Tiga Puluh Dua

1.1K 188 69
                                    

Hati memang terkadang nggak mau nurut sama logika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hati memang terkadang nggak mau nurut sama logika. Jadi, siap-siap aja

*****

Sidang kedua yang kulalui tidak jauh berbeda dengan sidang pertama. Progresku masih tertinggal jauh dibandingkan mahasiswa lain. Hanya saja, kritik yang kuterima dari dosen penguji tidak separah sidang pertama. Setelah mengobrol bersama Dika di teras kost, aku mulai serius mengerjakan tugas akhirku, sehingga revisi yang kuterima tidak terlalu banyak.

Jujur saja, aku masih sedikit kesulitan mengerjakan segalanya tanpa Zarfan, apalagi harus mengejar ketinggalan untuk sidang ketiga. Tentu Aruna membantuku, tetapi itu pun tidak cukup. Sesekali Dika membantuku saat luang. Agar tidak merasa sendiri, cowok itu mengajakku mengerjakan tugas akhir di kampus.

Jurusan Desain Interior di kampusku memiliki satu ruangan kelas yang khusus disediakan untuk mahasiswa tingkat akhir. Kampus pun memfasilitasi kami dengan Wi-Fi yang lumayan kencang dan dapat terhubung ke lebih dari lima puluh device. Selama aku membolos, Dika dan teman-temannya selalu mengerjakan tugas akhirnya di ruangan itu, bahkan terkadang sampai menginap. Ruang TA—begitulah kami menyebutnya—sudah seperti rumah kedua bagi mereka.

Karena Dika, aku pun mulai mengerjakan tugas akhirku di kampus, meskipun butuh penyesuaian di awal. Sebagai mahasiswa yang telat lulus, tentu merasa canggung ketika seharian berada di ruangan yang didominasi oleh adik-adik tingkat, terlebih lagi Selena pun sering ada di sana. Sebenarnya, ada tiga mahasiswa angkatanku yang terbiasa menginap di ruangan itu, tetapi mereka semua laki-laki dan aku akan lebih canggung lagi jika bergabung bersama mereka. Pada akhirnya, aku selalu memilih meja paling pojok yang jauh dari semua orang—untuk menghindari interaksi dengan siapa pun, tentu saja. Biasanya, aku akan datang sekitar jam sepuluh pagi dan pulang ketika adzan magrib berkumandang.

Satu bulan menuju sidang ketiga, nyaris setiap hari aku menghabiskan waktu di ruangan itu. Progresku lumayan meningkat jika dibandingkan mengerjakan segalanya sendirian di kost. Mungkin karena tekanan dari progres adik-adik tingkatku, sehingga aku jadi termotivasi? Alhasil, di sidang ketiga, progresku bisa dibilang cukup baik, meskipun lagi-lagi tidak cukup baik jika dibandingkan dengan Dika, tapi tidak apa. Aku sudah tidak lagi menganggap tugas akhir sebagai kompetisi.

Tidak terasa sidang terakhir kurang dari empat minggu lagi. Hari ini pun aku duduk di salah satu bangku Ruang TA, berkutat dengan laptop yang sedang menampilkan aplikasi SketchUp. Besok menjadi hari bimbingan bersama Pak Rizal, dan aku merasa progresku belum mencapai target. Setiap menit berharga, sampai-sampai aku rela datang jam sembilan pagi, terus berkutat dengan desainku dan tidak beranjak dari bangku, bahkan hingga jam makan siang tiba.

Perutku mulai terasa lapar. Wajar saja, tadi pagi aku melewatkan sarapan. Adzan dzuhur mulai terdengar dari arah mesjid kampus. Kulihat sekeliling ruangan, satu per satu adik tingkat yang berada di Ruang TA keluar ruangan, entah untuk salat atau menikmati makan siang, termasuk Selena dan komplotannya. Dika, Tablo, dan teman-temannya masih ada di dalam ruangan.

Kapan Lulus? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang