akhir. Di hadapanku terdapat meja yang cukup lebar dengan maket dua ruang kamar hotel di atasnya. Di samping meja terdapat x-banner yang menampilkan gambar-gambar perspektif hotel yang sudah kubuat satu semester penuh beserta keterangannya.

Ya, inilah hari yang kutunggu-tunggu. Sidang akhir. Hari yang akan jadi penentuan atas usahaku setahun ke belakang.

Di hadapan enam dosen penguji, aku mengoceh tentang hotel bintang empat yang desainnya sudah susah payah kukembangkan layaknya anak sendiri. Aku merawatnya selama satu tahun penuh, membuatnya bertumbuh hingga siap untuk ditampilkan pada dunia. Tidak terasa dua puluh menit pun terlewati. Kini, giliran dosen-dosen penguji yang mengajukan pertanyaan. Aku berhasil menjawab pertanyaan—atau bisa dibilang ngeles—dari dosen-dosen killer seperti Bu Anas atau Pak Yanto, karena pertanyaan yang diajukan mayoritas hanya seputar teknis pengerjaan saja. Pak Rizal pun tersenyum puas dan mengangguk bangga.

"Oke ... jadi ... Mika, ya?" tanya Pak Yogi, dosen penguji yang tiba-tiba hadir di kelompok sidangku. Pria plontos dengan kacamata berbingkai tipis itu membolak-balik handout tugas akhirku. Kedua bola matanya memindai cepat. "Judulnya Desain Interior Hotel Bintang Empat di Bandung?"

Dengan keyakinan penuh aku mengangguk. "Betul, Pak."

Ya, hanya tinggal satu dosen lagi yang akan mengajukan pertanyaan. Aku tidak sabar untuk keluar dari kelas dan bernapas lega. Seharusnya, segalanya akan menjadi lebih mudah mengingat aku telah melewati bagian paling menegangkan di antara semuanya, yaitu pertanyaan-pertanyaan dari Bu Anas dan Pak Yanto. Mahasiswa yang lain bilang, mereka berdua sudah seperti Dementor di ruang sidang.

"Maaf, ya, sepertinya saya akan banyak bertanya. Karena saya baru sekali ditempatkan di kelompok ini dan baru ketemu kamu di sidang akhir," ujar Pak Yogi sambil membetulkan posisi kacamatanya. Pria itu kemudian mendongak ke arahku. "Kenapa kamu mengganti target pengunjungnya?"

"Maaf?"

"Jadi kalau berdasarkan presentasi kamu tadi, kamu menjadikan Hotel Grand Atlantica sebagai benchmark? Menurut data kamu di sini, target pengunjung mereka adalah pasangan berusia di atas tiga puluh tahunan dengan keluarganya? Lalu, kenapa kamu menggantinya menjadi pasutri muda dan kaum generasi Z?"

"Karena menurut data statistik, sekarang yang datang ke hotel itu kebanyakan pasutri muda dan generasi Z, Pak," jawabku mantap.

"Tahu dari mana data statistiknya?"

"Saya punya data terbarunya." Aku mengambil bundle laporan Pra Tugas Akhirku di atas meja, membuka salah satu halaman yang menunjukkan tabel persentasi pengunjung Hotel Grand Atlantica dan menyerahkannya pada Pak Yogi.

"Oke." Pak Yogi memindai laporanku sambil membetulkan posisi kacamatanya. "Tapi ini data lima tahun yang lalu. Apakah masih valid?"

Mendadak jantungku berdebar cepat dan keringat menetes di pelipisku. Kok, Pak Yogi nanyain pertanyaan yang nggak ada hubungannya sama desain, sih? Tenang, Mika, tenang! "Saya pernah melakukan wawancara dengan supervisor-nya, dan beliau mengonfirmasi hal itu masih valid hingga kini."

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang