•••
Thirty Six
Matanya menatap waspada ke sekitar, ia mencoba mengintip dari sela-sela gorden kamarnya namun tak mendapati apapun. Siapapun yang sedang berada di luar dan berbincang dengan adiknya sepertinya terlalu jauh dari jangkauan jendela kamarnya. Kakinya tak henti mondar-mandir, tubuhnya gemetaran, dan ia terus menggigiti kukunya.
Punya pikiran apa adiknya sampai membawa sahabatnya kemari?
Ralat—mantan sahabatnya, yang kini membencinya setengah mati.
Aroma yang terlampau dikenalinya itu semakin mendekat, membuat jantungnya seakan terhenti sejenak. Apakah sosok itu akan masuk? Apakah ia akan mendapatkan hukumannya, untuk yang kedua kali? Apakah ... ia akan mati hari ini?
Laki-laki yang berdiri mematung di sudut kamar itu melirik sekitarnya, mencari sesuatu sebagai perlindungan diri. Matanya tidak menangkap apapun selain lampu tidurnya yang terletak di atas nakas. Meski tidak terlalu berguna—atau malah total nihil membuatnya punya peluang kabur, ia tetap mencabut kabel lampu tidur itu dan menggenggamnya erat-erat dengan kedua tangan.
Dengan langkah mengendap-endap dan keringat dingin bercucuran, ia mencoba memberanikan diri untuk menghadapi siapapun yang sedang berjalan masuk ke rumahnya.
Menyedihkan, batinnya berkata. Ironis sekali melihatnya harus seperti ini, padahal dia tentu saja bukannya seorang manusia yang amat tak berdaya. Dia seorang fallen-angel, lebih dari kuat untuk membuat siapapun mangsanya bertekuk lutut. Sayang, hati nurani dan perasaan bersalahnya yang terlampau besar tak cukup untuk membuatnya memenangkan pertarungan dari sahabatnya sendiri.
Dari Namjoon, Putra Lucifer.
Demi Tuhan—yang dengan kejamnya telah membuatnya menjadi seorang makhluk jadi-jadian—ia membenci situasi ini.
Ia membenci dirinya sendiri.
Betapa pengecutnya ia sampai harus terus lari, dan tidak bisa melakukan apapun selain menyalahkan diri sendiri. Terperangkap dalam rasa takut setiap harinya, tanpa semangat hidup yang berarti. Semua ucapan adiknya tentang bagaimana ia tidak patut disalahkan, karena kejadian itu tentu bukanlah sepenuhnya salahnya, hanya berlalu seperti angin yang cepat hilang. Memang membuatnya merasa sedikit lebih baik, tapi tidak ada perubahan yang cukup berarti.
Kemarahan Namjoon hari itu, dan bagaimana rasa kehilangan amat menguasai dirinya, membuatnya terpuruk tanpa bisa bangkit lagi.
Hawa keberadaan Namjoon makin terasa kuat, laki-laki itu ragu sejenak. Langkahnya terhenti, peluh semakin deras membasahi. Apakah ia harus kabur saja? Karena sepertinya, Namjoon tidak menyadari kehadirannya disini. Ia bisa keluar lewat jendela, lantas terbang meninggalkan rumahnya sampai iblis itu tidak ada.
Tapi ... aneh sekali. Kenapa Namjoon diam saja? Seharusnya, dari jalan setapak yang ada di depan rumahnya itu, ia bisa mencium aromanya. Aroma fallen-angel yang paling ia benci. Namun, sejauh ini, Namjoon belum bergerak. Apakah ini sebuah taktik untuk membuatnya lengah dan keluar dari tempat persembunyiannya untuk langsung dilahap?
Laki-laki itu membuka pintu kamarnya sedikit untuk menciptakan celah kecil, lantas matanya mengintip dari sana. Tidak terlihat apa-apa.
Aneh, sungguh aneh sekali. Aroma dan hawa keberadaan ini, ia bisa memastikan dengan benar bahwa itu Namjoon. Siapa yang mungkin salah dalam mengenalinya?
Tapi, kalau itu Namjoon, harusnya ia sudah mati detik ini juga. Seharusnya rumahnya sudah terbakar hebat, seharusnya Lucifer bahkan harus turun dari Neraka menghampiri anaknya yang pasti hilang kendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fanfiction[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...