"Kita lebih sering takut daripada terluka; dan kita lebih menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan" - Seneca
*****
Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Sinar matahari masuk melalui jendela lorong gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain, membelai hangat kulit wajah dan lenganku. Aku duduk di sebelah pintu ruang kelas yang disulap menjadi ruang sidang. Beberapa kali kusisir rambut sebahuku dengan jari, kurapikan blazer serta kemeja putih yang kukenakan, walaupun aku tahu pakaian yang kukenakan sudah sangat rapi. Lorong ini begitu hening, hanya berisi selusin mahasiswa yang juga menunggu panggilan untuk masuk ke ruang sidang masing-masing. Meskipun begitu, pikiranku rasanya berisik sekali.
Tiga minggu berlalu sejak Aruna mengirimkan video kontroversial ke grup pertemanan kami. Sudah tiga minggu pula aku tidak mendengar kabar apa pun dari Zarfan. Sebelumnya, aku memang sengaja menghindari percakapan dengan cowok itu. Ditambah video itu, aku yakin Zarfan semakin salah paham dengan keadaan.
"Jadi gini, Mik. Aku bermaksud ngirim video ini ke kamu." Aku mengingat ucapan Aruna sore itu. Adegan saat itu pun kembali berputar di kepalaku. Dengan gugup sekaligus takut, cewek itu menunjukkan ponselnya padaku, lalu memutar video yang diambil dari meja kasir kedai kopinya. Video itu menampilkan aku dan Dika yang duduk bersebelahan menghadap laptop. Aku tidak pernah sadar bahwa jarak di antara kami begitu dekat.
Di akhir video, Dika berdiri, mengelus pucuk kepalaku sambil mengatakan sesuatu yang tidak terekam oleh ponsel. Gambar di ponsel Aruna bergerak cepat. Dari dalam video, terdengar pula bisikan heboh cewek itu. "Haaah? Mikaaa! Apa-apaan tuh, pakai pegang-pegang rambut segalaaa?"
"Tadi aku loncat-loncat dan nyaris teriak saking kagetnya." Aruna kembali menjelaskan. Cewek itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku apron setelah video tersebut selesai. "Awalnya, aku ngerekam kalian karena iseng. Aku mau ngejekin kamu yang ngobrol dekat-dekat sama Dika. Waktu aku mau nanya langsung ke kamu, aku malah kirim ke grup yang ada Zarfannya, bukan chat personal ke kamu. Waktu mau kuhapus, tiba-tiba baristaku manggil."
"Dan kamu malah ngobrol sama baristamu?" geramku saat itu.
Aku mengingat seperti apa raut bersalah Aruna. Cewek itu menunduk. "Iya ... urgent soal pesanan. Setelah selesai dan mau kuhapus, ternyata Zarfan udah ngelihat videonya dan ngirim PC juga."
"Apa katanya?" tanyaku.
"Dia nanya-nanya soal video itu. Aku ngerasa diinterogasi, mana kata-katanya ketus banget. Aku panik, lah. Dia ... kayak habis nemuin bukti kalau pacarnya selingkuh."
"Tapi aku bukan pacarnya."
"Itu dia! Kayaknya dia cemburu berat. Chat yang kukirim di grup setelah videonya pun kontroversial banget. Mungkin dia kepancing gara-gara itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan Lulus? [END]
Romance🏆 Spotlight Romance of August 2024 by Romansa Indonesia Walaupun sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, Mika masih sering insecure sama prestasi akademiknya. Hingga suatu hari, prosesi wisuda sahabat karibnya telah mengubah tekad cewek itu. Di awal se...