Sepuluh

1.5K 241 161
                                    

Dua minggu berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua minggu berlalu. Sekarang baru jam sebelas siang, tetapi kelopak mataku terasa begitu berat. Aku memijat pelipis dan berkedip beberapa kali, berusaha tetap fokus pada layar laptop. Dua minggu ini, aku mulai mengerjakan Pra Tugas Akhir di pagi hari. Padahal sejak jadi mahasiswa baru pun, biasanya aku mengerjakan tugas di malam hari.

Semua ini karena Zarfan. Biasanya di malam hari, cowok itu menghubungiku lewat Zoom. Ia banyak memberiku wawasan soal desain dan hal-hal yang berbau teknis, sehingga aku selalu bisa memenuhi standar yang ditetapkan Pak Rizal setiap kali bimbingan. Namun, sepertinya aku semakin tergila-gila pada Zarfan. Dibandingkan mengerjakan laporan, kami lebih banyak mengobrol dan bercanda, sehingga waktuku di malam hari terbuang sia-sia hanya untuk menatap wajah cowok itu di layar laptop. Aku jadi harus bangun lebih awal dan mengerjakan laporan di pagi hari.

Setelah satu jam bergulat menahan kantuk, aku menyerah. Mengerjakan laporan di kamar kost juga lama kelamaan membuatku jenuh. Aku butuh kopi dan suasana baru, dan hanya ada satu tempat di mana aku bisa mendapatkan keduanya; kedai kopi milik Aruna.

Mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pra Tugas Akhir dibebaskan untuk mengerjakan laporan di mana saja. Kami tidak perlu datang ke kampus setiap hari, kecuali jika ada jadwal bimbingan. Namun, ada satu hari di mana kami harus datang ke kelas untuk mengisi presensi mingguan, seperti hari ini. Aku sedang tidak berminat untuk pergi ke kampus dan ingin mengerjakan laporan di kedai kopinya Aruna saja. Maka, kuambil ponsel di atas meja, kemudian membuka aplikasi chat dan mengirimkan pesan untuk Dika.

Mika Gianina
Dik
Boleh titip absen, nggak?

Sebenarnya, setelah dua minggu berlalu, hubunganku dan Dika lumayan membaik. Kami tidak lagi bersikap canggung karena sering berinteraksi ketika bimbingan bersama Pak Rizal. Namun, kami belum sampai di level teman-yang-saling-berkirim-pesan-setiap-hari. Kami hanya bicara seperlunya, dan semuanya berkaitan dengan perkuliahan. Cowok itu terkadang bertingkah menyebalkan dan membuatku sedikit menjaga jarak, terlebih lagi setelah Zarfan memperingatiku soal manipulasi yang pernah dilakukan Dika.

Sejujurnya, aku jadi penasaran seberapa berbahayanya cowok itu.

Aku bersiap-siap dan pergi meninggalkan kost sekitar pukul dua belas siang. Kedai kopinya Aruna dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh menit. Namun, aku harus dibuat kecewa karena siang ini tempat itu sudah dipenuhi oleh pengunjung.

"Maaf, Mik. Hari ini banyak orang yang nongkrong. Kayaknya sih maba jurusan Teknik," ujar Aruna ketika kutemui di kedai kopinya.

"Nggak apa-apa, aku nunggu aja," balasku.

"Kayaknya mereka bakalan lama di sini, deh. Tadi mereka sampai nanyain password WiFi, loh." Aruna menoleh ke arah meja-meja yang dimaksud. Aku mengikuti arah pandangnya. Sepertinya, tidak hanya aku yang berpikiran untuk mengerjakan tugas kuliah di tempat ini, tetapi juga mahasiswa dari jurusan lain. Mereka datang bergerombol hingga menyatukan beberapa meja menjadi satu. Semuanya sibuk dengan laptop.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang